Surat bersampul biru darimu, sudah kuterima pagi tadi. Ia datang bersama rintik hujan yang lembut. Meski begitu, disaat yang sama, ada hangat menyeruak dikalbuku.
Tanganku gemetar saat membuka surat darimu. Entah itu karena gigil, atau rindu yang menyeruak.
Kuurungkan sejenak membukanya. Aku ingin menikmati sensasi saat-saat mendebarkan ini.
"Mungkin secangkir teh dapat menentramkan", pikirku.
Kuhirup aroma teh yang kau sukai. Dengan begitu, saat membaca suratmu, kita seakan tengah berhadapan. Saling berpandangan, berpegangan tangan.
Ahhh, itu membuatku kasmaran.
Baiklah! Saat ini aku sudah siap dengan keadaan. Meski hatiku kian bergemuruh. Seperti lolong ribuan kurcaci di tebing hatiku, "Ayo, baca surat itu!"
* * *
Setetes air mata jatuh dari sudut mataku. Berlabuh tepat pada bekas perona bibirmu.
Kau kekasih mudaku, aku ingin terbang menemuimu. Ingatanku melayang saat pertama kali kita berjumpa. 27 tahun lalu.
"Kenapa surat?", tanyamu waktu itu.
"Sensasinya beda, karena kita menyentuh kertas yang sama, aroma yang sama. Lagian dengan surat, aku jauh lebih bebas mengungkapkan rasa".
* * *
Mungkin hanya aku, lelaki terakhir di abad ini yang masih menerima surat. Meski ini surat cinta terakhir.
* * *
Di pusaramu aku bersimpuh. Abadilah kau disana.
Aamiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H