"Diamlah, mas Bagas! Gabriel pingin tenang!"Â
Suasana lengang hanya tatapan bening penuh harap, Bagas pun tak berkutik. Kekhawatiran yang lumrah terjadi. Suami mana yang bisa tenang dengan kondisi tegang seperti itu.
Ibu mondar-mandir seakan begitu peduli dengan istri Bagas, anak perempuan  kebanggaannya.
"Iya ... ya, "
Bagas mengangguk-ngangguk.
"Bagaas ... Bagaas! Ibu perhatikan, Audrey main hati ke kamu. Jangan sampai lupa diri apalagi mengabaikan Gabriel," terang ibu bernada gusar.
"Apa-apaan ibu? Kita tengah kepikiran dengan kesembuhan Gabriel, kok malah belok kemana-mana?" sanggah Bagas sambil nyengir kuda.
"Kamu, ya? dibilangin malah ngeyel." Ibu beranjak meninggalkan Bagas dengan perasaan dongkol.
Hari itu tepat jam duabelas siang, saat matahari menuju sepenggalah bumi, Gabriel dipindahkan ke ruangan paviliun karena udah dinyatakan membaik. Kesehatan yang belum stabil butuh pemantauan secara kontinyunitas di ruangan perawatan.
"Pak Bagas, ibu Gabriel udah dapat dirawat di ruangan. Tolong, ya, pak! Pasien jangan terlalu berpikir yang berat-berat, apalagi stres. Hindari tekanan, ya, pak!?" nasehat dokter kardiologis serius.
Selama Gabriel dirawat di rumah sakit, Audrey terus membantu mengurusi rumah dan anak anak. Mereka menangis sejadi jadinya sejak tau ibunya di rawat di rumah sakit. Rasanya air mata begitu mudah dikucurkan sebanyak banyaknya dan menjadi anak cengeng.
"Audreeyy ... Audreyy!" teriak ibu.
"Kamu urusin cucu ibu, tapi jangan kau ikut campur mengurusin papa mereka. Jaga sikap apalagi di depan Gabriel jangan sampai dia mengalami serangan jantung berulang." nasehat ibu bernada sindiran.