Mohon tunggu...
Nanda Putra Anindita
Nanda Putra Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Mahasiswa Hukum yang mencoba menjadi orang yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

An Indonesian Way: Langkah Berdaulat Indonesia Menyikapi Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

27 Mei 2024   15:03 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:22 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Unsplash/linfeng Li

Hak berdaulat (sovereign right) suatu negara pantai selain terdapat di wilayah ZEE juga terdapat di wilayah Landas Kontinen negara pantai. Pasal 58 UNCLOS 1982 mengatur bahwa negara lain yang berada di dalam wilayah ZEE negara pantai memiliki kebebasan untuk berlayar dan terbang di atasnya serta untuk melakukan pemasangan kabel dan pipa di bawah laut namun tidak diperbolehkan untuk mengambil kekayaan alam atau tindakan yang sifatnya mengurangi nilai ekonomi bagi negara pantai di wilayah tersebut.

Absah atau tidaknya Nine-Dash Line sebenarnya telah terjawab sejak Filipina menggugat Tiongkok ke Permanent Court Arbitration (PCA) di Hague pada tanggal 22 Januari 2013 yang diputuskan pada tahun 2016. Dalam putusan tersebut, PCA menyatakan bahwa klaim Tiongkok atas Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum. PCA tidak mengakui historical rights yang digunakan Tiongkok atas klaim Laut China Selatan karena bertentangan dengan UNCLOS 1982. Atas putusan tersebut Tiongkok tidak menerima serta tidak mau mengakui dan menganggap bahwa putusan PCA tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Manuver Tiongkok melalui Nine-Dash Line dan Pengaruhnya terhadap Kedaulatan Indonesia

Keputusan politik Tiongkok yang tidak mengakui putusan PCA memberikan kesan bahwa keinginan Tiongkok menguasai wilayah Laut China Selatan melalui klaim Nine-Dash Line sangat serius. Tiongkok bahkan berani untuk tidak mematuhi UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi sendiri oleh Negeri "Tirai Bambu" itu. Tak hanya langkah politik, tetapi bahkan sumber daya militer telah dikerahkan oleh Tiongkok di wilayah Laut China Selatan. Pulau buatan serta pangkalan-pangkalan militer dibangun demi untuk menunjukkan eksistensi dan legitimasi Tiongkok atas klaim Nine-Dash Line. Manuver Tiongkok dengan mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan serta tidak mengindahkan putusan dari PCA tentu menjadi sinyal bahaya bagi kedaulatan Indonesia. Bagaimana tidak, walaupun berstatus sebagai non-claimant state tetapi wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara masuk dalam klaim wilayah Nine-Dash Line. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk ancaman serius terhadap kedaulatan Indonesia terutama di Laut Natuna Utara. Terlebih berbagai insiden antara Indonesia dan Tiongkok menyangkut Laut Natura Utara terjadi selama beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2016 terjadi insiden kapal nelayan Hwai Fey yang berbendera Tiongkok memasuki Laut Natura Utara dan melakukan penangkapan ikan. Menariknya, kapal nelayan itu dikawal dan dilindungi oleh coast guard Tiongkok yang mengikuti di belakangnya. Tak kapok, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan kapal Tiongkok bernama Lu Rong Yuan Yu 701 diduga menangkap ikan di Laut Natuna Utara pada tahun 2020. Lebih lanjut pada tahun 2022, coast guard Tiongkok kembali memasuki perairan Laut Natuna Utara dan melakukan intimidasi kepada nelayan lokal yang sedang melaut. Tak hanya di sektor perikanan, gangguan Tiongkok juga terjadi di sektor eksplorasi tambang. Dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Keamanan Laut (Bakamla) bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 2021 dilaporkan bahwa ribuan kapal Tiongkok memasuki perairan Indonesia di Laut Natuna Utara. Tak hanya melintas, kapal-kapal coast guard Tiongkok tersebut menganggu aktivitas tambang dengan membayang-bayangi kerja kapal rig noble yang berbendera Indonesia di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Walaupun Tiongkok dalam menghadirkan eksistensinya di Laut Natuna Utara sebagai bagian dari strategi politik klaim Nine-Dash Line tidak menggunakan pendekatan militer namun tetap saja mencederai kedaulatan Indonesia. Pertama, secara de jure (hukum) kedaulatan atas wilayah Indonesia dengan gamblang dilanggar oleh Tiongkok dengan memasukkan sebagian wilayah Laut Natuna Utara di dalam klaim Nine-Dash Line yang tidak berdasarkan UNCLOS 1982. Pelanggaran kedaulatan atas wilayah Indonesia juga dilakukan oleh Tiongkok secara de facto (nyata) dengan insiden masuknya kapal-kapal nelayan Tiongkok dan coast guard Tiongkok di Laut Natuna Utara untuk mengambil ikan bahkan mengganggu keamanan aktivitas yang ada di perairan Laut Natuna Utara. Pelanggaran kedaulatan tersebut menimbulkan ancaman bagi Indonesia baik secara politik, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan.

Ancaman secara politik dapat ditinjau dari aspek hukum yang mengatur mengenai persoalan politik tersebut. Telah dibahas di bagian sebelumnya bahwa di negara lain yang melewati ZEE Indonesia dalam hal ini Tiongkok memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh UNCLOS 1982. Tiongkok pada dasarnya diperbolehkan untuk melintas di ZEE Indonesia namun tidak boleh melakukan tindakan yang mengganggu keamanan dan melakukan kegiatan yang mengurangi nilai ekonomi Indonesia seperti mengeksplorasi sumber daya laut termasuk dengan sengaja mengambil ikan serta mengerahkan coast guard dengan maksud tertentu. Pelanggaran hukum atas UNCLOS 1982 tersebut secara politik menyiratkan bahwa Tiongkok akan melakukan segala cara untuk dapat menguasai sebagian Laut Natuna Utara dalam klaim Nine-Dash Line.

Pengambilan sumber daya ikan oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara selain melanggar atas kedaulatan wilayah juga menimbulkan ancaman atas kedaulatan ekonomi Indonesia. Pencurian ikan tersebut menimbulkan kerugian negara hingga mencapai 30 triliun rupiah setiap tahun. Aktivitas Tiongkok di Laut Natuna Utara juga mengancam pertahanan dan keamanan Indonesia. Nelayan Tiongkok yang dilindungi oleh coast guard Tiongkok dengan dilengkapi fitur militer membuat nelayan Indonesia ketakutan dan enggan untuk melaut di Laut Natuna Utara. Coast guard Tiongkok melakukan intimidasi untuk mengusir nelayan-nelayan lokal Indonesia. Tentu saja nelayan-nelayan tradisional di Natuna yang masih banyak menggunakan "pompong" atau kapal kayu dengan kapasitas kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT) tak mampu untuk melawan. Sebagai gambaran, kapal negara lain termasuk Tiongkok yang mencuri ikan di Laut Natuna Utara umumnya menggunakan kapasitas volume minimal 60 GT.

Langkah Indonesia Sebagai Non-Claimant State atas Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

Perlu diingat, dengan kedudukan Indonesia sebagai non-claimant state dalam konflik Laut China Selatan harus dimaksudkan bahwa kepentingan Indonesia tidak berkaitan dengan perebutan klaim atas fitur maritim di Laut China Selatan. Indonesia selama ini tidak ikut campur dalam urusan klaim fitur maritim yang diperebutkan oleh Tiongkok, Vietnam, dan Filipina. Kepentingan Indonesia di Laut China Selatan adalah murni karena 2 hal, pertama dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhadap manuver Tiongkok melalui klaim Nine-Dash Line disertai dengan sikap asertif Tiongkok di Laut Natuna Utara. Kedua, kewajiban Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan mempunyai pengaruh besar di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) untuk menyelenggarakan ketertiban dan perdamaian dunia khususnya menjaga stabilitas kawasan ASEAN.

Langkah Indonesia dalam menyusun dan melakukan tindakan untuk memperjuangkan kepentingannya di Laut China Selatan harus berdasarkan pada hukum. Hal ini karena negara Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan bunyi pasal 1 Ayat (3) dalam konstitusi negara kita. Oleh karena itu, dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia di konflik Laut China Selatan harus sesuai dan didasarkan konstitusi UUD 1945 beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya, UNCLOS 1982, dan Putusan PCA/South China Sea Tribunal 2016. Langkah Indonesia untuk memperjuangkan kepentingannya di Laut China Selatan disebut "Indonesian Way" yang diwujudkan dengan kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri yang bernafaskan bunyi pembukaan konstitusi UUD 1945 serta berlandaskan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun