Mohon tunggu...
Nanda Putra Anindita
Nanda Putra Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Mahasiswa Hukum yang mencoba menjadi orang yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

An Indonesian Way: Langkah Berdaulat Indonesia Menyikapi Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

27 Mei 2024   15:03 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:22 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Unsplash/linfeng Li

Dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhadap manuver Tiongkok, Indonesia telah melakukan berbagai upaya dengan jalan diplomasi. Pada 23 Juni 2016, Presiden Indonesia Joko Widodo dengan memakai jaket bomber mengadakan rapat kabinet terbatas di KRI Imam Bonjol di atas Laut Natuna Utara untuk membahas pertahanan kemanan dan ekonomi di wilayah Natuna. Strategi diplomasi ini digunakan untuk mengirimkan sinyal kepada Tiongkok bahwa Indonesia akan memproteksi kedaulatannya di ZEE Indonesia tanpa kompromi. Setahun setelahnya, Indonesia mengambil langkah yang signifikan dengan melakukan perubahan nama laut dari Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Langkah ini merupakan bentuk tindakan diplomatis yang dimaksudkan untuk mempertegas wilayah kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights) Indonesia atas wilayah Laut Natuna Utara. Perubahan ini tentunya dilakukan dengan berdasarkan UNCLOS 1982 serta hanya mencakup wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, sehingga di luar wilayah tersebut tetap bernama Laut China Selatan.

Selain jalan diplomasi, penguatan angkatan militer juga dilakukan oleh Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara. Pada tahun 2016, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat menambahkan personelnya di Natuna yang sebelumnya 800 personel menjadi 2.000 personel. TNI Angkatan Laut mengirim 14 kapal perang ke perairan Natuna dalam kaitannya untuk menjaga kedaulatan. Sedangkan TNI Angkatan Udara mengerahkan radar di beberapa bagian pulau untuk melakukan operasi pengawasan selama 24 jam. Latihan perang juga dilakukan untuk menegaskan legitimasi Indonesia atas wilayah Laut Natuna Utara salah satunya Latihan Angkatan Laut Multilateral Komodo (MNEK). MNEK adalah kegiatan diplomasi maritim Indonesia yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan angkatan laut mitra dalam operasi militer dan non-militer, seperti bantuan penyelamatan bencana dan evakuasi medis. MNEK Natuna dilakukan pada tahun 2016. Selain MNEK, latihan bersama juga dilakukan pada tahun 2022 dengan tajuk Super Garuda Shield 2022 yang digelar bersama sejumlah negara sahabat, seperti US Navy dan Singapura di kawasan Indo-Pasifik. Selain itu, pembangunan pangkalan TNI di wilayah Natuna yang diresmikan pada tahun 2019 dapat berfungsi sebagai deterrence effect atas manuver yang dilakukan terutama oleh Tiongkok.

Selain kekuatan militer, penegakan atas kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara juga dilakukan dengan penguatan penegakan hukum melalui Badan Keamanan Laut (Bakamla). Bakamla secara resmi dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014. Dalam pasal 2 Perpres a quo dijelaskan bahwa tugas Bakamla adalah melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdikasi Indonesia. Tahun 2019, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menunjuk Bakamla sebagai Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG) di Laut Natuna Utara. Dalam menegakkan hukum di Laut Natuna Utara, Bakamla memiliki satu unit kapal markas, 3 unit kapal patroli berukuran 80 meter, 6 unit ukuran 48 meter, dan 16 unit ukuran 15 meter tipe Katamaran, serta 14 unit Rigid Inflatable Boat (RIB) ukuran 12 meter. Selain itu, Bakamla dilengkapi sistem teknologi informasi National Picture Compilation (NPC), Maritime Regional Crisis Center (MRCC), Regional Crisis Center (RCC) yang digunakan untuk memantau jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), serta peningkatan kapabilitas militer Bakamla melalui senjata kaliber 30 mm yang sebelumnya hanya menggunakan senjata karet.

Bakamla sejak tahun 2020 telah secara resmi melakukan operasi cegah tangkal dan operasi "shadowing". Operasi tersebut dilakukan sebagai upaya Bakamla untuk mengusir coast guard Tiongkok dan melindungi nelayan Indonesia ketika melaut di Laut Natuna Utara. Pada tahun 2021, Bakamla dan AS menyepakati untuk membangun Pusat Pelatihan Maritim di Batam serta membuat forum komunikasi dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam terkait sengketa Natuna. Di tahun yang sama, Bakamla menginisiasi forum coast guard se-ASEAN melalui ASEAN Coast Guard Forum yang menjadi forum tahunan hingga saat ini. Tak hanya itu, konsep Nelayan Nasional Indonesia (NNI) juga diusulkan oleh Bakamla kepada Kementerian Politik Hukum dan HAM.

Langkah Indonesia baik secara diplomasi, militer maupun penegakan hukum harus disempurnakan dengan kehadiran Indonesia secara de facto di Laut Natuna Utara. Hal ini dilakukan Indonesia dengan peningkatan eksplorasi sumber daya disertai dengan peningkatan kapasitas nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara. Laut Natuna Utara memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan dunia. Cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Berdasarkan perhitungan pemerintah Indonesia, ladang gas D-Alpha atau Blok East Natuna memiliki total cadangan 222 triliun kaki kubik (TCF) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCF. Sedangkan potensi sumber daya ikan laut di Laut Natuna Utara berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun.

Berdasarkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hingga 2020 terdapat sembilan blok migas di Laut Natuna Utara dengan rincian tiga blok dalam fase eksplorasi dan enam blok dalam fase eksploitasi. Dalam enam blok fase eksploitasi, empat blok sudah berproduksi dan dua blok dalam tahap pengembangan. Produksi minyak di Laut Natuna Utara hingga 15 September 2021 sebesar 17.449 barel per hari dan produksi gas sebesar 394 juta standar kaki kubik per hari. Produksi tersebut berasal dari tiga Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen migas di lepas pantai (offshore) Natuna, antara lain Medco E&P Natuna, Premier Oil, dan Star Energy.

Sedangkan di sektor perikanan, pemanfaatan hasil laut disertai dengan mobilitas dan aktivitas nelayan lokal di Laut Natuna Utara menjadi simbol bahwa Laut Natuna Utara merupakan ZEE Indonesia yang benar-benar dimanfaatkan dan memiliki manfaat untuk nelayan Indonesia. Hadirnya nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya memberikan pengaruh dalam memperkuat legitimasi Indonesia akan pemanfaatan hak berdaulat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menyediakan fasilitas kepada nelayan lokal untuk mampu secara maksimal memanfaatkan sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara. Fasilitas tersebut berupa jaminan keamanan di Laut Natuna Utara melalui operasi dan pengawalan yang dilakukan Bakamla kepada nelayan lokal. Pada tahun 2020, Bakamla melalui instruksi Presiden Joko Widodo melakukan pengawalan terhadap 29 kapal nelayan yang mencari ikan di Laut Natuna Utara. Selain itu, melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 51 Tahun 2016, dibangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna yang bertujuan untuk mengintegrasikan aktivitas pendaratan ikan, pengolahan hingga pemasaran.

Selain kebijakan dalam negeri, "Indonesian Way" juga menjadi strategi Indonesia dalam rangka untuk menyelenggarakan ketertiban dan perdamaian dunia khususnya menjaga stabilitas kawasan ASEAN. Pada tahun 1990 Indonesia menginisiasi sebuah workshop yang berjudul Workshop on Management of Potential Conflict in the South China Sea. Tahun 2002, Indonesia kembali menjadi inisiator pembentukan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) yakni tentang bagaimana ASEAN mengelola situasi konflik di kawasan dengan mengikuti Declaration of Conduct (DOC), yang di dalamnya disepakati Code of Conduct (COC). COC berisi komitmen ASEAN dan Tiongkok untuk patuh terhadap aturan hukum internasional, menghormati freedom of navigation di Laut China Selatan, penyelesaian sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. Sebagai catatan, DOC/COC di Laut China Selatan hingga saat ini belum menemui kata sepakat antara ASEAN dan Tiongkok namun terus diusahakan hingga saat ini. Selain melalui DOC/COC, beberapa nota protes yang dilayangkan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia kepada Tiongkok dan dunia atas manuver Tiongkok di Laut Natuna Utara juga berfungsi sebagai bentuk "persistent objection" atau penolakan secara terus-menerus. Hukum Internasional mengenal persistent objection untuk memberikan legitimasi terhadap penolakan atas klaim sepihak suatu wilayah tertentu oleh negara lain dalam hal ini klaim Tiongkok atas Laut Natuna Utara.

Upaya balance of power juga diterapkan Indonesia untuk memperkuat kemitraan dan perdamaian serta stabilitas di Laut China Selatan dalam eskalasi konflik hegemoni Amerika Serikat dan Tiongkok. Strategi ini dianggap cocok dengan politik bebas aktif Indonesia dengan tidak memihak negara manapun namun justru bekerja sama dengan negara manapun. Pertemuan bilateral baik dengan Amerika Serikat dan sekutunya maupun dengan Tiongkok kerap dilakukan. Kerja sama Indonesia-Amerika Serikat kerap di sektor pertahanan seperti kerja sama Pusat Pelatihan Maritim di Batam dan Garuda Shield. Sedangkan kerja sama Indonesia-Tiongkok lebih banyak di sektor ekonomi. Bentuk kerja sama ini seperti kerja sama investasi, infrastruktur, dan ekonomi digital. Selain itu, Indonesia-Tiongkok juga telah sepakat untuk memperkuat kerja sama di forum ASEAN dan G20 melalui ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF), Global Development Initiative (GDI), Global Security Initiative (GSI), dan Global Civilization Initiative (GCI).

Langkah yang ditempuh Indonesia melalui "Indonesia Way" untuk menyikapi manuver Tiongkok di Laut Natuna Utara melalui kebijakan dalam negeri dan luar negeri yang berdasarkan hukum merupakan langkah tepat. Di satu sisi, menunjukkan kehadiran dan kepedulian Indonesia di Laut Natuna Utara dan di sisi yang lain menguatkan posisi diplomatis serta legitimasi Indonesia di kawasan. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki wilayah kedaulatan sekaligus hak berdaulat di Laut Natuna Utara yang wajib ditegakkan serta memiliki kepentingan di Laut China Selatan sebagai bagian dari ASEAN. "Indonesian Way" wajib terus dilakukan dan ditingkatkan demi mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta demi melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun