Mohon tunggu...
Nanda Ismail Firdaus
Nanda Ismail Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - 43120010034

Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Etika dan Hukum Plato

23 Mei 2022   14:34 Diperbarui: 23 Mei 2022   15:22 3380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image By Nanda Ismail Firdaus

Pernikahan merupakan sebuah institusi sosial yang melahirkan banyak konsekuensi hukum. Selain perubahan status, konsekuensi hukum yang muncul dari ikatan pernikahan antara lain kewajiban memberikan nafkah, memberikan pendidikan, bimbingan, pengasuhan dan perawatan anak yang dilahirkan, pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pasangan, hak saling mewarisi dan yang lainnya. 

Konsekuensi hukum ini ada yang terus berlanjut meskipun salah satu pasangan meninggal dunia atau mereka telah bercerai. Institusi pernikahan mempunyai nilai yang sakral di dalam masyarakat. Kasus pernikahan kilat ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari berbagai kalangan termasuk presiden Republik Indonesia. 

Dalam hal ini, Presiden memberikan arahan kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Barat agar kasus tersebut ditangani secara cepat, tepat dan adil bagi semua pihak terutama pihak perempuan. Hal ini disebabkan antara lain karena Indonesia memiliki etika, tata krama dan norma-norma kepatutan yang harus ditegakkan dan dilakukan oleh semua warga Negara.

Legalitas Nikah Sirri Perkawinan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Sedangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam diberikan rumusan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Rumusan yang disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tampaknya lebih representatif, jelas serta tegas jika dibandingkan dengan rumusan dalam Kompilasi Hukum Islam. 

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, ditemukan fakta adanya ketidakpatuhan yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah yang melakukan perkawinan dengan tidak melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini dapat menimbulkan berbagai akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut pula perkawinan yang tidak taat hukum. 

Pernikahan seperti ini biasanya disebut pernikahan sirri. Pernikahan sirri atau yang juga sering dikenal dengan nikah di bawah tangan dapat di pahami melalui dua pengertian, yaitu: (1) Nikah sirri dalam perspektif fiqh, yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. 

Dua saksi, wali dan kedua mempelai pada akad ini diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak di perbolehkan seorangpun dari mereka menceritakan akad tersebut kepada orang lain. Sehingga dengan demikian, maka nikah sirri dalam perspektif fiqh ini tidak ada dikotomi antara nikah yang tercatat dan nikah yang tidak tercatat, karena bisa saja orang yang mencatatkan pernikahannya ke KUA disebut nikah sirri dalam pengertian fiqh, jika semua pihak-pihak yang berperan di dalamnya diminta untuk merahasiakan pernikahan tesebut; (2) Nikah sirri dalam perspektif sosiologis atau masyarakat, yaitu istilah yang diberikan masyarakat untuk bentuk pernikahan yang tidak melalui proses pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama

Oleh karena itu, apapun bentuk pernikahannya, baik pernikahan yang dilakukan secara rahasia ataupun diketahui secara umum maka tetap dianggap sebagai nikah sirri karena pernikahan tersebut belum tercatat secara resmi di KUA.

Antara Pelanggaran Etika dan Penegakan Hukum Immanuel Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Menurut Kant, legalitas merupakan kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah. Sementara moralitas menurut Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah. 

Kesesuaian dan ketidaksesuaian suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belum dianggap memiliki nilai moral, karena nilai moral baru dapat ditemukan dalam moralitas. Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kekuasaan pemberi hokum. Pada dasarnya kewajiban dibagi atas dua bagian yaitu kewajiban yang bersifat yuridis dan kewajiban yang bersifat etika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun