Kisah kedua, tepatnya dua tahun yang silam, aku punya teman dumay namanya bang Dedi, dia dulu abang kelasku di SMP. Singkat cerita kami sudah seperti sodara saling mengingatkan, nasehat kebaikan selalu aku dapatkan darinya. Tak berselang lama terdengar berita dia telah meninggal dunia. Info itu aku dapatkan di aplikasi biru, dari postingan seorang teman. Perasaan shock dan tak menyangka rahasia kematian mengisyaratkan sebuah pesan berharga dalam hidup.
Dua hari sebelum berpulang, kami masih sempat chatingan menanyakan kabar, dan sedikit berbicara tentang Pilkada di kampungku. Sungguh, malam itu aku mau melanjutkan diskusi yang tertunda dengannya, meskipun urung karena ada firasat buruk terlintas di benakku. Bukankah aku telah menganggapnya seorang abang kelas yang baik tak lebih. Semoga kau tenang di sana wahai sahabat dumay sekaligus abang kelas yang baik hati. Maafkan atas segala kesalahan dan jika ada khilafku.
Kemudian kisahku yang ketiga, sangat unik tanpa disengaja, aku terlibat obrolan dengan seorang sahabat masa lalu di sekolah kesehatan. Dulu tampilannya begitu sangar, tatapan bola matanya tajam dan tegas. Jujur aku takut dengan orang itu dan malas berurusan dengannya. Namun, saat-saat terakhir masa hidupnya dia begitu baik dan ramah denganku ya Allah.Â
Hari itu kami chatingan berbalas kata, sampai menceritakan kisah sekolah dulu tentang bekunya tatapan mata dan diamnya membuatku takut untuk menyapa apalagi berbicara. Dia tertawa terbahak-bahak mendengarkan ocehanku saat itu, lalu ia pun membalas dengan anggapan yang sama terhadap diriku. Kamu seperti wanita dingin yang diam tanpa ekspresi tuturnya lagi.
Kata yang selalu kuingat darinya sampai sekarang, chatingan itu masih tersimpan rapi di messenggerku. "Seiring kedewasaan kamu semakin bijak dan berbalut keanggunan dari tatapan bola mata." Cie ... cie ternyata dia puitis juga sepertiku.
Aku pernah berjanji suatu saat akan berbalas kata-kata puitis itu. Namun, Sang Kuasa telah memanggilnya terlebih dahulu sebelum aku menepati janji. Pernah beberapa kali dia mencolekku di aplikasi biru, tapi mungkin situasi yang tidak mendukung obrolan dengannya.
Sebagai Self reminder, aku hanya bisa mematung saat mendapati berita sahabatku itu telah tiada. kabar duka tersampaikan melalui aplikasi biru. Keterpanaan yang sungguh di luar batas yang kupunya. Subhanallah, Sang Rabb lebih menyayanginya, semoga kau telah tenang di sana wahai sahabatku.
Kisahku yang keempat, tentang seorang teman dumay yang selalu mengkritisi tulisanku. Ia sangat tegas dan perfek dalam men-review sebuah naskah. Hingga suatu hari naskahku di scrernshot dan di posting ke media sosial lantas dikritisi tanpa izin pemiliknya. Nah, aku meradang dan emosi dibuatnya, sungguh kala itu.
Menurutku dia jutek dan sombong dengan teman yang baru dia kenal. Namun, dia begitu hangat pada teman-teman lainnya. Kami saling dingin dan diam hanya lewat tulisan masing masing mengungkapkan apa yang sedang terjadi.
Satu karya artikelku lahir menuangkan perasaan tentang penolakan sikap beliau. Dia seorang yang cerdas dan sangat teliti dalam sebuah penulisan. Semua teman-teman dumai mengakuinya, justru tak kenal maka tak sayang hingga terjadi kesalah pahaman dengannya.Â
Namun demikian, entah darimana berawal menjadi kebalikannya, kami sukses membina hubungan baik di group komunitas, sungguh jauh berbeda dari sebelumnya. Sebuah kehangatan dan merindui sosok sahabat dumay menjadi akrab di komunitas literasi. Setiap aku membaca obrolannya langsung merespon pertanda menyenangi adanya interaksi dengannya. Setelah itu menghilang tiada berita dan aku pun tidak aktif lagi di group tersebut.