Kewajiban yang bersifat yuridis bersumber dari instansi yang berwenang, sementara kewajiban yang bersifat etika bersumber dari bagian batin seseorang. Perintah hukum berbeda dengan perintah etika. Menurut aliran neositivisme bahwa jika hukum digabungkan dengan etika, maka hukum telah menyimpang dari makna sesungguhnya. Akan tetapi, dalam beberapa pendapat disebutkan bahwa makna hukum tidak akan hilang apabila ada relasi antara keduanya.Â
Etika atau moral bermakna kesusilaan dan budi pekerti. Moral dapat diartikan sebagai ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan.31 Etika atau moral biasanya berisi anjuran berupa pujian dan celaan. Adapun kaidah hukum berisi perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikannya. Meski coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dilarang dalam hukum adalah bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam etika atau moral, sehingga pada hakikatnya hukum berpatokan pada moral. Hukum yang ditaati oleh masyarakat adalah hukum yang sesuai dengan kesadaran atau perasaan masyarakat.Â
Hukum yang tidak sesuai dengan kesadaran atau perasaan masyarakat akan menimbulkan reaksi negatif yang berimplikasi pada ketidakpatuhan atau bahkan resistensi terhadap hukum itu sendiri, sehingga sulit untuk diimplementasikan33. Ketaatan pada hukum juga akan lahir kalau diyakini akan ada keadilan yang bersifat timbal balik dari ketaatan hukum tersebut.Â
Masih banyaknya kasus pernikahan atau perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, termasuk yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat negara, merupakan salah satu dampak dari adanya dualisme pemahaman yaitu sah menurut agama, namun tidak sah menurut hukum negara. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah menjadi kesadaran sebagian masyarakat, sehingga aturan tentang pencatatan perkawinan atau perceraian kurang menjadi perhatian. Atau sebagian kalangan masyarakat merasa bahwa pencatatan tersebut tidak membawa keadilan yang bersifat timbal balik.Â
Selain itu, faktor kepentingan pribadi (self interest), biaya pencatatan nikah yang menjadi mahal dan yang lainnya mempunyai dampak yang signifikan terhadap adanya pernikahan atau perceraian yang dilakukan di luar pengadilan. Banyak faktor yang berpengaruh dalam ketataatan dan penegakkan hukum (rule of law). Faktor itu dapat bersifat internal, seperti hukumnya itu sendiri, aparat, organisasi dan fasilitas, atau faktor eksternal seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Didalam buku The Laws dijelaskan tentang pernikahan dengan Percakapan tiba-tiba beralih ke topik pernikahan dan membesarkan anak, dengan mengesampingkan perbudakan.Â
Dalam melanjutkan penekanannya pada moderasi dan konstitusi campuran, orang Athena mendorong orang untuk menikahi pasangan yang memiliki karakteristik yang berlawanan. Meskipun orang tertarik pada mereka yang seperti mereka, warga akan didorong untuk menempatkan kebaikan negara di atas preferensi mereka sendiri.Â
Namun, karena warga akan menganggap undang-undang tersebut terlalu membatasi, orang Athena hanya ingin mendorong, tetapi tidak mengharuskan, warga untuk menikahi orang dengan kualitas yang berlawanan. Jika warga negara laki-laki tidak menikah pada usia tiga puluh lima, mereka akan dikenakan denda dan penghinaan.
Hukum-hukum ini mungkin tampak agak kejam; meskipun demikian, seseorang harus mengingat tiga hal. Pertama, hukum pernikahan di Magnesia terinspirasi oleh praktik nyata di Kreta dan Sparta. Kedua, undang-undangnya tidak seberat yang dinyatakan di Republik di mana tidak ada pernikahan pribadi untuk kelas wali (yaitu, tentara dan filsuf). Di Republik, para wali akan menganggap setiap orang (berusia sesuai) dari lawan jenis sebagai pasangan mereka.Â
Perkawinan akan diatur dengan menggunakan undian. Namun, lotere dicurangi sedemikian rupa sehingga beberapa orang terpilih akan benar-benar mengendalikan hubungan seksual untuk menghindari inses, mengendalikan populasi, dan menerapkan eugenika.
 Tentu saja, Platon tidak memberikan perincian undang-undang perkawinan seputar warga kelas pekerja dan untuk semua yang kita tahu ini mungkin serupa dengan yang ada di Magnesia. Ketiga, pada masanya, Plato sebenarnya progresif dalam pandangannya tentang perempuan. Dalam Buku 6, orang Athena menganjurkan penyertaan perempuan dalam praktik makan bersama, sebuah penyertaan yang menurut Aristoteles sebagai sesuatu yang khas Plato. Orang Athena menekankan bahwa sebuah kota tidak dapat berkembang kecuali semua warganya menerima pendidikan yang layak.