"Dokteerr ... Dokteerr!" teriaknya panik.
"Pasien atas nama Gabriel sedang kesakitan, cepat ditolong, dok!" ujarnya terbata-bata.
Serombongan tim yang bertugas hari itu bergerak dengan cepat. Pasien diobservasi ekstra ketat pertanda Gabriel sedang tidak baik baik saja. Dokter spesialis jantung melakukan visit dengan memberikan beberapa penjelasan kepada keluarga.
"Pindahkan pasien ke ICU jantung!" perintah dokter spesialis dengan tegas.
"Pasang alat monitor, segera! Pantau tanda-tanda vital, pasien!" ujar dokter lagi seraya menulis di lembaran catatan pasien.
Tak berselang lama dokter juga memberikan inform consent pada keluarga pasien untuk menghindari miskomunikasi. Perawat dengan cekatan mendorong pasien ke ruang icu jantung untuk dilakukan tindakan penanganan lanjutan.
Bagas menggenggam erat jemari ringkih Gabriel, seolah hendak menyampaika pesan terakhir. Namun, hanya tatapan mata saling menatap tampa berkata-kata.
"Sabaar, ya! Dokter tengah berusaha menolong Gabriel. Tenanglah dan berdoa!" ulangnya lagi.
Terlihat sudut netra penuh buliran kristal menandakan kesedihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Gabriel memberi kode untuk diam. Telunjuk yang lemah diangkatnya ke arah Bagas untuk menghentikan pembicaraannya.
Sstt ... Sstt!