Ketika sepatah kata rasanya kelu untuk disuarakan.Â
Jari pun terasa tak mampu untuk menggerakkan diri memegang pena guna memilih siapa yang harus dijadikan pemimpin negeri.Â
Hati terasa kosong, hanya menatap hampa masa depan negeri ini.Â
***
Bisa dibilang aku adalah wanita dengan sebutan generasi milenial.Â
Tapi obsesiku pada sejarah bangsa ini, sering membuatku bertanya, apakah cerita-cerita masa lampau membuatku selalu mengenang, dan sulit menerima strategi politik zaman now?
Penuh dengan gimmick dan tipu muslihat, janji manis, serta dua frasa kata "demi rakyat" selalu dikumandangkan, tanpa terlihat jelas visi misinya untuk membawa negeri ini menjadi negara yang dihormati, diisi dengan rakyat yang makmur dan sejahtera?
Malah, kini hanya terlihat seperti profesi semata?
***
Banyak orang, hingga pejabat selalu mengenang Kerajaan Majapahit, sebagai Kerajaan dengan luas wilayah yang begitu luas. Kerajaan yang bisa membuat dirinya dikenal sebagai negara agraris dan maritim, serta masyarakat yang gemah, ripah loh jinawi.
Adakah mereka mencari tahu dan mempelajari bagaimana Raja Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada, membangun kerajaan Majapahit hingga seperti itu?
Adakah Raja dan Maha Patih menganggap kerajaannya sebagai profesi untuk mencari keuntungan demi diri sendiri?
***
Melihat bangsa ini dijadikan dagelan oleh para pemimpin dan calon pemimpinnya, tiba-tiba terlintas dari semua yang aku baca dan pelajari....
Ketika bangsa ini mulai membuka diri pada bangsa asing, untuk transaksi semata, yang kemudian malah tanpa sadar membuka celah untuk dijajah.Â
Pelan, tapi pasti para bangsa lain datang silih berganti, menempati wilayah kita, seakan itu memang haknya. Tanpa bertanya pada rakyatnya, "benarkah kalian mau kami pimpin?"
Keadaan semrawut tidak hanya karena kedatangan penjajah, tapi adanya keteledoran dari sang pemimpin kerajaan yang lebih memilih untuk bersaing memperebutkan wilayah.Â
Perang saudara terjadi silih berganti, dari tahun ke tahun, demi kekuasaan pribadi, yang selalu merenggang nyawa adalah rakyat.
Lapar, tanpa pakaian dan harta, terpisah dari sanak saudara, hanya bisa menangis perih, tanpa bisa membela diri.
Para bangsawan saling bernegosiasi, Â berebut wilayah, memperebutkan harta, seakan tidak apa-apa rakyat menderita, yang penting dirinya selamat dan tidak miskin.Â
Beruntungnya, dari sekian kerajaan di bumi pertiwi ini, masih ada beberapa pemimpin kerajaan yang masih mengutamakan kesejahteraan rakyat, itu pun tetap dengan tetes darah air mata rakyat.Â
***
Masuk ke zaman modern, mulai era tahun 1908 hingga 1928 dan terus berlanjut hingga 1945, kekuasaan kerajaan mulai berganti.Â
Para keturunan bangsawan yang mampu mengenyam pendidikan, berusaha sangat keras sekali mengeluarkan rakyat yang tidak bisa menikmati tanah kelahiran mereka sendiri untuk bisa bebas dan merdeka bersama-sama.Â
Bernegosiasi dengan pemerintah kolonialisme, bertarung hingga berperang, bekerja sama juga dengan bangsa lain yang memang berempati tulus terhadap negeri ini, supaya seluruh rakyat di Indonesia, tanpa melihat SARA sama sekali, terlepas dari derita.
Mulai tahun 1939 hingga 1945, dari Sabang sampai Merauke sudah mulai ada persatuan dan kesatuan.Â
Semangat perjuangan untuk merdeka dari penjajahan, menjadi bangsa yang mandiri, tidak lagi hanya dilaksanakan oleh para keturunan bangsawan, tapi sudah menyulut membarakan semangat rakyat untuk merdeka, yang bisa jadi mereka sendiri tidak paham bagaimana merdeka itu sebenarnya.Â
Tapi yang saya pahami, rakyat muak disiksa keadaan oleh bangsa yang hanya mengeruk habis tanah negerinya.
Teriakan "Indonesia" begitu bangga dilontarkan oleh pria dan wanita, tidak pandang umur, kelas sosial, dan SARA.
Para pemimpinnya bekerja sama memimpin negeri ini dengan tulus, memperjuangkan Indonesia, dari rakyat hingga yang ada dalam negeri ini, bisa menikmati bumi pertiwinya.Â
Tahun 1949, ketika beberapa pemimpin negeri diasingkan.Â
Pemimpin lainnya yang mampu bertempur, segera bergerilya, saling bekerja sama memberikan instruksi agar rakyat jangan patah semangat untuk terus mempertahankan kemerdekaan.Â
Pemimpin lainnya lagi segera membagi tugas untuk berdiplomasi dengan bangsa lainnya yang saat itu tergabung dalam PBB, supaya negeri ini terus diakui kemerdekaannya, bebas dari bentuk penjajahan apapun.
Serangan Maret 1949, yang bisa jadi kita ingat sliweran melalui buku sejarah, adalah momen penting bagi bangsa ini diakui oleh seluruh negara di dunia ini, bahwa kita adalah negara yang merdeka, dan tidak tunduk lagi dalam penjajahan dalam bentuk apapun.
Nenek moyang kita, rakyat Indonesia dan tentara Indonesia, bekerja sama, para pemimpin Indonesia dengan tulus mementingkan kemerdekaan negeri ini.
***
Masa demi masa berlalu, diawali dari Demokrasi Terpimpin ala Orde Lama, Demokrasi ala Orde Baru, hingga akhirnya Reformasi...
Orde Lama ditumbangkan karena dianggap pemimpinnya akan membangkitkan sebuah kerajaan lagi, Orde Baru ditumbangkan karena kepemimpinannya nyaris seperti monarki, namun diselubungi kata demokrasi.Â
Reformasi....?
Aku tidak melihat adanya perubahan kepemimpinan.Â
Miris saja, dari masa ke masa, rakyat selalu dijadikan alasan untuk menjabat.Â
Setelah menjabat, profesinya hanya dijadikan sebagai alat bernegosiasi untuk mengisi kantong pribadi, mempertebal kantong sendiri.Â
Infrastruktur dibangun dengan gemilang, membuat rakyat bahagia sebentar, dibuntuti dengan utang negara, yang membuat pajak terus muncul, hingga mencekik rakyat.Â
Demi kepentingan pribadi, buzzer-buzzer diciptakan karena tahu siapa yang sekarang tidak butuh uang untuk makan, membuat rakyat tidak lagi mampu berpikir dengan netral memilih pemimpin.
Semuanya dianggap lelucon, rakyat dibuat terombang-ambing. Belum lagi bermusuhan.Â
Ada yang memakai agama untuk berkampanye, ada yang memilih memanjakan rakyat untuk membagi-bagikan bansos saat berkampanye, ada juga yang berteriak "adanya kecurangan".Â
Belum lagi, bendera dipasang sepanjang jalan ditiang dan di pohon, tidak menggubris bahwa Indonesia sedang darurat lingkungan hidup. Polusi karena sampah, udara dan suara.
Rakyat tidak lagi dianggap sebagai manusia yang tinggal didalamnya, tapi dijadikan objek semata demi kepemimpinan.
Pengaruh media-media resmi saling diperebutkan demi mendapatkan suara, demi profesi, demi kantong pribadi.Â
***
Mungkin seharusnya negeri ini masih ada masa depan.Â
Aku saja yang terlalu pesimis.
Tapi rasanya jari begitu kelu untuk memilih.
Sangat terlihat sekali, semua aturan bisa diterabas, asalkan ada uang, ada koneksi.Â
Ahh, sepertinya pemimpin negeri ini sebenarnya sudah ditentukan oleh mereka yang menjabat, tanpa aku harus ikut memilih.
Karena kita ini masih dalam naungan kekuasaan negara lain saja (akibat banyaknya utang), maka dibuat seolah-olah ada pemilihan, ada pertarungan dan ada kekesalan.Â
***
Hati masih ingin memilih...
Tapi nurani tidak bisa dibohongi, negeri ini benar-benar sepi pemimpin yang tulus.Â
Rakyat hanya dijadikan objek.
Siapapun pemimpinnya, tidak akan pernah berniat membuat negeri ini benar-benar maju bersama rakyatnya, termasuk alamnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI