Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Memilih Penghargaan Yang Instan?

23 Mei 2021   08:23 Diperbarui: 17 Juni 2021   21:29 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebiasaan yang baik | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Pernahkah kamu membuat rencana untuk olahraga di pagi hari, Kemudian niat sudah dibulatkan pada malam harinya, tetapi ketika jam 6 pagi esok harinya, semuanya menjadi gagal karena mendadak kamu malas beranjak dari tempat tidur. Pernah?

Atau seringkali kita sudah berniat untuk bangun pagi dan sudah menyalakan alarm, namun esok harinya begitu alarm berbunyi kita matikan kembali. Pernah?

Hal yang wajar. Saya juga sering begitu. Padahal saya tahu persis kalau saya olahraga rutin di pagi hari bermanfaat untuk masa depan saya. Saya juga tahu kalau saya bangun lebih pagi maka saya akan lebih produktif.

Saya berikan contoh lain misalnya, saya suka sekali makan junk food. Bagi saya junk food itu adalah my guilty pleasure. Saya tahu itu tidak sehat untuk jangka panjang.

Tapi kenapa saya tetap suka junk food dan menikmatinya tanpa rasa bersalah? Apakah saya yang memang tidak peduli kesehatan tubuh saya jangka panjang ataukah ada penyebab lain yang membuat saya mengabaikan semua yang saya tahu?

Mengapa begitu sulit untuk melakukan hal-hal yang kita tahu baik untuk kita dalam jangka panjang tetapi tidak nyaman untuk saat ini? 

Dalam behavioral science, ini disebut dengan Hyperbolic Discounting.

Apa Itu Hyperbolic Discounting?

Premis utamanya adalah otak kita terkecoh dengan ketidaknyamanan yang kita rasakan saat ini. Padahal secara sadar kita tahu bahwa olahraga dan mengurangi junk food adalah penghargaan jangka panjang untuk kita.

Hal ini terkait dengan habit loop, dimana kita sulit untuk berhenti melakukan hal yang sama seperti yang selalu kita lakukan, hanya karena kita selalu melakukannya. Apalagi ketika habit loop ini membawa ilusi kenyamanan dan kenikmatan pada saat ini. 

Jadi apa itu Hyperbolic discounting? Hyperbolic discounting adalah cara berpikir yang menjelaskan bahwa otak manusia memang dirancang untuk menyukai kenikmatan atau penghargaan instan daripada manfaat jangka panjang. 

Contoh saya mendadak malas bergerak untuk berolahraga di pagi hari, adalah salah satu contoh dimana saya lebih menyukai kenikmatan instan. Saya memilih bersantai daripada olahraga. 

Padahal otak saya tahu persis, kalau saya olahraga maka dalam jangka panjang akan menjadi lebih bugar.

Saya berikan contoh lain, misalnya kebiasaan menabung. Kita semua tahu persis bahwa kebiasaan menabung itu jauh lebih baik daripada kebiasaan boros dan impulsif.

Tapi kenapa saya dan mungkin orang-orang lain memilih untuk melakukan pemborosan dan pembelian impulsif, padahal saya tahu sifat boros itu tidak bermanfaat positif di masa depan.

Bagaimana Cara Kerja Hyperbolic Discounting Ini?

Premis dasarnya adalah tanpa kita sadari banyak sekali keputusan penting tentang kesehatan, kebugaran, keuangan, dan karier kita, dipengaruhi oleh hyperbolic discounting ini. 

Saya ulangi, banyak sekali. Berita buruknya adalah kebanyakan dari kita tidak sadar. Otak kita terkecoh oleh salah satu anggota keluarga besar bias kognitif yang paling berbahaya ini. 

Kenapa saya katakan paling berbahaya? Karena semua pilihan-pilihan tersebut akan menyangkut pertukaran kesenangan dan kenikmatan instan untuk kebaikan masa depan kita.

Ketika kita menunda-nunda, kita memilih kepuasan instan untuk menikmati waktu saat ini daripada penghargaan di masa depan. 

Kita memilih menikmati menunda olahraga di pagi hari daripada bugar di masa depan. Kita memilih menikmati junk food daripada jantung sehat di masa depan. 

Kita memilih terlihat kaya dan keren saat ini daripada tabungan di masa depan.

Itu semua adalah bias kognitif yang mengecoh otak kita. Bias yang sangat berbahaya, karena kita menjadi seakan-akan hanya hidup di masa sekarang.

Padahal kita tahu semua kebiasaan positif tadi, mulai dari bangun pagi, kemudian olahraga dan tidak makan junk food, adalah penghargaan bagi diri kita sendiri di masa depan.

Penghargaan dalam bentuk tubuh yang bugar, jantung yang sehat dan bisa menikmati masa depan yang lebih baik.

Selain itu, hal yang terburuk adalah kita tidak sadar bahwa masa depan itu bukan hanya milik kita. Masa depan kita juga adalah milik orang-orang yang kita sayangi.

Menatap Masa Depan. Sumber: Foto oleh Benjamin Davies di Unsplash
Menatap Masa Depan. Sumber: Foto oleh Benjamin Davies di Unsplash
Hyperbolic Discounting Ini Membuat Kita Mengambil Keputusan Yang Buruk

Selain membahayakan diri kita di masa depan, hyperbolic discounting ini juga dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang buruk, karena mendorong mengambil keputusan yang impulsif dan instan.

Apalagi otak kita memang cenderung suka hal-hal yang sifatnya instan dan jangka pendek. Secara naluriah, hal ini akan membuat kita mengabaikan penghargaan jangka panjang.

Coba sekarang kita bayangkan contoh lain, merokok. Kebiasaan yang satu ini memang memberikan aliran dopamin yang menyenangkan, tapi tanpa sadar kita mempertaruhkan kesehatan masa depan. 

Belum lagi timbul masalah baru, kecanduan nikotin. Padahal saya yakin kita tahu bahwa merokok itu memang berbahaya, tapi kita tetap saja melakukannya.

Menurut saya ini semua bermuara pada satu pandangan bahwa "diri kita sekarang" dan "diri kita masa depan", adalah dua orang yang berbeda.

Itulah mengapa lebih nyaman menunda lari pagi. Lebih menikmati junk food daripada kesehatan jantung.

"Ah, bodo amat, tidak bugar itu masalah nanti-nanti saja", otak kita disini mulai terkecoh.

"Ah, di luar mendung, cuaca dingin, lebih enak bersantai", otak kita makin terkecoh.

15 menit kemudian, "Ah, hujan-hujan enaknya memang di rumah saja", selesai sudah. Selamat! Kita sudah benar benar terkecoh.

Bagaimana Cara Mengatasi Hyperbolic Discounting Ini?

Berdasarkan pengalaman saya dan hasil pengamatan terhadap orang-orang yang berhasil mengatasi hyperbolic discounting ini, ada beberapa pendekatan yang bisa saya sarankan sebagai berikut:

1. Buat "diri kita di masa depan" menjadi prioritas

Ini memang sulit. Saya pernah mencobanya dan prosesnya tidak mudah. Tapi saya berhasil membuat komitmen terhadap diri saya sendiri. Saya harus lebih baik dari hari kemarin. 

Tapi bagi saya lebih baik saya konsisten, menjadi lebih baik secara perlahan daripada tidak sama sekali.

2. Bergabung dengan orang-orang yang punya mindset positif

Misalnya, saya bergabung dengan Kompasiana karena saya melihat value dari para penulis kompasiana ini positif. Membuat saya bergairah menulis. 

Bagi saya menulis 10 menit lebih baik daripada saya menghabiskan satu gorengan bakwan di pagi hari.

3. Buat rutinitas positif

Kita dapat menghindari bahaya hyperbolic discounting ini dengan mengurangi dilema memutuskan sesuatu hal sejak awal. 

Saat kita sudah mengotomatiskan rutinitas positif tersebut, kita mengurangi risiko bahaya hyperbolic discounting karena rutinitas positif ini sudah kita bentuk dan autopilot terulang di masa depan.

Tiga langkah yang memang tidak mudah. Saya yakin akan banyak hambatan, terutama dari otak kita yang lebih suka kenyamanan instan. Kuncinya adalah keberanian untuk berkomitmen terhadap diri kita masing-masing.

Kesimpulan

Otak kita memang tidak pernah diprogram untuk menjadi benar-benar rasional, karena terlalu banyak informasi untuk diproses. 

Jadi secara tanpa sadar, kita berevolusi untuk memproses informasi secara selektif untuk membuat keputusan dengan cepat.

Namun terkadang proses tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Proses tersebut terkadang malah membawa kita ke situasi yang tidak menguntungkan di masa depan.

Kita menunda hal-hal di masa depan karena kita berpikir itu mudah. Mudah karena kita berasumsi di masa depan energi dan motivasi kita tidak terbatas.

Namun sayangnya, visi masa depan kita yang sempurna itu tidaklah semudah yang dibayangkan.

Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan satu kesimpulan penutup bahwa setelah kita memahami bahwa kebiasaan dapat berubah, kita otomatis memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk mengubahnya kembali. 

Mengubah kebiasaan negatif ke arah lebih positif atau meneruskan kebiasaan positif menjadi konsisten dan persisten.

Hyperbolic discounting ini nyata. Kita harus segera sadar untuk mengevaluasi masa sekarang dan rencana masa depan. Hal ini bisa membantu kita melakukan hal yang benar untuk masa depan yang lebih baik.

Terakhir, tidak ada masa kini ataupun masa depan yang terlalu buruk ataupun terlalu baik. Yang ada hanyalah bagaimana kita selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita saat ini dan berani berubah untuk masa depan yang lebih baik lagi.

Salam Hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun