Berangkat dari materi yang dibuat oleh Encyclopedia of Philosophy mengenai The Laws yang diusung oleh Plato, materi ini berbicara mengenai hukum dan etika yang dirangkum dalam 12 buku.Â
Hukum adalah karya Plato yang terakhir, terpanjang, dan, mungkin, paling dibenci. Buku itu adalah percakapan tentang filsafat politik antara tiga pria tua: seorang Athena yang tidak disebutkan namanya, seorang Spartan bernama Megillus, dan seorang Kreta bernama Clinias.Â
Orang-orang ini bekerja untuk membuat konstitusi untuk Magnesia, sebuah koloni Kreta baru. Pemerintah Magnesia adalah campuran prinsip-prinsip demokrasi dan otoriter yang bertujuan untuk membuat semua warganya bahagia dan berbudi luhur. Disini plato menjelaskan mengenai teori-teori yang dibuat dan berasumsi bahwa hukum tidak hanya tentang pemikiran politik, tetapi melibatkan diskusi ekstensif tentang psikologi, etika, teologi, epistemologi, dan metafisika.Â
Disini juga Plato menyebutkan bahwa hukum harus menggabungkan persuasi dan paksaan, lebih jelas Plato berasumsi bahwa paksaan datang dalam bentuk hukuman yang melekat pada hukum jika persuasi gagal memotivasi kepatuhan.
Pengertian Etika dan Hukum
Etika moral Plato adalah etika moral yang didasarkan pada pengetahuan, sedangkan pengetahuan hanya mungkin dicapai dan dimiliki lewat dan oleh akal budi. Oleh sebab itu, etika Plato sering disebut etika rasional.Â
Sedangkan hukum menurut Plato adalah aturan yang disusun berdasarkan banyak pertimbangan agar tersusun sebaik mungkin dan tertata. Karena aturan yang sudah dibuat, akan digunakan untuk menjalankan kehidupan bernegara. Sifat aturan hukum adalah mengikat masyarakat maupun Negara yang menggunakan hukum tersebut.Â
Dapat kita simpulkan bahwa etika yang diasumsikan oleh Plato berkaitan dengan akademisi seorang manusia karena semakin banyak ilmu atau akal budi yang dimiliki manusia maka semakin tinggi etika yang dimiliki, asumsi ini melihat dari pandangan Plato yang menyebutkan bahwa etika moral didasari oleh pengetahuan.Â
Sedangkan Hukum menurut Plato dapat kita asumsikan bahwa hukum dapat lahir akibat banyaknya pertimbangan yang terjadi baik secara tragedi ataupun permasalahan yang sering muncul dimasyarakat, berarti hukum harus dibuat secara demokrasi dan harus ditaati secara universal disuatu negara yang menggunakan hukum tersebut.
Disisi lain kita sekilas melihat masa lalu tentang asal usul hukum yang dimulai dari dialog pertanyaan orang Athena, "apakah hukum itu berasal dari dewa atau manusia?" lalu percakapan bergeser ke pertanyaan tentang tujuan pemerintah.Â
Megillus dan Clinias berpendapat bahwa tujuan pemerintah adalah untuk menang dalam perang, karena konflik adalah kondisi esensial dari semua manusia. Tujuan hukum adalah untuk membantu warganya berkembang, dan rute paling langsung untuk ini adalah mengembangkan kebajikan di dalam diri mereka.Â
Selama diskusi inilah orang Athena membuat perbedaan penting antara barang "ilahi" dan "manusia". Barang ilahi adalah kebajikan, sedangkan barang manusia adalah hal-hal seperti kesehatan, kekuatan, kekayaan, dan keindahan. Kebaikan ilahi lebih tinggi daripada barang-barang manusia dalam hal bahwa barang-barang manusia bergantung pada barang-barang ilahi, tetapi barang-barang ilahi tidak bergantung pada apa pun.
 Idenya adalah bahwa kebajikan selalu berkontribusi pada kemajuan manusia, tetapi hal-hal yang umumnya dianggap demikian, seperti kekayaan dan kecantikan, tidak akan melakukannya kecuali jika seseorang memiliki kebajikan. Faktanya, hal-hal seperti kecantikan dan kekayaan di tangan orang yang korup akan memungkinkan dia untuk bertindak dengan cara yang akan mengarah pada kegagalan.Â
Plato meminta kita untuk merenungkan cara institusi politik membentuk nilai-nilai warga negara. Misalnya, Clinias dan Megillus, yang keduanya berasal dari budaya yang berpusat pada militer, berpendapat bahwa konflik manusia adalah bagian mendasar dari sifat manusia dan keberanian adalah kebajikan terbesar. Sebaliknya, orang Athena, yang berasal dari budaya seni dan filsafat, melihat harmoni, kedamaian, dan waktu luang sebagai hal yang ideal. Oleh karena itu, agar warga negara dapat menumbuhkan watak yang tepat, penting bagi kota untuk memiliki kebijakan yang benar dan warganya menerima pendidikan yang benar.
Setelah menjelaskan konsep pendahuluan, Athena melanjutkan untuk menawarkan pendahuluan yang akan menjadi pendahuluan seluruh kode hukum Magnesia. Pendahuluan ini memberikan landasan moral bagi kota, menjelaskan tugas umum warga negara. Tugas-tugas ini berada di bawah tiga judul utama: untuk jiwa, untuk tubuh, dan untuk warga negara lainnya. Orang Athena menjelaskan bahwa jiwa adalah penguasa tubuh dan karena itu harus diprioritaskan daripada tubuh.Â
Namun demikian, kebanyakan manusia gagal melakukan ini, dan malah mengejar kecantikan, kekayaan, dan kesenangan dengan mengorbankan kebajikan, dan akibatnya, mereka memprioritaskan tubuh daripada jiwa. Meskipun manusia harus mengutamakan jiwa di atas tubuh, mereka juga berkewajiban untuk menjaga tubuh mereka. Namun, orang tidak menghormati tubuh dengan menjadi sangat cantik, sehat, dan kuat.Â
Sebaliknya, mereka menghormati tubuh dengan mencapai rata-rata di antara ekstrem masing-masing negara bagian ini.Â
Prinsip yang sama berlaku untuk kekayaan. Terlalu banyak kekayaan akan menyebabkan permusuhan dan keserakahan, sementara kekayaan yang terlalu sedikit akan membuat seseorang rentan terhadap eksploitasi.
Pembaca mungkin menganggap gagasan menghormati jiwa dan tubuh tidak hanya terdengar mistis, tetapi juga salah. Lagi pula, mungkin baik bagi saya untuk menjadi sehat secara fisik, tetapi sepertinya saya tidak melanggar kewajiban jika tidak, karena menurut saya manusia menghormati jiwa dengan mengejar kebajikan.Â
Menurut Plato, perbedaan ini sebenarnya antara barang "internal" dan "eksternal". Barang-barang internal adalah barang-barang akal dan budi pekerti, sedangkan barang-barang eksternal adalah segala sesuatu yang berpotensi baik yang berada di luar pikiran dan budi pekerti. Bagi Plato, nilai barang-barang eksternal bergantung pada keberadaan barang-barang internal, sedangkan nilai barang-barang internal sama sekali tidak bergantung pada keberadaan barang-barang eksternal. Dengan asumsi lain, barang internal bagus dalam setiap situasi, sedangkan barang eksternal hanya bagus dalam beberapa situasi.
Disisi lain etika Yunani Kuno biasanya diartikan sebagai egois dalam arti bahwa penyelidikan etis berpusat pada pertanyaan tentang apa kehidupan terbaik bagi seorang individu. Dalam kerangka ini, diskusi tentang mengapa seseorang harus menjadi bajik diletakkan dalam kaitannya dengan bagaimana kebajikan berhubungan dengan kesejahteraan.Â
Dengan kata lain, ahli etika Yunani Kuno berpendapat bahwa kita memiliki alasan untuk menjadi bajik yaitu, kebajikan itu akan membantu kita menjalani kehidupan yang sukses dan bahagia. Dengan pemikiran ini, masuk akal jika Plato berpikir kita berkewajiban untuk merawat jiwa dan tubuh, karena kehidupan yang baik membutuhkannya.Â
Perlu diingat bahwa teori-teori etika utama saat ini memiliki fitur-fitur tentang diri sendiri yang dibangun di dalamnya dan dengan demikian gagasan ini tidak sepenuhnya unik bagi Plato (ahli etika Yunani Kuno lainnya). Tiga teori etika utama saat ini adalah etika kebajikan (diadvokasi oleh Plato), deontologi, dan konsekuensialisme. Immanuel Kant, sang ilham untuk deontologi, berpendapat bahwa kita memiliki kewajiban untuk memperbaiki diri, sementara konsekuensialisme, dalam bentuknya yang paling tradisional, berpendapat bahwa ketika menentukan bagaimana saya harus bertindak, kesejahteraan pribadi saya sendiri dipertimbangkan.
Dapat disimpulkan bahwa etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pelaksanaan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang.Â
Dari kedua hal tersebut disusunlah Kode Etik yaitu peraturan tertulis yang mengikat dan memiliki sanksi. Perbedaannya dengan peraturan hukum yang berlaku dimasyarakat, kode etik hanya mengikat pada sekelompok orang atau professional tertentu saja. Persamaannya adalah pada tujuaannya dimana keduanya berusaha agar seluruh masyarakat bertanggung jawab akan apa saja yang dilakukannya.
Dalam istilah yang sederhana, hukum dapat dipahami sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang diterima secara universal yang dibuat oleh otoritas yang tepat seperti pemerintah, yang mungkin regional, nasional, internasional, dll.Â
Hukum ini digunakan untuk mengatur tindakan dan perilaku para anggota dan dapat ditegakkan, dengan menjatuhkan hukuman. Secara etika, yang dimaksud adalah cabang filsafat moral yang membimbing orang tentang apa yang baik atau buruk. Ini adalah kumpulan konsep dan prinsip dasar karakter manusia yang ideal.Â
Prinsip-prinsip membantu kita dalam membuat keputusan mengenai, apa yang benar atau salah. Ini memberi tahu kita tentang bagaimana bertindak dalam situasi tertentu dan membuat penilaian untuk membuat pilihan yang lebih baik untuk diri kita sendiri. Etika adalah kode etik yang disetujui dan diadopsi oleh rakyat. Ini menetapkan standar tentang bagaimana seseorang harus hidup dan berinteraksi dengan orang lain.
Hukum dan etika berbeda dalam hal apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Yang pertama diterima secara universal sedangkan yang kedua adalah perilaku manusia yang ideal, disepakati oleh sebagian besar orang. Meskipun, baik hukum maupun etika dibuat selaras sehingga tidak saling bertentangan.Â
Keduanya berjalan berdampingan, karena mereka menyediakan cara bertindak dengan cara tertentu. Setiap orang sama di mata hukum dan etika, yaitu tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Selanjutnya, keduanya memungkinkan seseorang untuk berpikir bebas dan memilih.
Pembedaan orang Athena antara cedera dan ketidakadilan sesuai dengan komitmennya pada hukuman sebagai sarana pembalasan bagi korban dan sebagai obat untuk kriminalitas. Tujuan dari yang pertama cukup jelas, tetapi lebih banyak yang perlu dikatakan tentang yang terakhir.Â
Seperti yang dijelaskan orang Athena dalam Buku 1, tujuan kode hukum adalah untuk membuat warga negara bahagia. Karena, kebahagiaan terkait dengan kebajikan, hukum harus berusaha membuat warga negara berbudi luhur. Melihat hukuman sebagai kuratif sebenarnya hanyalah perpanjangan dari ide ini kepada penjahat.Â
Jika keadilan adalah keadaan jiwa yang sehat, maka ketidakadilan adalah penyakit jiwa yang perlu disembuhkan melalui hukuman. Orang mungkin berpikir bahwa pandangan kuratif orang Athena tentang hukuman menghasilkan hukuman yang ringan, tetapi ini jauh dari benar. Hukuman akan mengambil enam bentuk: kematian, hukuman fisik, penjara, pengasingan, hukuman uang, dan penghinaan.Â
Patut ditunjukkan bahwa penggunaan penjara sebagai hukuman dalam masyarakat Yunani tampaknya merupakan inovasi Plato. Orang mungkin bertanya-tanya bagaimana hukuman mati cocok dengan teori hukuman kuratif. Jawabannya adalah bahwa beberapa orang tidak dapat disembuhkan dan kematian adalah yang terbaik bagi mereka dan kota. Buku 10 mungkin adalah bagian Hukum yang paling banyak dipelajari dan paling dikenal. Kitab ini membahas tentang hukum-hukum ketidak sopanan yang ada tiga jenis:
- Ateisme            : Keyakinan bahwa para dewa tidak ada.
- Deisme             : Keyakinan bahwa para dewa ada tetapi acuh tak acuh terhadap urusan manusia.
- Teisme Tradisional   : Keyakinan bahwa dewa-dewa itu ada dan dapat disuap.
Orang Athena percaya bahwa kepercayaan tak bertuhan ini mengancam untuk merusak fondasi politik dan etika kota. Karena itu, pembuat undang-undang harus berusaha membujuk warga untuk meninggalkan kepercayaan yang salah ini.Â
Jika warga menolak, mereka harus dihukum. Ateis percaya bahwa asal usul kosmos adalah tubuh unsur dasar yang berinteraksi secara acak satu sama lain melalui proses yang tidak cerdas.Â
Kerajinan, yang merupakan proses cerdas, hanya berlaku kemudian setelah manusia diciptakan. Ada dua jenis kerajinan. Pertama, ada yang bekerja sama dengan proses alam dan bermanfaat seperti bertani. Kedua, ada yang tidak bekerja sama dengan proses alam dan tidak berguna seperti hukum dan agama.Â
Oleh karena itu, Ateis berpendapat bahwa kosmos diarahkan melalui kesempatan acak buta dan hal-hal seperti agama dan hukum adalah produk kerajinan yang tidak berguna. Setelah mengambil dirinya untuk menyangkal ateisme, Athena mengambil deisme dan teisme tradisional.Â
Dia mencatat bahwa beberapa pemuda menjadi percaya bahwa para dewa tidak peduli dengan urusan manusia karena mereka telah menyaksikan orang jahat menjalani kehidupan yang baik. Namun, orang Athena mengakui bahwa tidak semua orang akan tergerak oleh argumen ini dan menawarkan mitos yang ia harap akan meyakinkan orang yang ragu. Mitos menyatakan bahwa setiap bagian dari kosmos disatukan dengan pikiran menuju kesejahteraan seluruh kosmos dan bukan satu bagian.Â
Manusia salah dalam berpikir bahwa alam semesta diciptakan untuk mereka; pada kenyataannya, manusia diciptakan untuk kebaikan kosmos. Setelah ini, orang Athena menggambarkan proses reinkarnasi di mana jiwa yang baik dipindahkan ke tubuh yang lebih baik dan jiwa yang buruk ke tubuh yang lebih buruk. Dengan demikian, orang yang tidak adil akan berakhir dengan kehidupan yang buruk dan orang yang benar akan berakhir dengan kehidupan yang baik pada akhirnya.
Mengapa Perlu Etika dan Hukum
Etika dibuat untuk menciptakan standar diri yang baik di mata masyarakat, mengetahui tingkat kualitas yang baik dan dapat membedakan prilaku di masyarakat. Dalam konsep hukum Etika memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mewujudkan tercapainya penegakan hukum yang berkeadilan. Sehingga etika dalam profesi hukum (kode etik profesi) merupakan bagian yang terintegral dalam mengatur perilaku penegak hukum sebagai wujud penegakan hukum yang berkeadilan.Â
Dapat kita asumsikan bahwa etika dan hukum saling bersinergi untuk mencapai kehidupan bermasyarakat yang baik karena jika hanya ada salah satu antara etika dan hukum maka tidak akan tercapai keadilan dalam bersosial, dapat diasumsikan dari pandangan Plato yang berbicara tentang etika dapat dicapai karena pengetahuan yang luas disini berarti kita asumsikan bahwa akademisi dan sosial saling bergantungan untuk mencapai hukum yang adil dan bijaksana.Â
Seperti yang dijelaskan orang Athena dalam Buku 1, tujuan kode hukum adalah untuk membuat warga negara bahagia. Karena, kebahagiaan terkait dengan kebajikan, hukum harus berusaha membuat warga negara berbudi luhur. Jika keadilan adalah keadaan jiwa yang sehat, maka ketidakadilan adalah penyakit jiwa yang perlu disembuhkan melalui hukuman.Â
Orang mungkin berpikir bahwa pandangan kuratif orang Athena tentang hukuman menghasilkan hukuman yang ringan, tetapi ini jauh dari benar. Hukuman akan mengambil enam bentuk: kematian, hukuman fisik, penjara, pengasingan, hukuman uang, dan penghinaan.Â
Bagi Plato, harmoni psikologis, kebajikan, dan kesejahteraan semuanya saling berhubungan. Dengan demikian, orang yang benar-benar keji yang tidak dapat disembuhkan akan selalu berada dalam ketidakharmonisan psikologis dan tidak akan pernah berkembang. Kematian lebih baik daripada hidup dalam kondisi seperti itu.
Kita asumsikan apabila dalam profesi hukum, etika dan kode etik sangat diperlukan agar nama hukum di negara Indonesia terjaga dan masyarakat masih percaya dengan hukum yang ada. Apabila sudah tercoreng maka hukum di Indonesia akan kehilangan powernya. Pokok pikiran Etika Penegakan Hukum yang berkeadilan dalam TAP MPR tersebut menegaskan bahwa untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan.Â
Amanat beretika juga terdapat dalam Pancasila Sila Kedua "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab". Sila ini menunjukkan adanya keterkaitan antar manusia, bai kantar individu, antar kelompok, maupun individu dengan kelompok. Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan dengan peribahasa, bila apinya besar, maka cahayanya pun terang.
Ada beberapa alasan untuk mempelajari etika diantaranya:
- Dalam hidup bermasyarakat selalu harus berbuat baik untuk mengambil keputusan menurut cara yang dianggap benar dan cara itu tidak dikatakan salah, bila dibandingkan dengan norma yang berlaku.
- Etika berusaha menemukan prinsip-prinsip yang paling tepat dalam bersikap, hal demikian diperlukan agar dapat hidup menjadi sejahtera secara keseluruhan. Etika membahas tentang kebenaran dan ketidakbenaran didasarkan pada kodrat manusia, yang bermanifestasi dalam diri manusia.
- Nilai-nilai moral dikembangkan agar dapat memungkinkan ,amusia berkehendak bebas, misalnya terwujud dalam setiap kodrat individu. Sebab, moral yang berlaku selalu mendapat perhatian dalam segala situasi melingkari hidup manusia.
Setiap manusia punya Hasrat dan nafsu untuk maju dan berkembang. Karena hal itu,
sering terjadi pelanggaran-pelanggaran di dunia ini, salah satunya dalam pekerjaan. Apabila dalam hukum, etika dan kode etik sangat diperlukan agar nama hukum di negara Indonesia terjaga dan masyarakat masih percaya dengan hukum yang ada. Etika dan hukum memiliki hubungan satu sama lain, bahwa etika adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan professional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban.Â
Hingga Plato berpendapat bahwa negara ideal atau negara yang terbaik bagi manusia adalah negara yang penuh dengan kebajikan menjadi suatu keharusan bagi seorang penguasa. Bagi Plato hukum sebagai sarana keadilan, menurut Plato kebaikan hanya dapat diterima oleh kaum aristocrat kaena mereka dalah orang-orang bijaksana maka dibawah pemerintahan mereka dimungkinkana danyapartisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Kondisi ini memungkinkan keadilan tercapai secara sempurna. Apabila ini terjadi maka hukum tidak diperlukan.Â
Keadilan dapat tercipta tanpa ada hukum karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai dan bijaksana yang pasti mewujudkan Theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) ini diungkapkan Plato dalam bukunya The Republic. Â Dengan kata lain aristokrasi sebagai Negara ideal Plato adalah bentuk Negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum bijaksana yaitu para filsuf.Â
Pemerintahan dijalankan dengan berpedoma pada keadilan sesuai dengan ide keadilan orang arif tersebut. Kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus pelayan kepentingan umum berbasis keadilan.
Secara riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian:
- Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan.
- Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum.
- Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum.
- Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna.
- Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi itu bukan balas dendam. Karena pelanggaran adalah suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Cara mendidik itu adalah lewat hukuman yang bertujuan memerbaiki sikap moral para penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.
Kita simpulkan bahwa Orang yang melakukan pelanggaran etika belum tentu melanggar hukum tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika. Etika berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan pihak lain, pencegah kesalahpahaman dan konflik, sebagai kontrol apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban.
Kembali lagi kedalam The Laws Plato bahwa Magnesia, koloni teoretis Kreta yang dikembangkan dalam Hukum, adalah negara pertanian mandiri yang terletak sembilan hingga sepuluh mil dari laut. Lokasinya yang terpencil akan menghalangi pengaruh pengunjung, yang mungkin merusak budaya Magnesia.
 Dikatakan demikian, Magnesia akan memiliki populasi budak dan orang asing yang melakukan tugas-tugas penting yang dilarang bagi warga negara, seperti perdagangan dan kerja kasar. Kota ini akan terdiri dari 5.040 rumah tangga.Â
Orang Athena bersikukuh tentang bilangan ini karena ia habis dibagi dengan bilangan apa pun dari 1 hingga 12 (dengan pengecualian 11), membuatnya nyaman untuk keperluan administrasi. Setiap rumah tangga akan diberikan sebidang tanah (satu di dekat pusat kota dan satu lagi terletak lebih jauh) dan bidang-bidang tanah ini tidak dapat dicabut oleh keluarga pemiliknya. Tujuannya adalah untuk mencegah anggota masyarakat menjadi kaya dengan mengorbankan warga negara lain.Â
Memang, kota ini dirancang sedemikian rupa untuk mencegah warga menjadi sangat kaya atau miskin. Namun demikian, akan ada empat kelas properti berdasarkan kekayaan yang dikumpulkan keluarga seseorang sebelum datang ke Magnesia. Meskipun tanah itu tidak akan ditanami bersama, itu harus dianggap sebagai bagian dari milik bersama, dan pemegang saham harus memberikan kontribusi publik.Â
Wanita tidak akan diizinkan untuk memiliki properti, tetapi akan dianggap sebagai warga negara dan dapat memegang jabatan politik. Faktanya, wanita dapat berpartisipasi dalam militer sebagai tentara dan dapat menghadiri makan bersama pribadi mereka sendiri---dua praktik yang biasanya disediakan untuk pria di Yunani kuno.
Sistem politik Magnesia akan bercampur, memadukan unsur demokrasi dan otoriter. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana jabatan politik ditangani. Ada sejumlah besar kantor politik yang berbeda di Magnesia, beberapa di antaranya akan terdiri dari badan warga umum. Manfaatnya adalah membuat warga merasa memiliki saham di Magnesia. Namun, pada saat yang sama, akan ada kantor-kantor tertentu yang terdiri dari warga yang lebih elit.Â
Misalnya, "penjaga hukum" akan mengawasi badan warga umum. Untuk memastikan bahwa wali hukum bertanggung jawab atas perilaku mereka, akan ada dewan "peneliti" yang kuat yang memeriksa otoritas mereka. Kantor yang paling terkemuka adalah "dewan malam", yang akan bertugas meneliti sifat filosofis hukum dan menawarkan wawasan tentang bagaimana fitur-fitur ini dapat diterapkan di Magnesia.
Beralih sekarang ke konten, di Republik, Socrates mengembangkan kota yang ideal, yang disebut sebagai Callipolis (secara harfiah, kota yang indah atau mulia). Callipolis terdiri dari tiga kelas: kelas pekerja besar petani dan pengrajin, kelas militer terdidik, dan sejumlah kecil filsuf elit yang akan memerintah kota. Kelas militer dan penguasa disebut "penjaga", dan mereka tidak akan memiliki hak milik pribadi. Memang, mereka akan memiliki semua kesamaan termasuk wanita, pria, dan anak-anak.Â
Tidak seperti di Callipolis, kepemilikan pribadi diperbolehkan di seluruh Magnesia dan kekuatan politik menyebar ke seluruh kota. Perbedaan penting lainnya adalah bahwa hanya para filsuf yang memiliki kebajikan yang dikembangkan sepenuhnya di Republik (dan di Phaedo) sementara dalam Hukum, orang Athena mengatakan bahwa undang-undang yang benar bertujuan untuk mengembangkan kebajikan di seluruh tubuh warga negara.Â
Yang pasti, struktur politik Callipolis mengamankan perilaku yang benar dari semua warga negara. Namun, karena kebajikan lengkap melibatkan pengetahuan, yang hanya dimiliki oleh para filsuf, para non-filsuf hanya dapat memperkirakan kebajikan. Dengan kata lain, Undang-undang tampaknya mengekspresikan lebih banyak optimisme daripada Republik sehubungan dengan kemampuan rata-rata warga negara untuk berbudi luhur. Ini membuat pembaca bertanya-tanya apa yang bisa menjelaskan perbedaan yang tampak ini.Â
Meskipun banyak jawaban yang berbeda telah disajikan, jawaban yang paling umum adalah bahwa teks-teks tersebut ditulis untuk dua tujuan yang berbeda. Republik mewakili visi ideal Plato tentang utopia politik, sedangkan Hukum mewakili visinya tentang kota terbaik yang dapat dicapai mengingat cacat sifat manusia.Â
Aristoteles, misalnya, berpendapat bahwa Republik dan Hukum memiliki banyak fitur yang sama, tetapi Hukum menawarkan sistem yang lebih mampu untuk diadopsi secara umum. Callipolis adalah utopia yang tidak dapat dicapai, tidak ada gunanya membahas adat istiadat dengan detail apa pun, tetapi karena Magnesia dapat dicapai, ini adalah proyek yang berharga. Trevor Saunders menangkap esensi dari interpretasi ini ketika dia berkata, "Republik hanya menyajikan ideal teoriti. Hukum menjelaskan, pada dasarnya, Republik dimodifikasi dan diwujudkan dalam kondisi dunia ini.
Contoh Kasus Etika dan Hukum
Penipuan Belanja Secara Online
Kebutuhan orang semakin meningkat dan waktu semakin tidak berguna . Belanja online adalah solusi dari sekian banyak orang yang tanpa harus pusing menyita waktu dan tenaga untuk berbelanja. Karena itu tidak sedikit orang yang tidak bertanggung jawab mencari keuntungan dari celah belanja online tersebut dengan mengambil kepercayaan konsumen.Â
Dan bila mempunyai permasalahan di dunia maya akan lebih sulit dari dunia nyata. Semua orang dapat menggunakan identitas palsu yang bahkan bila kita mempercayai seseorang di dunia maya bisa 180 derajat akan menjadi teman yang menipu tanpa kita sadari. Seseorang bisa saja membuat akun palsu dan menjual barang yang palsu pula atau yang dia tidak miliki atau barang cacat. Kejahatan seperti ini lebih sulit dilacak dari kejahatan dunia nyata. Terlebih lagi bila kita langsung mempercayainya dan tanpa lihat kiri kanan langsung tancap gas.
Solusi :
Untuk menghindari penipuan belanja secara online pastikan bahwa situs yang anda kunjungi mempunyai identitas yang jelas dan reputasi yang baik. Lebih baik lagi bila anda mencari reverensi dari teman-teman anda yang telah lebih dulu melakukan transaksi secara online. Alangkah lebih baik lagi, bila pembayaran transaksi bisa dilakukan secara langsung atau tatap muka dan harus menjunjung tinggi prinsip ada barang ada uang.
Seorang ahli sosial bernama Koentjaraningrat mengemukakan beberapa usaha agar masyarakat menaati aturan-aturan yang ada, seperti:
- Mempertebal keyakinan para anggota masyarakat akan kebaikan adat istiadat yang ada. Jika warga yakin pada kelebihan yang terkandung dalam aturan sosial yang berlaku, maka dengan rela warga akan mematuhi aturan itu.
- Memberi ganjaran kepada warga masyarakat yang biasa taat. Pemberian ganjaran melambangkan penghargaan atas tindakan yang dilakukan indvidu. Hal ini memotivasi individu untuk tidak mengulangi tindakan tersebut.
- Pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama.
- Dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat intregrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan.
- Harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat
Nikah Sirih
Pernikahan merupakan sebuah institusi sosial yang melahirkan banyak konsekuensi hukum. Selain perubahan status, konsekuensi hukum yang muncul dari ikatan pernikahan antara lain kewajiban memberikan nafkah, memberikan pendidikan, bimbingan, pengasuhan dan perawatan anak yang dilahirkan, pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pasangan, hak saling mewarisi dan yang lainnya.Â
Konsekuensi hukum ini ada yang terus berlanjut meskipun salah satu pasangan meninggal dunia atau mereka telah bercerai. Institusi pernikahan mempunyai nilai yang sakral di dalam masyarakat. Kasus pernikahan kilat ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari berbagai kalangan termasuk presiden Republik Indonesia.Â
Dalam hal ini, Presiden memberikan arahan kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Barat agar kasus tersebut ditangani secara cepat, tepat dan adil bagi semua pihak terutama pihak perempuan. Hal ini disebabkan antara lain karena Indonesia memiliki etika, tata krama dan norma-norma kepatutan yang harus ditegakkan dan dilakukan oleh semua warga Negara.
Legalitas Nikah Sirri Perkawinan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Â
Sedangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam diberikan rumusan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Rumusan yang disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tampaknya lebih representatif, jelas serta tegas jika dibandingkan dengan rumusan dalam Kompilasi Hukum Islam.Â
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, ditemukan fakta adanya ketidakpatuhan yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah yang melakukan perkawinan dengan tidak melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini dapat menimbulkan berbagai akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut pula perkawinan yang tidak taat hukum.Â
Pernikahan seperti ini biasanya disebut pernikahan sirri. Pernikahan sirri atau yang juga sering dikenal dengan nikah di bawah tangan dapat di pahami melalui dua pengertian, yaitu: (1) Nikah sirri dalam perspektif fiqh, yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad.Â
Dua saksi, wali dan kedua mempelai pada akad ini diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak di perbolehkan seorangpun dari mereka menceritakan akad tersebut kepada orang lain. Sehingga dengan demikian, maka nikah sirri dalam perspektif fiqh ini tidak ada dikotomi antara nikah yang tercatat dan nikah yang tidak tercatat, karena bisa saja orang yang mencatatkan pernikahannya ke KUA disebut nikah sirri dalam pengertian fiqh, jika semua pihak-pihak yang berperan di dalamnya diminta untuk merahasiakan pernikahan tesebut; (2) Nikah sirri dalam perspektif sosiologis atau masyarakat, yaitu istilah yang diberikan masyarakat untuk bentuk pernikahan yang tidak melalui proses pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama
Oleh karena itu, apapun bentuk pernikahannya, baik pernikahan yang dilakukan secara rahasia ataupun diketahui secara umum maka tetap dianggap sebagai nikah sirri karena pernikahan tersebut belum tercatat secara resmi di KUA.
Antara Pelanggaran Etika dan Penegakan Hukum Immanuel Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Menurut Kant, legalitas merupakan kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah. Sementara moralitas menurut Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah.Â
Kesesuaian dan ketidaksesuaian suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belum dianggap memiliki nilai moral, karena nilai moral baru dapat ditemukan dalam moralitas. Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kekuasaan pemberi hokum. Pada dasarnya kewajiban dibagi atas dua bagian yaitu kewajiban yang bersifat yuridis dan kewajiban yang bersifat etika.Â
Kewajiban yang bersifat yuridis bersumber dari instansi yang berwenang, sementara kewajiban yang bersifat etika bersumber dari bagian batin seseorang. Perintah hukum berbeda dengan perintah etika. Menurut aliran neositivisme bahwa jika hukum digabungkan dengan etika, maka hukum telah menyimpang dari makna sesungguhnya. Akan tetapi, dalam beberapa pendapat disebutkan bahwa makna hukum tidak akan hilang apabila ada relasi antara keduanya.Â
Etika atau moral bermakna kesusilaan dan budi pekerti. Moral dapat diartikan sebagai ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan.31 Etika atau moral biasanya berisi anjuran berupa pujian dan celaan. Adapun kaidah hukum berisi perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikannya. Meski coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dilarang dalam hukum adalah bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam etika atau moral, sehingga pada hakikatnya hukum berpatokan pada moral. Hukum yang ditaati oleh masyarakat adalah hukum yang sesuai dengan kesadaran atau perasaan masyarakat.Â
Hukum yang tidak sesuai dengan kesadaran atau perasaan masyarakat akan menimbulkan reaksi negatif yang berimplikasi pada ketidakpatuhan atau bahkan resistensi terhadap hukum itu sendiri, sehingga sulit untuk diimplementasikan33. Ketaatan pada hukum juga akan lahir kalau diyakini akan ada keadilan yang bersifat timbal balik dari ketaatan hukum tersebut.Â
Masih banyaknya kasus pernikahan atau perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, termasuk yang dilakukan oleh beberapa oknum pejabat negara, merupakan salah satu dampak dari adanya dualisme pemahaman yaitu sah menurut agama, namun tidak sah menurut hukum negara. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah menjadi kesadaran sebagian masyarakat, sehingga aturan tentang pencatatan perkawinan atau perceraian kurang menjadi perhatian. Atau sebagian kalangan masyarakat merasa bahwa pencatatan tersebut tidak membawa keadilan yang bersifat timbal balik.Â
Selain itu, faktor kepentingan pribadi (self interest), biaya pencatatan nikah yang menjadi mahal dan yang lainnya mempunyai dampak yang signifikan terhadap adanya pernikahan atau perceraian yang dilakukan di luar pengadilan. Banyak faktor yang berpengaruh dalam ketataatan dan penegakkan hukum (rule of law). Faktor itu dapat bersifat internal, seperti hukumnya itu sendiri, aparat, organisasi dan fasilitas, atau faktor eksternal seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Didalam buku The Laws dijelaskan tentang pernikahan dengan Percakapan tiba-tiba beralih ke topik pernikahan dan membesarkan anak, dengan mengesampingkan perbudakan.Â
Dalam melanjutkan penekanannya pada moderasi dan konstitusi campuran, orang Athena mendorong orang untuk menikahi pasangan yang memiliki karakteristik yang berlawanan. Meskipun orang tertarik pada mereka yang seperti mereka, warga akan didorong untuk menempatkan kebaikan negara di atas preferensi mereka sendiri.Â
Namun, karena warga akan menganggap undang-undang tersebut terlalu membatasi, orang Athena hanya ingin mendorong, tetapi tidak mengharuskan, warga untuk menikahi orang dengan kualitas yang berlawanan. Jika warga negara laki-laki tidak menikah pada usia tiga puluh lima, mereka akan dikenakan denda dan penghinaan.
Hukum-hukum ini mungkin tampak agak kejam; meskipun demikian, seseorang harus mengingat tiga hal. Pertama, hukum pernikahan di Magnesia terinspirasi oleh praktik nyata di Kreta dan Sparta. Kedua, undang-undangnya tidak seberat yang dinyatakan di Republik di mana tidak ada pernikahan pribadi untuk kelas wali (yaitu, tentara dan filsuf). Di Republik, para wali akan menganggap setiap orang (berusia sesuai) dari lawan jenis sebagai pasangan mereka.Â
Perkawinan akan diatur dengan menggunakan undian. Namun, lotere dicurangi sedemikian rupa sehingga beberapa orang terpilih akan benar-benar mengendalikan hubungan seksual untuk menghindari inses, mengendalikan populasi, dan menerapkan eugenika.
 Tentu saja, Platon tidak memberikan perincian undang-undang perkawinan seputar warga kelas pekerja dan untuk semua yang kita tahu ini mungkin serupa dengan yang ada di Magnesia. Ketiga, pada masanya, Plato sebenarnya progresif dalam pandangannya tentang perempuan. Dalam Buku 6, orang Athena menganjurkan penyertaan perempuan dalam praktik makan bersama, sebuah penyertaan yang menurut Aristoteles sebagai sesuatu yang khas Plato. Orang Athena menekankan bahwa sebuah kota tidak dapat berkembang kecuali semua warganya menerima pendidikan yang layak.
Jika kita melihat kondisi sekarang bahwa saat ini hukum banyak dipahami hanya sebagai teknik prosedural saja. Aspek keadilan dan etika dalam penegakkan hukum kadang terabaikan. Banyak orang yang melanggar etika dan moral tetapi masih merasa belum bersalah karena tindakannya belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Hukum kemudian menjadi sarana untuk mencari kemenangan di dalam berperkara di pengadilan. Hukum tidak lagi menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan ketertiban di masyarakat.36 Setiap aturan bersifat abstrak dan pasif.Â
Dikatakan bersifat abstrak karena sifatnya umum, dan dikatakan bersifat pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang abstrak itu memerlukan stimulus agar dapat aktif.37 Hakim mempunyai peranan yang sangat urgen untuk mendekatkan antara moral dan hukum. Seorang hakim harus memahami substansi hukum (learned in law) dan terampil dalam menerapkan hukum (skilled in law).Â
Hakim harus dapat menjadikan ilmu hukum sebagai pengetahuan praktis (applied science), memberi nyawa dan hidup pada pasal-pasal undang-undang dan peraturan yang terdiri dari huruf-huruf mati. Secara yuridis, pernikahan sirri dan perceraian di luar pengadilan yang dilakukan oleh seorang pejabat negara, seperti seorang bupati, tidak sejalan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.Â
Selain itu, seorang pejabat negara juga terikat dengan sumpah jabatan yang berisi antara lain untuk taat pada peraturan perundang-undangan. Adapun kasus pernikahan singkat seorang pejabat negara maka secara etika dinilai sebagai sesuatu yang kurang atau tidak etis. Apalagi alasan perceraiannya yang kurang jelas.Â
Walaupun secara yuridis tidak ada peraturan yang secara jelas mengaturnya, akan tetapi hal itu dipandang tidak etis bagi mayoritas masyarakat. Hakim mempunyai posisi yang signifikan untuk mendekatkan atau mengkorelasikan antara pelanggaran etika dan penegakkan hukum. Selama ini banyak kasus yang secara etika dikatakan tidak etis, tetapi secara hukum tidak melanggar karena tidak ada hukum tertulisnya. Pelanggaran etika apalagi hukum bagi seorang pejabat negara mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat. Oleh karena itu, maka pelanggaran, baik etika maupun hukum, yang dilakukan oleh seorang pejabat publik harus mendapatkan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Nama : Nanda Ismail Firdaus
NIM : 43120010034
Prodi : S1 Manajemen
Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si. Ak
Universitas Mercubuana
Daftar Pustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H