Saat kamu menjadi pesakitan harus lebih bersabar diri, semoga rasa sakit itu menjadi ujian awal menuju fitrah, hingga berguguran dosa-dosamu. Badai pasti berlalu walaupun harus menunggu entah sampai kapan. Yakinilah, kesabaran itu tidak akan pernah merugi, akan ada hadiah indah menantimu. Hanya orang orang kuat yang mampu menjalani ujian kesabaran tingkat tinggi.
Ketika di timpa musibah ucapkanlah innalillahi wa inna ilaihi rajiun, semua kita akan kembali pada-Nya. Menyikapi suatu musibah dengan sikap positif akan memperkuat iman seseorang. Nikmatilah rasa pedihmu meskipun tidak sesuai dengan harapan, maka bersyukurlah! Bukankah di balik kesulitan akan ada kemudahan. Yakinilah, janji Allah itu pasti.
Di sini penulis akan menjabarkan kisah yang mungkin terjadi tidak secara kebetulan, melainkan sebuah pembelajaran diri berupa teguran keras. Kisah ini terjadi di waktu lalu, mengingatkan kita tentang muhasabah diri atas segala kealpaan. Penulis akan merangkum menjadi tiga bagian kisah yang berbeda, dengan makna yang serupa. Begini ceritanya, kala itu malam lebaran kedua aku bergegas menyiapkan makan malam sekeluarga, tanpa sengaja menjatuhkan sebuah mangkok besar berbahan indo keramik, saat mengambil beberapa piring yang tersimpan di dalam rak.Â
Gedubrak, pyaarr, priingg.
"Waduuhh ...!" erangku kesakitan.
Benda jatuh dari ketinggian satu meter telah mengenai tepat sasaran. Jempol kakiku menjadi korban dan terasa sakitnya bukan main, ya Allah.
Jujur, aku belum pernah merasakan nyeri seperti ini, hingga rasanya mengaing ngaing seperti anjing yang di lempar gagang besi sama tetangga. Spontan, seisi rumah kebingungan melihat atraksi luar biasa, lantas si anak mengambil baskom berisikan air hangat buat mengompres kaki. Namun, tiada mempan sedikitpun, rasa sakit ini seperti mau melepaskan nyawa di ujung tanduk.
Tak berdaya, aku langsung saja minum obat-obatan pereda sakit walaupun nyeri agak berkurang, cukuplah menenangkan diri sejenak. Sementara, dentang jam pun sudah menunjukkan angka 03.00 wib menandakan bahwa puncaknya seisi rumah sedang tertidur pulas. Aku bolak balik merebahkan raga ini untuk mengistirahatkan jiwa yang semakin.penat.Â
Fajar telah menyingsing, tapi netra ini belum sempat terpejam jua. Namun, rasa ngilu perlahan berkurang seiring rebahan, kedua kelopak ini lamat-lamat menutup juga hingga rasa nyeri pun hilang sejenak. Aku terpekur merefleksikan kejadian tak menyenangkan itu, apakah pertanda teguran dari-Mu ya Allah. Aku mohon perlindungan-Mu ya Rabb, akhirnya sakitku berakhir di meja operasi dengan traksi kuku dan pembersihan luka. Sangat jelas terlihat jempol yang pecah mengeluarkan darah dan bernanah manakala aku bertahan dengan perawatan sederhana di rumah.Â
Itu berkat advice seorang teman yang berprofesi sebagai dokter, ia menyarankan tindakan cabut kuku untuk mencegah terjadinya pembusukan, bahkan ia memberi gambaran pada kasus ini jangan sampai luka meluas dan berujung amputasi. Kengerian yang tak dapat di tawar lagi, hingga membuatku langsung mengurus administasi masuk ke IGD rumah sakit dan tak terbayangkan jika terlambat mengambil tindakan mungkin jempolku tak tertolong. Aku masih beruntung diberi kesempatan oleh-Nya.
Kisah kedua, tepatnya dua tahun yang silam, aku punya teman dumay namanya bang Dedi, dia dulu abang kelasku di SMP. Singkat cerita kami sudah seperti sodara saling mengingatkan, nasehat kebaikan selalu aku dapatkan darinya. Tak berselang lama terdengar berita dia telah meninggal dunia. Info itu aku dapatkan di aplikasi biru, dari postingan seorang teman. Perasaan shock dan tak menyangka rahasia kematian mengisyaratkan sebuah pesan berharga dalam hidup.
Dua hari sebelum berpulang, kami masih sempat chatingan menanyakan kabar, dan sedikit berbicara tentang Pilkada di kampungku. Sungguh, malam itu aku mau melanjutkan diskusi yang tertunda dengannya, meskipun urung karena ada firasat buruk terlintas di benakku. Bukankah aku telah menganggapnya seorang abang kelas yang baik tak lebih. Semoga kau tenang di sana wahai sahabat dumay sekaligus abang kelas yang baik hati. Maafkan atas segala kesalahan dan jika ada khilafku.
Kemudian kisahku yang ketiga, sangat unik tanpa disengaja, aku terlibat obrolan dengan seorang sahabat masa lalu di sekolah kesehatan. Dulu tampilannya begitu sangar, tatapan bola matanya tajam dan tegas. Jujur aku takut dengan orang itu dan malas berurusan dengannya. Namun, saat-saat terakhir masa hidupnya dia begitu baik dan ramah denganku ya Allah.Â
Hari itu kami chatingan berbalas kata, sampai menceritakan kisah sekolah dulu tentang bekunya tatapan mata dan diamnya membuatku takut untuk menyapa apalagi berbicara. Dia tertawa terbahak-bahak mendengarkan ocehanku saat itu, lalu ia pun membalas dengan anggapan yang sama terhadap diriku. Kamu seperti wanita dingin yang diam tanpa ekspresi tuturnya lagi.
Kata yang selalu kuingat darinya sampai sekarang, chatingan itu masih tersimpan rapi di messenggerku. "Seiring kedewasaan kamu semakin bijak dan berbalut keanggunan dari tatapan bola mata." Cie ... cie ternyata dia puitis juga sepertiku.
Aku pernah berjanji suatu saat akan berbalas kata-kata puitis itu. Namun, Sang Kuasa telah memanggilnya terlebih dahulu sebelum aku menepati janji. Pernah beberapa kali dia mencolekku di aplikasi biru, tapi mungkin situasi yang tidak mendukung obrolan dengannya.
Sebagai Self reminder, aku hanya bisa mematung saat mendapati berita sahabatku itu telah tiada. kabar duka tersampaikan melalui aplikasi biru. Keterpanaan yang sungguh di luar batas yang kupunya. Subhanallah, Sang Rabb lebih menyayanginya, semoga kau telah tenang di sana wahai sahabatku.
Kisahku yang keempat, tentang seorang teman dumay yang selalu mengkritisi tulisanku. Ia sangat tegas dan perfek dalam men-review sebuah naskah. Hingga suatu hari naskahku di scrernshot dan di posting ke media sosial lantas dikritisi tanpa izin pemiliknya. Nah, aku meradang dan emosi dibuatnya, sungguh kala itu.
Menurutku dia jutek dan sombong dengan teman yang baru dia kenal. Namun, dia begitu hangat pada teman-teman lainnya. Kami saling dingin dan diam hanya lewat tulisan masing masing mengungkapkan apa yang sedang terjadi.
Satu karya artikelku lahir menuangkan perasaan tentang penolakan sikap beliau. Dia seorang yang cerdas dan sangat teliti dalam sebuah penulisan. Semua teman-teman dumai mengakuinya, justru tak kenal maka tak sayang hingga terjadi kesalah pahaman dengannya.Â
Namun demikian, entah darimana berawal menjadi kebalikannya, kami sukses membina hubungan baik di group komunitas, sungguh jauh berbeda dari sebelumnya. Sebuah kehangatan dan merindui sosok sahabat dumay menjadi akrab di komunitas literasi. Setiap aku membaca obrolannya langsung merespon pertanda menyenangi adanya interaksi dengannya. Setelah itu menghilang tiada berita dan aku pun tidak aktif lagi di group tersebut.
Seiring waktu beliau sangat paham dan mengubah cara dengan mengoreksi yang santuy dan sangat manis. Aku terkesima oleh cara-cara beliau yang berbeda dari sebelumnya. Keakraban dari beberapa percakapan sering berbalas di group komunitas, kerap membalas setiap obrolannya. Sungguh aku ingin berdekatan dan mengenalinya lebih jauh.
Ketika pagi itu tak sengaja membuka si biru, terlintas foto beliau diposting oleh teman lainnya. Aku berpikir pasti sedang ada acara kepenulisan yang akan digelar dalam waktu dekat ini. Aku tak membaca postingan tersebut dan melewati begitu saja. Namun keesokan hari saat membaca komentar salah satu teman lainnya di komunitas, diriku terhenyak membaca  ucapan belangsungkawa yang ditujukan kepada si mbak tersebut.
Aku menunduk lemas mendengar berita itu. Segera, aku membuka beranda teman yang pernah kulewati. Masyaallah, aku mohon ampun ya Rabb, tersadar akan kekurangan dan khilafku. Aku begitu tertampar dengan berita itu, ketentuan takdir-Mu lebih indah ya Allah. Semoga kau tenang di sana mbak.
Aku merasa kehilangan jati dirimu, mbak! Kau begitu mencuri perhatian, walaupun berbeda cara, diam-diam aku menyadari kamulah yang terbaik mbak. Tak pernah sepilu ini goresan hatiku mengenangmu. Kau mendadak, pergi tanpa pernah mengeluh sedikitpun tentang rasa sakit yang kau derita. Sang Rabb lebih menyayangimu mbak, peluk cium dari kejauhan. Aamiin ya Allah.
Dari kisah ini penulis menyimpulkan bahwa setiap ujian yang kita terima mengandung pembelajaran dan berkah kesabaran yang tak disangka-sangka datangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H