Mohon tunggu...
Nanda Putra Anindita
Nanda Putra Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Mahasiswa Hukum yang mencoba menjadi orang yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

An Indonesian Way: Langkah Berdaulat Indonesia Menyikapi Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

27 Mei 2024   15:03 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:22 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Unsplash/linfeng Li

Sekilas mengenai Laut China Selatan

Dalam publikasi Asian Development Bank berjudul "Asia 2050: Realizing the Asian Century" yang dirilis pada tahun 2011 memperhitungkan bahwa pada tahun 2050 Asia akan mengalami suatu kondisi yang disebut sebagai "the Asian Century". Kondisi tersebut menjadikan 51% Gross Domestic Product (GDP) dunia berada di Asia dengan pendapatan per kapita naik 6 kali lipat menjadi berkisar 38.600 dolar sehingga masyarakat Asia akan semakmur masyarakat Eropa. Salah satu indikator mengapa skenario tersebut dapat terjadi pada Asia adalah keberadaan suatu kawasan perairan yang strategis dan penting di dunia bernama South China Sea atau Laut China Selatan.

Laut China Selatan menjadi jalur lalu lintas perairan tersibuk kedua di dunia setelah Terusan Suez di Mesir. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyatakan bahwa sepertiga dari perdagangan maritim dunia melalui Laut China Selatan. Jika dikalkulasikan aktivitas yang berlangsung di atas Laut China Selatan senilai 3,4 triliun dolar AS. Tak hanya sebagai jalur transportasi laut dan perdagangan internasional, Laut China Selatan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Laut China Selatan memiliki sepertiga dari total keanekaragaman laut di dunia yang berkontribusi terhadap 10% dari total tangkapan ikan di dunia. Di sektor kekayaan tambang, 40% cadangan minyak dan gas bumi dunia terdapat di Laut China Selatan. United States Geological Survey (USGS) memperkirakan Laut China Selatan mengandung antara 2,4 miliar barel hingga 9,2 miliar barel minyak bumi dan cairan lainnya serta antara 62 triliun kaki kubik hingga 216 triliun kaki kubik gas alam bahkan berpotensi lebih besar dari penelitian tersebut.

Posisi Laut China Selatan yang vital dan strategis di dunia justru menjadi sumber ketegangan berkepanjangan antar negara di kawasan tersebut seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, maupun Brunei Darusalam. Masing-masing negara saling berebut kepemilikan wilayah termasuk fitur-fitur maritim yang ada di kawasan Laut China Selatan sesuai dengan klaim interpretasi subjektif negara didasarkan oleh kepentingan nasionalnya. Perbedaan interpretasi subjektif atas klaim wilayah Laut China Selatan oleh negara-negara pengklaim (claimant state) menjadi masalah serius karena wilayah yang diklaim saling tumpang tindih satu sama lain. Tiongkok menjadi aktor utama naiknya eskalasi konflik setelah mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan melalui Nine-Dash Line. Nine-Dash Line merupakan 9 (sembilan) garis putus-putus yang mencakup hampir keseluruhan Laut China Selatan yang digambarkan pada sebuah peta. Peta tersebut pertama kali dibuat pada tahun 1947 dengan Eleven-Dash Line yang diubah menjadi Nine-Dash Line pada 1952. Pada tahun 2023, Tiongkok merilis peta baru dengan menambahkan satu garis sehingga menjadi Ten-Dash Line.

Klaim Tiongkok melalui Nine-Dash Line didasarkan pada prinsip historical rights. Tiongkok menyebut Nine-Dash Line merupakan wilayah "traditional fishing ground" Tiongkok karena nelayan-nelayan tradisional Tiongkok terdahulu telah menggunakan wilayah perairan ini untuk mencari ikan dan memenuhi kebutuhan hidup. US Department of State dalam laporannya menyatakan bahwa kawasan yang berada di dalam klaim Nine-Dash Line seluas 2.000.000 km2 atau setara dengan 22% dari total wilayah darat Tiongkok. Wilayah dalam klaim Nine-Dash Line tersebut meliputi wilayah-wilayah yang disengketakan dengan negara lain termasuk juga berada di dalamnya adalah Laut Natuna Utara milik Indonesia.

Paling tidak terdapat dua hal yang menjadi sumber konflik di Laut China Selatan. Pertama, bahwa negara-negara claimant state seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina menggunakan aturan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) untuk memperpanjang yurisdiksi kedaulatan secara unilateral dan membenarkan klaim mereka atas wilayah di Laut China Selatan. Hal ini menjadi bermasalah ketika ternyata wilayah-wilayah laut yang mereka tetapkan dengan menggunakan UNCLOS 1982 tumpang tindih dan beririsan satu sama lain. Kedua, klaim Nine-Dash Line Tiongkok yang didasarkan pada klaim historis sangat mencederai hukum internasional karena bertentangan dengan aturan UNCLOS 1982. Tak hanya itu, klaim Nine-Dash Line mengganggu stabilitas dari negara-negara di kawasan ASEAN karena mencakup baik wilayah maritim dari claimant state (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam) maupun non-claimant state (Indonesia).

Hukum Internasional mengenai Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut

Klaim atas kawasan maritim pada dasarnya diatur oleh UNCLOS 1982. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994. Dalam ketentuan hukum internasional dinyatakan bahwa perjanjian mengenai hukum laut dalam UNCLOS 1982 baru mengikat para pihak (negara) setelah negara meratifikasi konvensi ini. Indonesia serta negara-negara claimant state yang bersengketa atas Laut China Selatan termasuk Tiongkok sendiri telah meratifikasi UNCLOS 1982. Negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 dianggap telah mengakui dan menyepakati aturan dalam konvensi sehingga wajib patuh dan tunduk atas aturan konvensi tersebut.

UNCLOS 1982 telah menentukan bahwa negara pantai seperti Indonesia atau Tiongkok berhak atas kawasan laut yang diukur dari garis pangkal. Garis pangkal ini pada umumnya menggunakan garis pantai sebagai acuannya. Kawasan laut tersebut meliputi Laut Teritorial (12 mil laut), Zona Tambahan (24 mil laut), Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut) dan Landas Kontinen atau dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut. Di dalam kawasan laut tersebut negara pantai mempunyai hak atas wilayah kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereignt right).

Pasal 2 Ayat (1) UNCLOS 1982 mengatur bahwa laut teritorial menjadi bagian dari wilayah kedaulatan (sovereignty) suatu negara pantai. Akibatnya negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas Laut Teritorial sebagai bagian kepemilikan dan kekuasaan dari wilayah negara pantai. Di wilayah Laut Teritorial negara pantai juga memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan innocent passage atau hak lintas damai bagi negara lain yang diatur dalam pasal 17 dan 18 UNCLOS 1982. Pasal 19 Ayat (2) UNCLOS 1982 telah mengatur hak dan kewajiban kapal-kapal negara lain yang melewati Laut Teritorial suatu negara pantai yakni hanya berhak untuk melintas saja dan tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas lain seperti mengeksplorasi kekayaan alam di dalamnya.

Adapun hak berdaulat (sovereign rights) adalah hak-hak eksklusif yang dimiliki oleh negara pantai dan berlaku terhadap sumber-sumber daya alam dalam batas tertentu yang telah ditetapkan. Pasal 55 UNCLOS menetapkan bahwa suatu negara pantai mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi khusus untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berada pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk pada dasar laut dan tanah di bawahnya. Lebih lanjut negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulat dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan secara ekonomis dari bagian laut tersebut yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan manajemen sumber daya alam.

Hak berdaulat (sovereign right) suatu negara pantai selain terdapat di wilayah ZEE juga terdapat di wilayah Landas Kontinen negara pantai. Pasal 58 UNCLOS 1982 mengatur bahwa negara lain yang berada di dalam wilayah ZEE negara pantai memiliki kebebasan untuk berlayar dan terbang di atasnya serta untuk melakukan pemasangan kabel dan pipa di bawah laut namun tidak diperbolehkan untuk mengambil kekayaan alam atau tindakan yang sifatnya mengurangi nilai ekonomi bagi negara pantai di wilayah tersebut.

Absah atau tidaknya Nine-Dash Line sebenarnya telah terjawab sejak Filipina menggugat Tiongkok ke Permanent Court Arbitration (PCA) di Hague pada tanggal 22 Januari 2013 yang diputuskan pada tahun 2016. Dalam putusan tersebut, PCA menyatakan bahwa klaim Tiongkok atas Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum. PCA tidak mengakui historical rights yang digunakan Tiongkok atas klaim Laut China Selatan karena bertentangan dengan UNCLOS 1982. Atas putusan tersebut Tiongkok tidak menerima serta tidak mau mengakui dan menganggap bahwa putusan PCA tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Manuver Tiongkok melalui Nine-Dash Line dan Pengaruhnya terhadap Kedaulatan Indonesia

Keputusan politik Tiongkok yang tidak mengakui putusan PCA memberikan kesan bahwa keinginan Tiongkok menguasai wilayah Laut China Selatan melalui klaim Nine-Dash Line sangat serius. Tiongkok bahkan berani untuk tidak mematuhi UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi sendiri oleh Negeri "Tirai Bambu" itu. Tak hanya langkah politik, tetapi bahkan sumber daya militer telah dikerahkan oleh Tiongkok di wilayah Laut China Selatan. Pulau buatan serta pangkalan-pangkalan militer dibangun demi untuk menunjukkan eksistensi dan legitimasi Tiongkok atas klaim Nine-Dash Line. Manuver Tiongkok dengan mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan serta tidak mengindahkan putusan dari PCA tentu menjadi sinyal bahaya bagi kedaulatan Indonesia. Bagaimana tidak, walaupun berstatus sebagai non-claimant state tetapi wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara masuk dalam klaim wilayah Nine-Dash Line. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk ancaman serius terhadap kedaulatan Indonesia terutama di Laut Natuna Utara. Terlebih berbagai insiden antara Indonesia dan Tiongkok menyangkut Laut Natura Utara terjadi selama beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2016 terjadi insiden kapal nelayan Hwai Fey yang berbendera Tiongkok memasuki Laut Natura Utara dan melakukan penangkapan ikan. Menariknya, kapal nelayan itu dikawal dan dilindungi oleh coast guard Tiongkok yang mengikuti di belakangnya. Tak kapok, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan kapal Tiongkok bernama Lu Rong Yuan Yu 701 diduga menangkap ikan di Laut Natuna Utara pada tahun 2020. Lebih lanjut pada tahun 2022, coast guard Tiongkok kembali memasuki perairan Laut Natuna Utara dan melakukan intimidasi kepada nelayan lokal yang sedang melaut. Tak hanya di sektor perikanan, gangguan Tiongkok juga terjadi di sektor eksplorasi tambang. Dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Keamanan Laut (Bakamla) bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 2021 dilaporkan bahwa ribuan kapal Tiongkok memasuki perairan Indonesia di Laut Natuna Utara. Tak hanya melintas, kapal-kapal coast guard Tiongkok tersebut menganggu aktivitas tambang dengan membayang-bayangi kerja kapal rig noble yang berbendera Indonesia di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Walaupun Tiongkok dalam menghadirkan eksistensinya di Laut Natuna Utara sebagai bagian dari strategi politik klaim Nine-Dash Line tidak menggunakan pendekatan militer namun tetap saja mencederai kedaulatan Indonesia. Pertama, secara de jure (hukum) kedaulatan atas wilayah Indonesia dengan gamblang dilanggar oleh Tiongkok dengan memasukkan sebagian wilayah Laut Natuna Utara di dalam klaim Nine-Dash Line yang tidak berdasarkan UNCLOS 1982. Pelanggaran kedaulatan atas wilayah Indonesia juga dilakukan oleh Tiongkok secara de facto (nyata) dengan insiden masuknya kapal-kapal nelayan Tiongkok dan coast guard Tiongkok di Laut Natuna Utara untuk mengambil ikan bahkan mengganggu keamanan aktivitas yang ada di perairan Laut Natuna Utara. Pelanggaran kedaulatan tersebut menimbulkan ancaman bagi Indonesia baik secara politik, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan.

Ancaman secara politik dapat ditinjau dari aspek hukum yang mengatur mengenai persoalan politik tersebut. Telah dibahas di bagian sebelumnya bahwa di negara lain yang melewati ZEE Indonesia dalam hal ini Tiongkok memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh UNCLOS 1982. Tiongkok pada dasarnya diperbolehkan untuk melintas di ZEE Indonesia namun tidak boleh melakukan tindakan yang mengganggu keamanan dan melakukan kegiatan yang mengurangi nilai ekonomi Indonesia seperti mengeksplorasi sumber daya laut termasuk dengan sengaja mengambil ikan serta mengerahkan coast guard dengan maksud tertentu. Pelanggaran hukum atas UNCLOS 1982 tersebut secara politik menyiratkan bahwa Tiongkok akan melakukan segala cara untuk dapat menguasai sebagian Laut Natuna Utara dalam klaim Nine-Dash Line.

Pengambilan sumber daya ikan oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara selain melanggar atas kedaulatan wilayah juga menimbulkan ancaman atas kedaulatan ekonomi Indonesia. Pencurian ikan tersebut menimbulkan kerugian negara hingga mencapai 30 triliun rupiah setiap tahun. Aktivitas Tiongkok di Laut Natuna Utara juga mengancam pertahanan dan keamanan Indonesia. Nelayan Tiongkok yang dilindungi oleh coast guard Tiongkok dengan dilengkapi fitur militer membuat nelayan Indonesia ketakutan dan enggan untuk melaut di Laut Natuna Utara. Coast guard Tiongkok melakukan intimidasi untuk mengusir nelayan-nelayan lokal Indonesia. Tentu saja nelayan-nelayan tradisional di Natuna yang masih banyak menggunakan "pompong" atau kapal kayu dengan kapasitas kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT) tak mampu untuk melawan. Sebagai gambaran, kapal negara lain termasuk Tiongkok yang mencuri ikan di Laut Natuna Utara umumnya menggunakan kapasitas volume minimal 60 GT.

Langkah Indonesia Sebagai Non-Claimant State atas Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

Perlu diingat, dengan kedudukan Indonesia sebagai non-claimant state dalam konflik Laut China Selatan harus dimaksudkan bahwa kepentingan Indonesia tidak berkaitan dengan perebutan klaim atas fitur maritim di Laut China Selatan. Indonesia selama ini tidak ikut campur dalam urusan klaim fitur maritim yang diperebutkan oleh Tiongkok, Vietnam, dan Filipina. Kepentingan Indonesia di Laut China Selatan adalah murni karena 2 hal, pertama dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhadap manuver Tiongkok melalui klaim Nine-Dash Line disertai dengan sikap asertif Tiongkok di Laut Natuna Utara. Kedua, kewajiban Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan mempunyai pengaruh besar di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) untuk menyelenggarakan ketertiban dan perdamaian dunia khususnya menjaga stabilitas kawasan ASEAN.

Langkah Indonesia dalam menyusun dan melakukan tindakan untuk memperjuangkan kepentingannya di Laut China Selatan harus berdasarkan pada hukum. Hal ini karena negara Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan bunyi pasal 1 Ayat (3) dalam konstitusi negara kita. Oleh karena itu, dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia di konflik Laut China Selatan harus sesuai dan didasarkan konstitusi UUD 1945 beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya, UNCLOS 1982, dan Putusan PCA/South China Sea Tribunal 2016. Langkah Indonesia untuk memperjuangkan kepentingannya di Laut China Selatan disebut "Indonesian Way" yang diwujudkan dengan kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri yang bernafaskan bunyi pembukaan konstitusi UUD 1945 serta berlandaskan hukum.

Dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhadap manuver Tiongkok, Indonesia telah melakukan berbagai upaya dengan jalan diplomasi. Pada 23 Juni 2016, Presiden Indonesia Joko Widodo dengan memakai jaket bomber mengadakan rapat kabinet terbatas di KRI Imam Bonjol di atas Laut Natuna Utara untuk membahas pertahanan kemanan dan ekonomi di wilayah Natuna. Strategi diplomasi ini digunakan untuk mengirimkan sinyal kepada Tiongkok bahwa Indonesia akan memproteksi kedaulatannya di ZEE Indonesia tanpa kompromi. Setahun setelahnya, Indonesia mengambil langkah yang signifikan dengan melakukan perubahan nama laut dari Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Langkah ini merupakan bentuk tindakan diplomatis yang dimaksudkan untuk mempertegas wilayah kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights) Indonesia atas wilayah Laut Natuna Utara. Perubahan ini tentunya dilakukan dengan berdasarkan UNCLOS 1982 serta hanya mencakup wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, sehingga di luar wilayah tersebut tetap bernama Laut China Selatan.

Selain jalan diplomasi, penguatan angkatan militer juga dilakukan oleh Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara. Pada tahun 2016, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat menambahkan personelnya di Natuna yang sebelumnya 800 personel menjadi 2.000 personel. TNI Angkatan Laut mengirim 14 kapal perang ke perairan Natuna dalam kaitannya untuk menjaga kedaulatan. Sedangkan TNI Angkatan Udara mengerahkan radar di beberapa bagian pulau untuk melakukan operasi pengawasan selama 24 jam. Latihan perang juga dilakukan untuk menegaskan legitimasi Indonesia atas wilayah Laut Natuna Utara salah satunya Latihan Angkatan Laut Multilateral Komodo (MNEK). MNEK adalah kegiatan diplomasi maritim Indonesia yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan angkatan laut mitra dalam operasi militer dan non-militer, seperti bantuan penyelamatan bencana dan evakuasi medis. MNEK Natuna dilakukan pada tahun 2016. Selain MNEK, latihan bersama juga dilakukan pada tahun 2022 dengan tajuk Super Garuda Shield 2022 yang digelar bersama sejumlah negara sahabat, seperti US Navy dan Singapura di kawasan Indo-Pasifik. Selain itu, pembangunan pangkalan TNI di wilayah Natuna yang diresmikan pada tahun 2019 dapat berfungsi sebagai deterrence effect atas manuver yang dilakukan terutama oleh Tiongkok.

Selain kekuatan militer, penegakan atas kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara juga dilakukan dengan penguatan penegakan hukum melalui Badan Keamanan Laut (Bakamla). Bakamla secara resmi dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014. Dalam pasal 2 Perpres a quo dijelaskan bahwa tugas Bakamla adalah melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdikasi Indonesia. Tahun 2019, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menunjuk Bakamla sebagai Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG) di Laut Natuna Utara. Dalam menegakkan hukum di Laut Natuna Utara, Bakamla memiliki satu unit kapal markas, 3 unit kapal patroli berukuran 80 meter, 6 unit ukuran 48 meter, dan 16 unit ukuran 15 meter tipe Katamaran, serta 14 unit Rigid Inflatable Boat (RIB) ukuran 12 meter. Selain itu, Bakamla dilengkapi sistem teknologi informasi National Picture Compilation (NPC), Maritime Regional Crisis Center (MRCC), Regional Crisis Center (RCC) yang digunakan untuk memantau jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), serta peningkatan kapabilitas militer Bakamla melalui senjata kaliber 30 mm yang sebelumnya hanya menggunakan senjata karet.

Bakamla sejak tahun 2020 telah secara resmi melakukan operasi cegah tangkal dan operasi "shadowing". Operasi tersebut dilakukan sebagai upaya Bakamla untuk mengusir coast guard Tiongkok dan melindungi nelayan Indonesia ketika melaut di Laut Natuna Utara. Pada tahun 2021, Bakamla dan AS menyepakati untuk membangun Pusat Pelatihan Maritim di Batam serta membuat forum komunikasi dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam terkait sengketa Natuna. Di tahun yang sama, Bakamla menginisiasi forum coast guard se-ASEAN melalui ASEAN Coast Guard Forum yang menjadi forum tahunan hingga saat ini. Tak hanya itu, konsep Nelayan Nasional Indonesia (NNI) juga diusulkan oleh Bakamla kepada Kementerian Politik Hukum dan HAM.

Langkah Indonesia baik secara diplomasi, militer maupun penegakan hukum harus disempurnakan dengan kehadiran Indonesia secara de facto di Laut Natuna Utara. Hal ini dilakukan Indonesia dengan peningkatan eksplorasi sumber daya disertai dengan peningkatan kapasitas nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara. Laut Natuna Utara memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan dunia. Cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Berdasarkan perhitungan pemerintah Indonesia, ladang gas D-Alpha atau Blok East Natuna memiliki total cadangan 222 triliun kaki kubik (TCF) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCF. Sedangkan potensi sumber daya ikan laut di Laut Natuna Utara berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun.

Berdasarkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hingga 2020 terdapat sembilan blok migas di Laut Natuna Utara dengan rincian tiga blok dalam fase eksplorasi dan enam blok dalam fase eksploitasi. Dalam enam blok fase eksploitasi, empat blok sudah berproduksi dan dua blok dalam tahap pengembangan. Produksi minyak di Laut Natuna Utara hingga 15 September 2021 sebesar 17.449 barel per hari dan produksi gas sebesar 394 juta standar kaki kubik per hari. Produksi tersebut berasal dari tiga Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen migas di lepas pantai (offshore) Natuna, antara lain Medco E&P Natuna, Premier Oil, dan Star Energy.

Sedangkan di sektor perikanan, pemanfaatan hasil laut disertai dengan mobilitas dan aktivitas nelayan lokal di Laut Natuna Utara menjadi simbol bahwa Laut Natuna Utara merupakan ZEE Indonesia yang benar-benar dimanfaatkan dan memiliki manfaat untuk nelayan Indonesia. Hadirnya nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya memberikan pengaruh dalam memperkuat legitimasi Indonesia akan pemanfaatan hak berdaulat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menyediakan fasilitas kepada nelayan lokal untuk mampu secara maksimal memanfaatkan sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara. Fasilitas tersebut berupa jaminan keamanan di Laut Natuna Utara melalui operasi dan pengawalan yang dilakukan Bakamla kepada nelayan lokal. Pada tahun 2020, Bakamla melalui instruksi Presiden Joko Widodo melakukan pengawalan terhadap 29 kapal nelayan yang mencari ikan di Laut Natuna Utara. Selain itu, melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 51 Tahun 2016, dibangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna yang bertujuan untuk mengintegrasikan aktivitas pendaratan ikan, pengolahan hingga pemasaran.

Selain kebijakan dalam negeri, "Indonesian Way" juga menjadi strategi Indonesia dalam rangka untuk menyelenggarakan ketertiban dan perdamaian dunia khususnya menjaga stabilitas kawasan ASEAN. Pada tahun 1990 Indonesia menginisiasi sebuah workshop yang berjudul Workshop on Management of Potential Conflict in the South China Sea. Tahun 2002, Indonesia kembali menjadi inisiator pembentukan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) yakni tentang bagaimana ASEAN mengelola situasi konflik di kawasan dengan mengikuti Declaration of Conduct (DOC), yang di dalamnya disepakati Code of Conduct (COC). COC berisi komitmen ASEAN dan Tiongkok untuk patuh terhadap aturan hukum internasional, menghormati freedom of navigation di Laut China Selatan, penyelesaian sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. Sebagai catatan, DOC/COC di Laut China Selatan hingga saat ini belum menemui kata sepakat antara ASEAN dan Tiongkok namun terus diusahakan hingga saat ini. Selain melalui DOC/COC, beberapa nota protes yang dilayangkan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia kepada Tiongkok dan dunia atas manuver Tiongkok di Laut Natuna Utara juga berfungsi sebagai bentuk "persistent objection" atau penolakan secara terus-menerus. Hukum Internasional mengenal persistent objection untuk memberikan legitimasi terhadap penolakan atas klaim sepihak suatu wilayah tertentu oleh negara lain dalam hal ini klaim Tiongkok atas Laut Natuna Utara.

Upaya balance of power juga diterapkan Indonesia untuk memperkuat kemitraan dan perdamaian serta stabilitas di Laut China Selatan dalam eskalasi konflik hegemoni Amerika Serikat dan Tiongkok. Strategi ini dianggap cocok dengan politik bebas aktif Indonesia dengan tidak memihak negara manapun namun justru bekerja sama dengan negara manapun. Pertemuan bilateral baik dengan Amerika Serikat dan sekutunya maupun dengan Tiongkok kerap dilakukan. Kerja sama Indonesia-Amerika Serikat kerap di sektor pertahanan seperti kerja sama Pusat Pelatihan Maritim di Batam dan Garuda Shield. Sedangkan kerja sama Indonesia-Tiongkok lebih banyak di sektor ekonomi. Bentuk kerja sama ini seperti kerja sama investasi, infrastruktur, dan ekonomi digital. Selain itu, Indonesia-Tiongkok juga telah sepakat untuk memperkuat kerja sama di forum ASEAN dan G20 melalui ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF), Global Development Initiative (GDI), Global Security Initiative (GSI), dan Global Civilization Initiative (GCI).

Langkah yang ditempuh Indonesia melalui "Indonesia Way" untuk menyikapi manuver Tiongkok di Laut Natuna Utara melalui kebijakan dalam negeri dan luar negeri yang berdasarkan hukum merupakan langkah tepat. Di satu sisi, menunjukkan kehadiran dan kepedulian Indonesia di Laut Natuna Utara dan di sisi yang lain menguatkan posisi diplomatis serta legitimasi Indonesia di kawasan. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki wilayah kedaulatan sekaligus hak berdaulat di Laut Natuna Utara yang wajib ditegakkan serta memiliki kepentingan di Laut China Selatan sebagai bagian dari ASEAN. "Indonesian Way" wajib terus dilakukan dan ditingkatkan demi mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta demi melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

Permanent Court Arbitration/South China Sea Tribunal 2016

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Sentra Kelautan Dan Perikanan Terpadu Di Pulau-Pulau Kecil Dan Kawasan Perbatasan

Buku

Larry M. Wortzel, Robin D.S. Higham, 1999, Dictionary of Contemporary Chinese Military History, ABC-CLIO, Santa Barbara, hlm.180.

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 182.

Retno Windari, 2009, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Jakarta, hlm.24.

Jurnal/Publikasi

Asian Development Bank, 2011, Asia 2050: Realizing the Asian Century, ADB, Singapore, hlm.2.

Hendra Maujana Saragih, "Diplomasi Pertahanan Indonesia Dalam Konflik Laut China Selatan", Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. VIII, No. 1, Tahun 2018, hlm.56.

Jacobs, J. Bruce, 2014, China's Frail Historical Claims to the South China and East China Seas, American Enterprise Institute, hlm.1-2.

Jessica A. Purba, Burhanuddin, A., "Encourage From Fear: Perubahan Nama Laut Natuna Utara Sebagai Upaya Indonesia Dalam Mempertahankan Kedaulatan Negara", Jurnal Ilmiah Multidisiplin, Vol. 2, No. 6, Tahun 2023, hlm.14.

M. Habib Pashya, "Peran Dan Hambatan Bakamla Menjaga Laut Natuna Utara Di Era Joko Widodo", Jurnal Defendonesia, Vol. 6, No. 2, Tahun 2022, hlm.41.

Marsetio, 2014, Manajemen Strategis Negara Maritim Dalam Perspektif Ekonomi Dan Pertahanan, TNI AL, Jakarta, hlm.20.

Pusat Kajian Anggaran Sekretariat Jenderal DPR RI, 2020, Potensi dan Problematika menjaga Hak Berdaulat Indonesia di Laut Natuna Utara, DPR RI, Jakarta, hlm.2.

Siti Sarah, "Strategi Balance Of Power Indonesia Dalam "Perang Dingin" Antara Amerika Serikat dan China Di Laut China Selatan", Jurnal Defendonesia, Vol. 6, No. 1, Tahun 2022, hlm.53

Syakieb Sungkar, "Diplomasi Indonesia di Laut China Selatan", Jurnal Dekonstruksi, Vol. 7, No. 1, Tahun 2022, hlm. 165.

The US EIA, 2024, Regional Analysis Brief: South China Sea, Washington DC, United States, hlm.20.

Yayat Ruyat, "Peran Indonesia Dalam Menjaga Wilayah Laut Natuna dan Menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok Selatan", Jurnal Lemhannas RI, Vol. 5, No. 1, Tahun 2020, hlm.68.

 

Internet

Anggi Kusumadewi, 2016, "Kemelut Indonesia-China di Natuna Sepanjang 2016", https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160621100151-20-139694/kemelut-indonesia-china-di-natuna-sepanjang-2016, diunggah pada 21 Juni 2016, diakses pada 24 Mei 2024.

CNBC Indonesia, 2020, "Ada Harta Karun Apa yang Diperebutkan di Laut China Selatan?", https://www.cnbcindonesia.com/news/20200703144957-4-170032/ada-harta-karun-apa-yang-diperebutkan-di-laut-china-selatan, diunggah pada 03 Juli 2020, diakses pada 24 Mei 2024.

CNBC Indonesia, 2021, "Heboh Kapal China di Natuna Ganggu Tambang, RI Kirim Protes?", https://www.cnbcindonesia.com/news/20210914102533-4-276049/heboh-kapal-china-di-natuna-ganggu-tambang-ri-kirim-protes, diunggah pada14 September 2021, diakses pada 24 Mei 2024.

CNBC Indonesia, 2021, "Kondisi Migas RI di Natuna di Tengah Serbuan Kapal China", https://www.cnbcindonesia.com/news/20210921103440-4-277861/kondisi-migas-ri-di-natuna-di-tengah-serbuan-kapal-china, diunggah pada 21 September 2021, diakses pada 24 Mei 2024.

Darmawan, Aristyo & Arie Afriansyah, 2020, "Gauging Indonesia's Interests in the South China Sea", https://eastasiaforum.org/2020/06/26/gauging-indonesias-interests-in-the-south-china-sea/, diunggah pada 26 Juni 2020, diakses pada 24 Mei 2024.

Detik, 2020, "29 Kapal Nelayan Pantura Mulai Melaut di Natuna Besok, Dikawal Bakamla", https://news.detik.com/berita/d-4931968/29-kapal-nelayan-pantura-mulai-melaut-di-natuna-besok-dikawal-bakamla, diunggah pada 09 Maret 2020, diakses pada 24 Mei 2024.

FMPRC, 2016, "Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Statement by Spokesperson of US State Department on South China Sea Arbitration Ruling", https://www.fmprc.gov.cn/nanhai/eng/fyrbt_1/201607/t20160713_8525599.htm, diunggah pada 13 Juli 2016, diakses pada 24 Mei 2023.

Indonesia Defense, 2022, "Super Garuda Shield, KSAL Tegaskan Situasi Natuna Utara Masih Aman", https://indonesiadefense.com/super-garuda-shield-ksal-tegaskan-situasi-natuna-utara-masih-aman/, diunggah pada 09 Agustus 2022, diakses pada 24 Mei 2024.

Kemenko Perekonomian RI, 2023, "Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Sepakati Kerja Sama di Bidang Ekonomi Digital", https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/5374/indonesia-dan-republik-rakyat-tiongkok-sepakati-kerja-sama-di-bidang-ekonomi-digital, diunggah pada 12 September 2023, diakses pada 24 Mei 2024.

Kemensetneg RI, 2013, "Code of Conduct ASEAN-RRT, Solusi Masalah Laut China Selatan", https://www.setneg.go.id/baca/index/code_of_conduct_asean-rrt_solusi_masalah_laut_china_selatan, diunggah pada 26 April 2013, diakses pada 24 Mei 2024.

Kompas, 2021, "Negara Merugi Hingga Rp 30 Triliun Tiap Tahun Akibat Pencurian Ikan di Natuna", https://regional.kompas.com/read/2021/04/12/172819478/negara-merugi-hingga-rp-30-triliun-tiap-tahun-akibat-pencurian-ikan-di, diunggah pada 12 April 2021, diakses pada 24 Mei 2024.

Made Andi Arsana, 2016, "Berebut Ikan di Laut Tiongkok Selatan", https://madeandi.staff.ugm.ac.id/berebut-ikan-di-laut-tiongkok-selatan/, diunggah pada 28 Maret 2016, diakses pada 24 Mei 2024.

Tempo, 2020, "IOJI Duga Kapal Cina dan Vietnam Kembali Menangkap Ikan di Laut Natuna Utara", https://nasional.tempo.co/read/1369880/ioji-duga-kapal-cina-dan-vietnam-kembali-menangkap-ikan-di-laut-natuna-utara, diunggah pada 28 Juli 2020, diakses pada 24 Mei 2024.

Tempo, 2022, "Kapal Penjaga Pantai Cina Masuk Natuna Perairan ZEE Indonesia, Diduga Sempat Intimidasi Nelayan", https://nasional.tempo.co/read/1634511/kapal-penjaga-pantai-cina-masuk-natuna-perairan-zee-indonesia-diduga-sempat-intimidasi-nelayan, diunggah pada 15 September 2022, diakses pada 24 Mei 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun