Hari ini kesehatan Gabriel tidak menampakkan kemajuan, semakin hari semakin melemah. Ia malah lebih sering bertambah sesak jika adanya pergeseran sungkup oksigen di mulutnya, terlihat dada semok yang naik turun, bahkan raut wajah hampir memutih seperti kapas.
"Gabriel, sayang?! Kenapa dengan wajahmu, nak?" tanya ibu yang merasa aneh dengan perubahan mendadak pucat pada anaknya.
"Ayoo! Kita berdoa bu, ia sedang berjuang menghadapi masa kritisnya." Audrey memberi sugesti pada ibu yang merasa nelangsa.
"Gabriel, cepat sembuh! Audrey dan bagas akan menjagaimu dengan baik. Cepat sembuh mba, demi kami yang menyayangi, Gabriel!?" ratapan Audrey menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Sungguh, tak sanggup menyaksikan orang yang pernah hidup seatap, kini sedang berjuang dengan maut.
Gabriel sangat lemah dengan kondisi parah sekarang ini. Area mata mencekung, mulut dan bibir agak kebiruan disertai ujung kaki dan tangan memucat terkesan sianosis berat.
"Maafkan mas, ya, dek?! Gabriel harus kuat, pasti bisa, sayang!" bisik mesra Bagas dengan menggenggam tangan putih pucat.
"Mas ... Maass! Gabriel merasa nyeri, banget!" suara melenguhnya sembari memegang area dada.
"Duuhh ... Aduuhh!" rintih kesakitan terdengar menahan sakit.
"Bentar, sayang!" Bagas bangkit kearah pintu keluar memanggil dokter jaga.
"Dokteerr ... Dokteerr!" teriaknya panik.
"Pasien atas nama Gabriel sedang kesakitan, cepat ditolong, dok!" ujarnya terbata-bata.
Serombongan tim yang bertugas hari itu bergerak dengan cepat. Pasien diobservasi ekstra ketat pertanda Gabriel sedang tidak baik baik saja. Dokter spesialis jantung melakukan visit dengan memberikan beberapa penjelasan kepada keluarga.
"Pindahkan pasien ke ICU jantung!" perintah dokter spesialis dengan tegas.
"Pasang alat monitor, segera! Pantau tanda-tanda vital, pasien!" ujar dokter lagi seraya menulis di lembaran catatan pasien.
Tak berselang lama dokter juga memberikan inform consent pada keluarga pasien untuk menghindari miskomunikasi. Perawat dengan cekatan mendorong pasien ke ruang icu jantung untuk dilakukan tindakan penanganan lanjutan.
Bagas menggenggam erat jemari ringkih Gabriel, seolah hendak menyampaika pesan terakhir. Namun, hanya tatapan mata saling menatap tampa berkata-kata.
"Sabaar, ya! Dokter tengah berusaha menolong Gabriel. Tenanglah dan berdoa!" ulangnya lagi.
Terlihat sudut netra penuh buliran kristal menandakan kesedihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Gabriel memberi kode untuk diam. Telunjuk yang lemah diangkatnya ke arah Bagas untuk menghentikan pembicaraannya.
Sstt ... Sstt!
"Diamlah, mas Bagas! Gabriel pingin tenang!"Â
Suasana lengang hanya tatapan bening penuh harap, Bagas pun tak berkutik. Kekhawatiran yang lumrah terjadi. Suami mana yang bisa tenang dengan kondisi tegang seperti itu.
Ibu mondar-mandir seakan begitu peduli dengan istri Bagas, anak perempuan  kebanggaannya.
"Iya ... ya, "
Bagas mengangguk-ngangguk.
"Bagaas ... Bagaas! Ibu perhatikan, Audrey main hati ke kamu. Jangan sampai lupa diri apalagi mengabaikan Gabriel," terang ibu bernada gusar.
"Apa-apaan ibu? Kita tengah kepikiran dengan kesembuhan Gabriel, kok malah belok kemana-mana?" sanggah Bagas sambil nyengir kuda.
"Kamu, ya? dibilangin malah ngeyel." Ibu beranjak meninggalkan Bagas dengan perasaan dongkol.
Hari itu tepat jam duabelas siang, saat matahari menuju sepenggalah bumi, Gabriel dipindahkan ke ruangan paviliun karena udah dinyatakan membaik. Kesehatan yang belum stabil butuh pemantauan secara kontinyunitas di ruangan perawatan.
"Pak Bagas, ibu Gabriel udah dapat dirawat di ruangan. Tolong, ya, pak! Pasien jangan terlalu berpikir yang berat-berat, apalagi stres. Hindari tekanan, ya, pak!?" nasehat dokter kardiologis serius.
Selama Gabriel dirawat di rumah sakit, Audrey terus membantu mengurusi rumah dan anak anak. Mereka menangis sejadi jadinya sejak tau ibunya di rawat di rumah sakit. Rasanya air mata begitu mudah dikucurkan sebanyak banyaknya dan menjadi anak cengeng.
"Audreeyy ... Audreyy!" teriak ibu.
"Kamu urusin cucu ibu, tapi jangan kau ikut campur mengurusin papa mereka. Jaga sikap apalagi di depan Gabriel jangan sampai dia mengalami serangan jantung berulang." nasehat ibu bernada sindiran.
"Ibu ... Ibu! Kenapa, sih, pikiran tuamu itu begitu kotor?" bantah Audrey gak terima dituduh sebagai perusuh rumah tangga sahabatnya.
Audrey  sangat menyesali kejadian tersebut, tetapi tidak ada pilihan lain dalam hidupnya. Ia merasa benar dengan tindakan yang telah diambilnya. Hanya ibu yang lebih peka mengendus gelagat Audrey di depan Bagas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H