Mohon tunggu...
Nana Suryana
Nana Suryana Mohon Tunggu... Human Resources - http://islamemansipatoris.blogspot.com/

berkaca mata minus. berjiwa so’ muda mesti tampang tampak tua. masih betah tinggal di ibu kota. tiap hari keluyuran mengelilingi tiap sudut kota bersama angkutan umum. kalau pun sesekali ke luar kota, cuma bermodalkan ktp untuk naik kereta krd atau kelas ekonomi lain. kritikus, provokator, pengeluh, pelamun, pembual dan pemimpi nomor wahid. pembaca setia mahabharata, ramayana, karl marx, paulo freire, jurgen habermas, hasan hanafi, abed al-jabiri, gusdur, pramudya ananta toer, andrea hirata, wiro sableng, freddy, anny arrow, dan apa pun! bahkan sesobek koran pembungkus terasi belanjaan pagi. pengidap insomnia yang akut. penikmat musik classic dan film kolosal. so’ romantic and puitis. sungguh tak punya selera. pemalas, jorok, urakan, norak, dan tak suka diatur. penghisap rokok djarum super bareng kopi mocacino di tiap pagi, saat mulut masih berbau mimpi. kini, tengah belajar untuk mencintai situasi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Terakhir Darimu

28 Januari 2022   13:05 Diperbarui: 28 Januari 2022   13:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Surat bersampul biru darimu, sudah kuterima pagi tadi. Ia datang bersama rintik hujan yang lembut. Meski begitu, disaat yang sama, ada hangat menyeruak dikalbuku.

Tanganku gemetar saat membuka surat darimu. Entah itu karena gigil, atau rindu yang menyeruak.

Kuurungkan sejenak membukanya. Aku ingin menikmati sensasi saat-saat mendebarkan ini.

"Mungkin secangkir teh dapat menentramkan", pikirku.

Kuhirup aroma teh yang kau sukai. Dengan begitu, saat membaca suratmu, kita seakan tengah berhadapan. Saling berpandangan, berpegangan tangan.

Ahhh, itu membuatku kasmaran.

Baiklah! Saat ini aku sudah siap dengan keadaan. Meski hatiku kian bergemuruh. Seperti lolong ribuan kurcaci di tebing hatiku, "Ayo, baca surat itu!"

* * *

Setetes air mata jatuh dari sudut mataku. Berlabuh tepat pada bekas perona bibirmu.

Kau kekasih mudaku, aku ingin terbang menemuimu. Ingatanku melayang saat pertama kali kita berjumpa. 27 tahun lalu.

"Kenapa surat?", tanyamu waktu itu.

"Sensasinya beda, karena kita menyentuh kertas yang sama, aroma yang sama. Lagian dengan surat, aku jauh lebih bebas mengungkapkan rasa".

* * *

Mungkin hanya aku, lelaki terakhir di abad ini yang masih menerima surat. Meski ini surat cinta terakhir.

* * *

Di pusaramu aku bersimpuh. Abadilah kau disana.

Aamiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun