Mohon tunggu...
Nanda Belindha S
Nanda Belindha S Mohon Tunggu... Human Resources - SDM

Hobi saya adalah menonton film dan saya sangat menikmati hobi saya tersebut. Saya suka meresapi cerita yang dipresentasikan dalam film-film dari berbagai genre, seperti drama, aksi, komedi, dan fiksi ilmiah. Saya terpesona dengan cara sutradara dan aktor/aktris menggambarkan emosi dan menghidupkan karakter-karakter yang menarik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dibalik Tegar

14 Desember 2024   19:50 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:57 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maya menatap kaca spion mobil, memeriksa penampilannya sebelum masuk ke kantor. Matanya sedikit sembab, tanda semalam kurang tidur. Namun, dia mengernyitkan dahi dan menyapukan masker wajah tipis, berusaha menutupi jejak-jejak kelelahan. Di luar sana, dunia menunggu.

Setiap pagi, Maya selalu berjuang untuk tidak meruntuhkan dirinya sendiri. Meski fisiknya melangkah dengan percaya diri, pikirannya kerap terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Masa lalu yang penuh keretakan dan pecahan.

Di dalam mobil, dia mengingat percakapan terakhir dengan ibunya.

Maya: "Mamah, aku capek... Aku gak tahu harus gimana lagi. Kerja, kuliah, urus adik, semuanya. Aku butuh waktu buat diri sendiri."

Ibu: (Menatap Maya dengan mata lelah) "Maya, kalau kamu lelah, siapa yang akan bantu adik-adikmu? Kamu kan sudah seperti ibu buat mereka. Mamah cuma bisa mendoakan."

Maya: (Diam sesaat, menahan air mata) "Tapi aku juga manusia, Mamah... Aku juga butuh dukungan."

Ibu: "Aku tahu, Nak. Tapi tidak ada yang bisa kita harapkan selain diri kita sendiri."

Dialog itu terulang dalam benak Maya saat dia melangkah menuju kantor, menghadapi rutinitas yang tak pernah memberikan ruang untuknya bernapas. Dalam hatinya, selalu ada pergulatan. Ibunya yang memilih untuk tetap bertahan dalam pernikahan yang rusak, ayah yang pergi tanpa kata, dan adik-adik yang harus dia jaga, sementara dirinya merasa terjebak dalam kerapuhan.

Di kantor, Maya mencoba untuk tetap fokus. Namun, setiap kali ada percakapan ringan tentang kehidupan pribadi rekan-rekannya, dia merasa seperti orang asing. Mereka berbicara tentang liburan, pasangan hidup, atau rencana masa depan yang cerah, sementara dia hanya bisa tersenyum kecut.

Hari itu, rekan kerjanya, Dina, menghampiri meja Maya.

Dina: "Maya, ada apa? Kamu kelihatan capek banget."

Maya: (Memaksakan senyum) "Aku baik-baik aja, Dina. Hanya sedikit banyak kerjaan."

Dina: "Aku tahu kok kalau kamu lagi banyak pikiran. Kamu gak perlu nahan diri. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja."

Maya terdiam. Kadang, perhatian sekecil itu terasa lebih berarti daripada apa pun. Dina, yang mungkin tak tahu apa yang Maya alami, bisa merasakan kesulitan di balik ketegaran wajah Maya.

Maya: (Pelan) "Aku cuma… bingung. Semua terasa begitu berat, Dina."

Dina: "Kamu kan udah terbiasa. Kuat, kan?"

Maya menatap Dina, lalu menundukkan kepala. Dia merasa seolah tidak bisa berbagi semua beban itu.

Maya: "Aku hanya tidak ingin jadi lemah. Aku harus bisa menjaga adik-adik dan Mamah."

Dina: "Maya, itu bukan bebanmu seorang. Terkadang, membiarkan diri kita jatuh, itu justru yang membuat kita lebih kuat."

Maya tersenyum samar, namun dalam hatinya, dia tahu Dina benar. Ketegaran bukanlah tentang tidak pernah jatuh, tetapi tentang bagaimana kita bangkit setelahnya.

Malam itu, ketika dia kembali ke rumah, Maya menemukan adiknya yang bungsu, Dita, duduk di ruang tengah, memeluk boneka favoritnya. Wajah Dita yang polos mengingatkan Maya betapa dia ingin memberikan kebahagiaan pada adik-adiknya, meski dirinya sendiri selalu terjepit antara keinginan dan kenyataan.

Dita: "Maya, besok kita bisa nonton film, gak? Aku kangen nonton bareng."

Maya: (Tersenyum lembut, meski hatinya perih) "Besok kita nonton, ya. Aku janji."

Namun, di dalam hatinya, Maya tahu bahwa besok masih akan penuh dengan tantangan. Harus menyelesaikan pekerjaan, menjaga adik-adiknya, dan menanggapi kecemasan ibunya yang semakin hari semakin menjadi.

Di atas semua itu, Maya tahu satu hal. Dia tidak bisa berhenti. Seperti badai yang menghantam pantai, dia harus terus bertahan, meski terkadang lelah. Karena di balik segala beban itu, ada cinta yang tak terbatas untuk keluarganya.

Keesokan harinya, setelah bekerja seharian, Maya duduk di samping Dita yang sedang menonton film kartun. Tangan kecil Dita menggenggam tangan Maya dengan erat, memberi ketenangan yang Maya rasakan hampir tak pernah lagi.

Dita: "Maya, kamu kuat banget ya. Aku sayang kamu."

Maya menatap adiknya dengan penuh haru. Ada cinta yang tak terucapkan dalam kata-kata Dita, yang menguatkan semangat Maya untuk terus melangkah.

Maya: "Aku juga sayang kamu, Dita. Kalian semua adalah alasan kenapa aku tetap bertahan."

Maya menatap layar, tapi pikirannya mengembara jauh. Di luar sana, dunia mungkin melihatnya sebagai sosok yang kuat, namun hanya dia yang tahu, di balik ketegaran itu, ada keinginan yang tak pernah padam untuk melindungi orang-orang yang dia cintai.

Dia tidak tahu apa yang akan datang di masa depan, tetapi dia tahu satu hal—meskipun keluarganya hancur, dia masih punya kekuatan untuk menyusun kembali potongan-potongan hidup yang rusak itu, sedikit demi sedikit.

Dan itu sudah cukup baginya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun