Oleh: Nanang M. Safa
Anda yang berprofesi sebagai guru pasti pernah menemui atau menangani anak-anak bermasalah di sekolah Anda. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan keluarga. Mulai dari permasalahan seputar pelanggaran tata tertib sekolah hingga -bisa jadi- permasalahan yang bersentuhan dengan hukum dan kriminalitas. Semua permasalahan tersebut berhubungan erat dengan sikap dan perilaku anak-anak didik Anda, yang berarti pula berhubungan dengan keberlanjutan pendidikan mereka.
Semakin banyak siswa yang berada di sekolah tempat Anda mengabdi, sudah pasti pula semakin komplek permasalahan yang muncul. Permasalahan tersebut tentu tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru Bimbingan Konseling (BK). Anda pun sebagai guru juga memiliki tanggungjawab yang sama biarpun semuanya tentu dalam batas kewenangan masing-masing.
Saya juga seorang guru dan kebetulan saya juga diberi tugas tambahan sebagai wali kelas. Kelas yang menjadi tanggungjawab perwalian saya kebetulan juga adalah kelas dengan anak-anak istimewa --begitu banyak guru menyebutnya--. Hampir setiap satu bulan sekali saya harus "menangani" anak-anak saya di kelas perwalian saya tersebut. Ada-ada saja permasalahan yang muncul. Pelanggaran tata tertib, bulliying, ngambek tidak mau masuk sekolah, atau pamit ke sekolah tapi ternyata di sekolah juga tidak ada. Untungnya, hingga saat ini --dan mudah-mudahan hingga nanti dan seterusnya-- anak-anak saya yang "istimewa" tersebut tidak ada yang sampai berurusan dengan pihak kepolisian.
Lingkungan tentu berpengaruh besar terhadap pola pikir dan pola hidup masyarakatnya, termasuk para siswa. Pola pikir dan pola hidup (termasuk tutur kata, sikap, dan perilaku) anak-anak yang berada di dekat lokasi wisata tentu berbeda dengan anak-anak yang bermukim jauh dari lokasi wisata. Begitupun anak-anak yang bermukim di dekat lokasi wisata pantai juga tentu berbeda dengan anak-anak yang bermukim di dekat tempat wisata berbasis museum atau wisata religi. Sekali lagi, semuanya pasti ada plus minusnya. Tinggal sejauh mana anak-anak bisa mengambil sisi positifnya daripada sisi negatifnya dalam ikut membentuk karakter mereka.
Nah di sinilah mulai muncul beragam masalah. Bagi anak-anak yang bisa mengambil sisi positifnya atau minimal bisa menyeimbangkan sisi positif dan negatifnya dari keberadaan tempat wisata tersebut, tentu akan berdampak positif pula pada perkembangan kepribadian mereka, termasuk bisa memacu prestasi mereka. Sekali lagi, masalah itu baru muncul ketika mereka lebih terpukau dengan sisi negatifnya. Silahkan Anda simpulkan sendiri sisi negatif apa saja yang bisa mempengaruhi pola pikir dan pola hidup mereka.
Akar Masalah
Dari sekian tahun membersamai anak-anak (terutama) yang menjadi tanggungjawab saya secara langsung sebagai wali kelas, ada beberapa pokok permasalahan yang seringkali menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan pendidikan anak-anak usia sekolah (dalam hal ini usia remaja).
Pertama, malas ke sekolah. Ini menjadi faktor paling dominan bagi kebanyakan kasus keberlanjutan pendidikan remaja. Faktor malas ini bisa saja disebabkan dari diri pribadi siswa itu sendiri, bisa juga disebabkan hal lain yang berkaitan erat dengan diri siswa, termasuk di dalamnya kurangnya perhatian orang tua atau bisa juga karena adanya rasa tidak suka terhadap guru atau mata pelajaran yang diampunya.