Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Peristiwa Serangan Umum 1 Maret Mesti Diperingati?

1 Maret 2023   14:57 Diperbarui: 1 Maret 2023   15:08 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis Pertemuan Internasional yang diadakan oleh PBB untuk Indonesia-Belanda hingga mencapai kesepakatan | Desain Canva/Pribadi

1949 menjadi tahun terjadinya serangan umum yang dilakukan oleh rakyat Indonesia beserta TNI, dan para gerilyawan menyerang tentara Belanda. 

74 tahun sudah peristiwa tersebut berlalu, lantas kenapa kita mesti memperingatinya? Dan kenapa peristiwa ini dimasukkan sebagai Hari Besar Nasional?

Padahal orang sering bilang, "yang lalu biarlah berlalu". 

Eits, tapi nih kalau saya ilustrasikan akankah kita melupakan masa-masa perjuangan hidup kita sebelum seperti sekarang?

Dan apakah kita akan abai begitu saja tentang kenangan romansa bersama para deretan mantan, sebelum akhirnya bertemu dengan pasangan kita sekarang ini?

Tentu pengalaman masa lalu memberikan efek bagi kehidupan kita yang sekarang, entah itu menjadi lebih tegar ataupun lebih lemah, tapi yang pasti efeknya itu pasti ada.

Nah, kalau membicarakan tentang Indonesia.

Tidak ada tanggal 17 Agustus 1945, bisa jadi kemerdekaan Indonesia tidak didapatkan dari hasil perjuangan, melainkan hanya sebagai "hadiah". Tidak menutup kemungkinan, kita akan menjadi negara boneka semata.

Tidak ada tanggal 1 Maret 1949, maka kita sebagai orang Indonesia belum tentu merayakan anniversary-nya kemerdekaan kita yang ke 77 tahun, jalan 78 tahun untuk Agustus 2023 nanti.

Kenapa bisa begitu?

19 Desember 1948, Belanda mengingkari perjanjian damai Renville yang ditandatangani  sendiri oleh perwakilan mereka di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville pada tanggal 17 Januari 1948.

Baru 11 bulan perjanjian tersebut ditandatangani, Belanda melakukan agresi militer yang ke-2. 

Tidak main-main, Yogyakarta sebagai salah satu wilayah yang diakui sebagai wilayah Indonesia dalam perjanjian, malah diserang dengan rentetan letusan senjata, dan tentara Belanda datang dalam jumlah besar di Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Lapangan Terbang Adisucipto). 

Melihat adanya bahaya, para pejabat pemerintahan segera mengadakan sidang kabinet dan memutuskan bahwa kekuasaan pemerintah RI dialihkan ke Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra, dan kepemimpinan diserahkan sementara pada Mr. Syafruddin Prawiranegara. 

Yogyakarta, masih tetap sebagai Ibukota Negara.

Infografis pejabat pemerintahan yang diasingkan | Desain Canva/pribadi
Infografis pejabat pemerintahan yang diasingkan | Desain Canva/pribadi

Tidak lama setelah sidang berlangsung, para pejabat pemerintahan ditangkap dan diasingkan secara terpisah.

Presiden Soekarno (baca Sukarno), Sutan Syahrir, H. Agus Salim (Menteri Luar Negeri) diasingkan ke Brastagi dan Prapat. 

Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Surjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara, MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diasingkan ke Pangkalpinang, Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, sekaligus Kepala Daerah Istimewa pada saat itu menjadi tahanan rumah dalam Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Jogja).

Para pejabat pemerintahan yang tidak tertangkap, menyebar. 

Ada yang segera ke luar kota, dan ada juga yang menjadi "manusia siluman" yang aktif dibawah tanah.

Para pion negara Republik Indonesia dibuat tidak berkutik oleh Belanda. Mereka tidak bisa mengatur strategi perlawanan secara bersamaan.

Namun, seperti dalam adegan film perang, bukan berarti mereka tidak bisa berkomunikasi sama sekali.

Infografis komunikasi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan | Desain Canva/Pribadi
Infografis komunikasi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan | Desain Canva/Pribadi

Sultan Hamengku Buwono IX bekerja sama dengan Raja Paku Alam VIII, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY sekaligus Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Komunikasi dilakukan tidak secara langsung, melainkan melalui kurir, yakni Letnan I Marsudi dan Amir Murtono. 

Sri Sultan dan Raja Paku Alam sangatlah kompak dalam mengambil keputusan dan melindungi negara RI, membuat Belanda geram sekaligus salut pada kekompakan mereka yang tidak mempan diadu domba, dan dibujuk rayu dengan harta ataupun wilayah kekuasaan.

Tidak hanya dengan Raja Paku Alam, Sultan Hamengku Buwono IX juga bisa berkomunikasi secara rahasia dengan Ir. Juanda, Kusnan dr. Halim dan para pimpinan militer lainnya, termasuk Panglima Besar Sudirman.

Walau menjadi tahanan rumah, Sri Sultan juga tetap berkomunikasi dengan rakyatnya, yang diistilahkan dalam fluistercampagne, dimana isi pesan disampaikan dari mulut ke mulut. Bukan seperti gosip ya... hehe

Keadaan ekonomi dan sosial pada saat itu bisa dibayangkan sangatlah susah dan mengerikan. 

Menurut Presiden Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade, beliau dan rekan-rekannya serta rakyat setempat terus melakukan serangan pada malam hari.

Serangan tersebut tentu membuat tentara Belanda takut untuk bepatroli pada malam hari. Takut, tidak berarti mundur. 

Dalam pertemuan internasional, Belanda tetap bersikukuh bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah miliknya. 

Infografis perwakilan Indonesia yang berjuang agar Republik Indonesia diakui secara internasional | Desain Canva/pribadi
Infografis perwakilan Indonesia yang berjuang agar Republik Indonesia diakui secara internasional | Desain Canva/pribadi

Pemerintah Indonesia dinyatakan sudah bubar oleh Belanda dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB, namun Mr. A.A. Maramis (Menteri Luar Negeri) dan Dr. Sudarsono (wakil tetap RI di New Delhi)  yang hadir dalam pertemuan internasional tersebut, bersikukuh bahwa Republik Indonesia masihlah eksis. 

Dua bulan berjalan, perang Belanda-Indonesia terus berlangsung, keadaan ekonomi para pejabat, dan keluarganya, serta rakyat sangatlah sengsara. 

Situasi menderita seperti itu tentu akan sangat mudah bagi Belanda untuk mengadu domba, dan Indonesia yang sudah terbentuk terancam bubar. 

Sultan Hamengku Buwono IX pun langsung merogoh kas kerajaan untuk membiayai kehidupan para pejabat dan keluarganya, serta para rakyat agar tidak kelaparan.

Dengan adanya subsidi kerajaan, seluruh komponen pejabat pemerintahan, termasuk rakyat Indonesia memiliki semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan di lapangan. Selagi dua perwakilan Indonesia yang juga terus berjuang mempertahankan pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam pertemuan PBB.

Bulan Januari sampai dengan Februari 1949 menjadi masa genting Indonesia diputuskan akan menjadi negara yang diakui kemerdekaannya atau kembali menjadi milik Belanda. 

Ada dua versi dalam pengaturan strategi penyerangan besar-besaran terhadap tentara Belanda.

Dari pihak kerabat Sultan Hamengku Buwono IX, Komandan Brigade Soeharto dipanggil secara diam-diam, dan menyamar sebagai abdi dalam untuk pengaturan strategi penyerangan. 

Dari pihak Presiden Soeharto, beliau mengaku bahwa strategi tersebut disusun oleh beliau dan disepakati oleh para tentara, serta rakyat. 

Entah mana yang benar, yang pasti strategi serangan besar-besaran pada tanggal 1 Maret 1949 sangat berhasil. 

Serangan tersebut menimbulkan pemberitaan yang viral ke internasional melalui radio dan surat kabar.

Dimulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 3 sore, serangan dilakukan secara serentak oleh TNI, tentara pelajar, dan rakyat pejuang. Para gerilyawan ini memakai tanda khusus yakni kalung dari janur kuning yang melingkar di leher.

Rentetan senjata mengagetkan tentara Belanda, sehingga mereka tidak bisa menyerang kembali, hanya bisa bertahan saja.

Dibawah kepemimpinan Komisi Brigade Soeharto, para gerilyawan mampu menyerang, memasuki, dan menduduki kota. Tepat pukul 15.00, mereka kembali meninggalkan kota secara serentak.

Ketika bala bantuan tentara Belanda datang dari arah utara dengan tank yang menderu-deru, kota Jogja sudah kembali sunyi. 

Saat peristiwa penyerangan berlangsung, ada jurnalis asing dan utusan pertemuan internasional, yakni Komisi Jasa Baik PBB yang hadir dan melihat langsung kobaran semangat rakyat Indonesia untuk merdeka, walau para pejabat pemerintahan ditangkap dan diasingkan. 

Pemberitaan tentang serangan umum menjadi viral, utusan pertemuan internasional pun memberikan laporan apa yang terjadi di lapangan kepada Dewan Keamanan PBB.

Negara internasional pun menjadi sangat bersimpati pada perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka. Sebagian besar negara mengecam operasi militer yang diadakan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia.

Infografis Pertemuan Internasional yang diadakan oleh PBB untuk Indonesia-Belanda hingga mencapai kesepakatan | Desain Canva/Pribadi
Infografis Pertemuan Internasional yang diadakan oleh PBB untuk Indonesia-Belanda hingga mencapai kesepakatan | Desain Canva/Pribadi

Kemudian pertemuan PBB pun diadakan berurutan pada tanggal 23 Maret 1949, 14 April 1949, hingga puncaknya pada tanggal 7 Mei 1949. 

Indonesia diwakili oleh Mohamad Roem dan Belanda diwakili Van Royen menyepakati persetujuan bahwa pada tanggal 24 Juni 1949, tentara Belanda ditarik mundur dari Yogyakarta. Perjanjian tersebut dinamakan Van Royen-Roem Statement.  

6 Juli 1949, pemimpin negara, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden, Moh. Hatta dilepaskan dari pengasingan dan kembali ke Ibukota RI, Yogyakarta, dan disambut gegap gempita oleh para pejabat dan seluruh lapisan rakyat. 

13 Juli 1949, Mr. Syafruddin kembali ke Yogyakarta dan mengembalikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia kepada Presiden Soekarno. 

Hoho... melihat rangkaian peristiwa diatas, maka patutlah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 diperingati sebagai Hari Penegarakan Kedaulatan Negara, sehingga semakin memupuk semangat kita untuk menjalin persatuan dan kesatuan. 

Jadi, pantaskah kita memperingatinya sebagai Hari Besar Nasional?

Bagaimana cara kita memperingatinya?

Pada tahun 2022 kemarin, Yogyakarta mengadakan upacara peringatan Serangan Umum dan menggelar gelar Teatrikan Parade Kebangsaan Serangan Umum 1 Maret.

Pemerannya tentu para pemuda yang menjiwai perang kemerdekaan. 

Tidak mesti menggelar teatrikal ataupun upacara, mungkin kita bisa memperingatinya dengan membaca ulang sejarah Serangan Umum 1 Maret agar kita bisa menghargai apa yang kita miliki sekarang di Indonesia, berkat hasil perjuangan secara intelektual, fisik, serta tangis dan darah.

Selamat Hari Penegakan Kedaulatan Negara Indonesia

Sumber :

  • Wikipedia. Agresi Militer Belanda II , diakses pada tanggal 1 Maret 2023
  • Dinas Perhubungan Kab Waringin Barat. 1 Maret 2021. Memperingati Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Diakses dari website dishub.koatwaringinbaratkab.go.id pada tanggal 1 Maret 2023
  • Setyaningrum, Puspasari. 23 Januari 2022. Perjanjian Renville : Isi, Tokoh, Latar Belakang dan Dampaknya bagi Kedaulatan Indonesia. Diakses dari kompas.com pada tanggal 1 Maret 2023
  • Farisa, Fitria Chusna. 25 Mei 2022. Profil Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bangsawan yang  Jadi Wakil Presiden ke-2 RI. Diakses dari kompas.com tanggal 1 Maret 2023.
  • Moh. Roem, Mochtar Lubis, dkk. 2011. Takhta untuk Rakyat. Jakarta : PT Gramedia
  • Dwipayana, G dan Ramadhan K.H. 1989. Otobiografi Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Jakarta : Citra Lamtoro Gung Persada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun