Mohon tunggu...
nanang musafa
nanang musafa Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan Guru Bloger

Telah menjuarai beberapa lomba menulis di tingkat kabupaten Trenggalek maupun provinsi Jawa Timur. Prestasi terbarunya, Juara I Guru Berprestasi Tingkat Madrasah Tsanawiyah Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek (2023). Karya tulisnya berupa artikel dan cerpen telah dimuat di berbagai media massa cetak. Telah menerbitkan beberapa buku solo dan buku antologi bersama para penggerak literasi nusantara di bawah bendera QLC Trenggalek, Guru Bloger Indonesia, YPTD Jakarta, dan Guru Penggerak Indonesia. Buku solo yang terbit di tahun 2023 berjudul “Menulis Hal Berbau remeh-Temeh” dan "Apa Kabar Sahabat Guru?". Karya tulisnya yang lain bisa dibaca di blog YPTD Jakarta https://terbitkanbukugratis.id/ atau di www.kampus215.blogspot.com. Bagi yang ingin berkawan bisa melalui e-mail nanangmusafa215@gmail.com. Nomor WhatsApp 082228928897. Akun Facebook Nanang M. Safa. Instagram nanangm. Safa.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membersamai Anak-anak Hebat

9 Juli 2023   21:02 Diperbarui: 9 Juli 2023   21:36 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MEMBERSAMAI ANAK-ANAK HEBAT

Oleh: Nanang M. Safa

Anda yang berprofesi sebagai guru pasti pernah menemui atau menangani anak-anak bermasalah di sekolah Anda. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan keluarga. Mulai dari permasalahan seputar pelanggaran tata tertib sekolah hingga -bisa jadi- permasalahan yang bersentuhan dengan hukum dan kriminalitas. Semua permasalahan tersebut berhubungan erat dengan sikap dan perilaku anak-anak didik Anda, yang berarti pula berhubungan dengan keberlanjutan pendidikan mereka.

Semakin banyak siswa yang berada di sekolah tempat Anda mengabdi,  sudah pasti pula semakin komplek permasalahan yang muncul. Permasalahan tersebut tentu tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru Bimbingan Konseling (BK). Anda pun sebagai guru juga memiliki tanggungjawab yang sama biarpun semuanya tentu dalam batas kewenangan masing-masing.

Saya juga seorang guru dan kebetulan saya juga diberi tugas tambahan sebagai wali kelas. Kelas yang menjadi tanggungjawab perwalian saya kebetulan juga adalah kelas dengan anak-anak istimewa --begitu banyak guru menyebutnya--. Hampir setiap satu bulan sekali saya harus "menangani" anak-anak saya di kelas perwalian saya tersebut. Ada-ada saja permasalahan yang muncul. Pelanggaran tata tertib, bulliying, ngambek tidak mau masuk sekolah, atau pamit ke sekolah tapi ternyata di sekolah juga tidak ada. Untungnya, hingga saat ini --dan mudah-mudahan hingga nanti dan seterusnya-- anak-anak saya yang "istimewa" tersebut tidak ada yang sampai berurusan dengan pihak kepolisian.

Lingkungan tentu berpengaruh besar terhadap pola pikir dan pola hidup masyarakatnya, termasuk para siswa. Pola pikir dan pola hidup (termasuk tutur kata, sikap, dan perilaku) anak-anak yang berada di dekat lokasi wisata tentu berbeda dengan anak-anak yang bermukim jauh dari lokasi wisata. Begitupun anak-anak yang bermukim di dekat lokasi wisata pantai juga tentu berbeda dengan anak-anak yang bermukim di dekat tempat wisata berbasis museum atau wisata religi. Sekali lagi, semuanya pasti ada plus minusnya. Tinggal sejauh mana anak-anak bisa mengambil sisi positifnya daripada sisi negatifnya dalam ikut membentuk karakter mereka.

Nah di sinilah mulai muncul beragam masalah. Bagi anak-anak yang bisa mengambil sisi positifnya atau minimal bisa menyeimbangkan sisi positif dan negatifnya dari keberadaan tempat wisata tersebut, tentu akan berdampak positif pula pada perkembangan kepribadian mereka, termasuk bisa memacu prestasi mereka. Sekali lagi, masalah itu baru muncul ketika mereka lebih terpukau dengan sisi negatifnya. Silahkan Anda simpulkan sendiri sisi negatif apa saja yang bisa mempengaruhi pola pikir dan pola hidup mereka.

 

Akar Masalah

Dari sekian tahun membersamai anak-anak (terutama) yang menjadi tanggungjawab saya secara langsung sebagai wali kelas, ada beberapa pokok permasalahan yang seringkali menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan pendidikan anak-anak usia sekolah (dalam hal ini usia remaja).

Pertama, malas ke sekolah. Ini menjadi faktor paling dominan bagi kebanyakan kasus keberlanjutan pendidikan remaja. Faktor malas ini bisa saja disebabkan dari diri pribadi siswa itu sendiri, bisa juga disebabkan hal lain yang berkaitan erat dengan diri siswa, termasuk di dalamnya kurangnya perhatian orang tua atau bisa juga karena adanya rasa tidak suka terhadap guru atau mata pelajaran yang diampunya.

Kedua, adanya konflik dengan orang tua. Para remaja masih sangat membutuhkan bimbingan, motivasi, dan pendampingan dari orang-orang yang dekat dengan dirinya dalam kesehariannya, terutama kedua orang tuanya. Kedekatan dan keharmonisan hubungan anak dan orang tua sangat besar peranannya terhadap semangat remaja dalam menempuh pendidikannya. Jika anak merasa kurang/tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya maka hampir bisa dipastikan mereka juga akan bersikap masa bodoh terhadap dirinya sendiri.

Ketiga, konflik dengan teman. Di suatu sekolah tidak jarang terbentuk sircle (lingkaran) yakni semacam geng. Konflik antar teman bisa saja berakibat fatal bagi anak-anak yang tidak memiliki geng. Mereka akan mengalami pembulliyan dari teman-teman di kelas atau di sekolahnya. Hal ini juga berpengaruh besar terhadap semangat mereka untuk masuk sekolah. Banyaknya kasus bulliying yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini, baik yang terekspos media massa maupun tidak, tentu sangat memprihatinkan.

Pembulliyan seringkali terjadi secara berkelompok atau beramai-ramai. Anak-anak yang menjadi sasaran bulliying tentu merasa tidak berdaya. Apalagi jika kasus bulliying yang menimpanya tidak lekas tertangani dan mendapatkan solusi. Apalagi jika guru yang kebetulan mengajar hanya bertanya dan ujung-ujungnya menyalahkannya juga. Mereka merasa diabaikan dan merasa tidak nyaman lagi berada di sekolah. Akhir dari permasalahan ini tentu mereka akan memilih menyendiri di rumah sebagai tempat teraman.

Keempat, kurang/tidak suka terhadap guru. Rasa kurang/tidak suka terhadap guru ini sebenarnya tidak serta-merta dikarenakan guru yang bersangkutan jahat atau pernah melakukan sesuatu yang membuatnya menjadi tidak respek terhadap guru bersangkutan. Namun bisa saja berawal dari kurang sukanya mereka terhadap mata pelajaran yang disampaikan guru, termasuk dengan cara mengajarnya. Bahkan bisa saja jika perasaan tidak suka ini mengendap terlalu lama akhirnya menjelma menjadi sebuah ketakutan. Takut jika disuruh menjawab pertanyaan di depan kelas, takut tidak bisa menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR), takut nilainya jelek, takut tidak naik kelas, dan seterusnya.

Kelima, terpengaruh dengan teman satu kelompoknya di luar sekolah. Peergroup (teman satu kelompok) tentu sangat berpengaruh terhadap perkataan, sikap, dan perilaku remaja. Kesimpulan dari beberapa hasil penelitian ilmiah menyebutkan bahwa remaja akan lebih takut ditinggalkan teman-teman sebaya dalam peergroupnya daripada dimarahi orang tuanya. Mereka akan berani menentang orang tua atau gurunya atau berani melanggar tata tertib demi mempertahankan eksistensi mereka dalam peergroupnya. Jika seorang remaja bergabung dalam peergroup anak-anak putus sekolah maka sangat mungkin mereka akan mengikuti jejak mereka alias putus sekolah juga.

Keenam, beberapa faktor lain termasuk faktor ekonomi, keterbatasan sarana transportasi, hari-hari khusus (mereka biasa menyebutnya hari kejepit yakni hari yang berada diantara dua hari libur), bangun kesiangan, dan sejenisnya.

 

Muara Akhir

Ditilik dari akar masalah yang menjadi penyebab terganggunya keberlangsungan pendidikan remaja, ada beberapa langkah antisipasi yang bisa dilakukan:

Pertama, pengumpulan data dan penelusuran fakta. Seorang guru (terutama wali kelas dan guru BK) harus memiliki basis data tentang siswa di bawah perwaliannya/binaannya. Data pribadi dan data keluarga siswa termasuk latar belakang pekerjaan/profesi, keadaan ekonomi, serta lingkungan sosial di mana siswa tingal adalah data yang sangat penting sebagai pendukung dalam mebimbing dan mendidik siswa.

Kedua, melakukan pendekatan pribadi (personality approach). Menangani siswa bermasalah tentu tidak bisa dipukul rata. Masing-masing kasus butuh cara penanganan yang berbeda. Ada kalanya butuh ketegasan dan sanksi hukuman yang jelas dan terukur, namun ada kalanya harus bicara dari hati ke hati melalui pendekatan pribadi. 

Ketiga, mengundang orang tua siswa. Peran orang tua dan keluarga dekat siswa tentu tak bisa dikesampingkan. Mengundang orang tua atau keluarga dekat siswa sangat diperlukan dalam rangka menggali informasi lebih dalam tentang hal-hal yang dimungkinkan menjadi pemicu sikap dan perilaku remaja yang melanggar.

Keempat, home visite (kunjungan ke rumah). Langkah ini sebagai tindak lanjut dari langkah ketiga. Kunjungan rumah dimaksudkan untuk crosscheck data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan siswa dan orang tuanya melalui observasi langsung di lapangan. Dalam acara kunjungan rumah ini dimungkinkan pula untuk mencari data tambahan melalui tetangga dan teman-teman siswa bersangkutan.

Kelima, langkah antisipasi lain yang bersifat darurat. Jika kasus yang terjadi membutuhkan penanganan yang cepat maka bisa ditempuh langkah darurat semisal pemulangan, pemindahan kelas, skors (merumahkan sementara waktu), atau memfasilitasi siswa bersangkutan untuk mutasi ke sekolah lain.

Keenam, tindakan yang terukur sesuai ketentuan. Langkah ini merupakan langkah puncak dari segala cara. Dalam hal ini, masing-masing sekolah tentu memiliki standar dan aturan sendiri secara terukur. Mendidik tidak melulu memberikan kemudahan-kemudahan namun jika diperlukan bisa juga memberlakukan sanksi hukum untuk menghindari dampak negatif lebih besar. Ibarat pisang busuk, daripada merembet kepada yang lain lebih baik dipotong bagian busuknya sehingga bagian yang lain masih bisa dimakan.

Dari uraian di atas jelas sudah bahwa muara akhir dari penanganan beragam kasus pelanggaran yang dilakukan siswa tidak lain adalah demi keberlangsungan pendidikan mereka juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun