19 Desember 1948, Belanda mengingkari perjanjian damai Renville yang ditandatangani  sendiri oleh perwakilan mereka di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville pada tanggal 17 Januari 1948.
Baru 11 bulan perjanjian tersebut ditandatangani, Belanda melakukan agresi militer yang ke-2.Â
Tidak main-main, Yogyakarta sebagai salah satu wilayah yang diakui sebagai wilayah Indonesia dalam perjanjian, malah diserang dengan rentetan letusan senjata, dan tentara Belanda datang dalam jumlah besar di Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Lapangan Terbang Adisucipto).Â
Melihat adanya bahaya, para pejabat pemerintahan segera mengadakan sidang kabinet dan memutuskan bahwa kekuasaan pemerintah RI dialihkan ke Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra, dan kepemimpinan diserahkan sementara pada Mr. Syafruddin Prawiranegara.Â
Yogyakarta, masih tetap sebagai Ibukota Negara.
Tidak lama setelah sidang berlangsung, para pejabat pemerintahan ditangkap dan diasingkan secara terpisah.
Presiden Soekarno (baca Sukarno), Sutan Syahrir, H. Agus Salim (Menteri Luar Negeri) diasingkan ke Brastagi dan Prapat.Â
Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Surjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara, MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diasingkan ke Pangkalpinang, Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, sekaligus Kepala Daerah Istimewa pada saat itu menjadi tahanan rumah dalam Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Jogja).
Para pejabat pemerintahan yang tidak tertangkap, menyebar.Â