Dina: "Maya, ada apa? Kamu kelihatan capek banget."
Maya: (Memaksakan senyum) "Aku baik-baik aja, Dina. Hanya sedikit banyak kerjaan."
Dina: "Aku tahu kok kalau kamu lagi banyak pikiran. Kamu gak perlu nahan diri. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja."
Maya terdiam. Kadang, perhatian sekecil itu terasa lebih berarti daripada apa pun. Dina, yang mungkin tak tahu apa yang Maya alami, bisa merasakan kesulitan di balik ketegaran wajah Maya.
Maya: (Pelan) "Aku cuma… bingung. Semua terasa begitu berat, Dina."
Dina: "Kamu kan udah terbiasa. Kuat, kan?"
Maya menatap Dina, lalu menundukkan kepala. Dia merasa seolah tidak bisa berbagi semua beban itu.
Maya: "Aku hanya tidak ingin jadi lemah. Aku harus bisa menjaga adik-adik dan Mamah."
Dina: "Maya, itu bukan bebanmu seorang. Terkadang, membiarkan diri kita jatuh, itu justru yang membuat kita lebih kuat."
Maya tersenyum samar, namun dalam hatinya, dia tahu Dina benar. Ketegaran bukanlah tentang tidak pernah jatuh, tetapi tentang bagaimana kita bangkit setelahnya.
Malam itu, ketika dia kembali ke rumah, Maya menemukan adiknya yang bungsu, Dita, duduk di ruang tengah, memeluk boneka favoritnya. Wajah Dita yang polos mengingatkan Maya betapa dia ingin memberikan kebahagiaan pada adik-adiknya, meski dirinya sendiri selalu terjepit antara keinginan dan kenyataan.