Pekerjaan yang diusung sendiri keliatan sangat berat, apalagi membutuhkan tenaga ekstra. Sebuah pekerjaan mempunyai komitmen dalam penyelesaian tugas-tugasnya. Strategi yang kita pilih sesuai kemampuan yang dimiliki.
Memanfaatkan waktu, tenaga dalam manajemen usaha dirintis seperti kisah Pak Mulyono pemilik sebuah toko yang menjual alat-alat material di kotaku.
Beliau rajin mengontrol toko tiap pagi sambil menyapa pelanggan setia yang rata-rata pengusaha. Terlihat ada tiga pekerja yang selalu stay ketika ada big bos
Tak lama kemudian, dia pun bergegas pulang menghabiskan waktu di rumah bersama istri.
"Pak, jangan terlalu capek, istirahat sebentar! suatu pagi istrinya menasehati si Papa yang udah mulai kendor gerak geriknya."
"Iya Mama, pekerja kita harus diawasi, kalau tidak mereka sesuka hati kerjanya dalam melayani langganan," dalih papa merasa masih kuat seperti dulu.
Toko Pak Mulyono di lengkapi dengan CCTV otomatis tersambung ke android miliknya. Dia sering menceritakan pengalamannya ketika bersama pengusaha chinese di masa itu. Pak Mulyono dipercayakan mengelola cabang usaha material yang dimodali oleh seorang bos besar.
Sifat jujur, disiplin dan tepat waktu mendominasi rutinitas keseharian Pak Mulyono. Tekad dan watak kerja kerasnya membawa perubahan hidup.
 "Usaha tidak akan mengkhianati hasil," motto pak Mulyono setiap kali menasehati anak-anaknya supaya giat berusaha dan berdoa.
Merasa usahanya terus maju pak Mulyono hanya mengontrol saja. Sementara tanggung jawab pengelolaan diserahkan pada kedua anaknya. Sekarang pak Mulyono menjadi bos besar dengan sejumlah aset mewah berkat kerja keras dan bantuan anaknya bertahun-tahun.
Alhasil, kesuksesan Pak Mulyono belum membuatnya bahagia, sejak kesepian melanda di masa tua. Anak-anak berjauhan, istri muda tak pernah akur dengan anak bawaan pak Mulyono.
"Sayang? aku teringat masa lalu, saat masih muda segalanya terasa indah. Kita bisa menikmati selera makan yang enak enak, bepergian keluar kota. Namun sekarang makan sedikit udah naik asam urat dan kholestrol," ceritanya sendu, terlihat gurat-gurat ketuaan yang kian jelas.Â
Beberapa hari ini, papa terlihat murung.Â
"Papa ... Papaa!" panggil Midah menyadarkan dirinya sedang bermenung.Â
"Papa, kopinya diminum, dong? mumpung panas. Mama udah ngasih gula dikit. Kalau mau nambah gula, biar diambilin," ujar Midah lembut dengan memamerkan paras cantik meski udah menginjak usia Jelita.
"Taruh aja, dulu. Papa lagi nelongso," sambungnya kalem.
"Apasih, yang dilamunkan, papa?"
"Teringat anak-anak yang jauh. Kangen aja, sih!" selanya datar sembari menarik nafas berat.
"Aahh ... Si Papa!? Mama dicuekin, atuh!" sambung Midah istri muda papa yang masih awet ayu dan terkesan genit.
Midah berlalu ke dapur, meneruskan kegiatan hobi memasak makanan ala kampung. Makanan itu sangat digemari oleh papa. Midah istri kesayangan menjadi kebanggaan papa di setiap momen.
Begitulah suasana setiap pagi, ngobrol sambil duduk nyantai menyeruput kopi bersama Midah. Terkadang diselingi drama lucu yang membuat geli.
Anak-anak dari almarhum istrinya telah merantau ke luar daerah hanya kedua anak lelaki yang menjadi tumpuan di toko material tersebut.Â
Anak berjauhan kerap membikin hati di rundung sedih. Perasaan rindu tak dapat dibohongi karena jelas tergambar dari seraut wajah tua. Seperti kata Midah yang jauh dirindui, sedangkan yang dekat diabai. Midah selalu mencari-cari perhatian layaknya ibu muda.
Kerja cerdas dan bukan kerja keras, Pak Mulyono sukses mengelola usaha hingga mengantarkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Dia mendidik anak-anaknya supaya disiplin dan menghargai waktu. Â
Kesuksesan adalah kebahagiaan yang bisa dinikmati sampai anak cucu. Kekayaan Pak Mulyono sebagian disumbangkan ke panti asuhan untuk mengimbangi perasaan berbagi dan mensyukuri nikmat-Nya.
Namun, satu penyesalan pak Mulyono, ia telah merasa bersalah memperbudak kedua anak lelakinya. Kedua anak lelakinya tidak sampai ke jenjang sarjana, karena sejak muda udah dilatih menjaga toko dan berbakti pada sang bapak.
"Kasian, Ramlan dan Kosim. Keduanya mengalah demi masa depan adik-adiknya. Apakah sebagai papa mereka, aku telah pilih kasih?!" batinnya bermonolog jauh.
"Anak perempuanku semua sarjana, tapi sayang tak satu pun ada di sampingku." gumam pak tua lirih, menatap kosong kedepan. Boro-boro berbakti pada orang tua. Mereka semua diboyong suaminya keluar daerah.
"Aku sih yang salah, membiarkan anak perempuan dibawa jauh," batin pak tua penuh sesal.
"Kalau gini, percuma hartaku berlimpah. Aku tak dapat menikmati. Aku hanya perlu kehangatan keluarga." sesal pak tua berujung kecewa.
Tapi resiko anak tertua seperti pak Mulyono, kembali di turunkan kepada anak sulungnya.
"Impaskah?" bisik hati kerasnya saling menyalahkan diri.
Hhmm ... Hhmm. Aroma dendam masa muda, ada yang menjadi korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H