Rumahnya tidak jauh dari tempatnya bekerja. Sistem kerjanya pun juga shift-shift-an, beruntung biasanya ia mendapatkan shift pagi.
Pertemuan saya dan Ipah memberikan suatu pecutan bagi saya, untuk terus bersemangat, dan meminimalkan keluhan tentang hidup.
Semangatnya mengingatkan saya pada anak-anak muda yang dulunya menjadi mahasiswa salah satu universitas swasta.
Mereka bukanlah anak-anak muda yang kata orang punya privilege.
Agar bisa kuliah, mereka harus bekerja terlebih dahulu. Ada yang bekerja sebagai admin, office boy, dan pekerjaan lainnya yang seringkali dianggap sebelah mata oleh banyak orang.
Hari Jumat sore dan Sabtu, kalau mengikuti standar sosial media, harusnya mereka beristirahat di rumah.
Tapi itu tidak dilakukannya, mereka malah dengan antusias mengikuti kelas perkuliahan, memperhatikan benar apa yang disampaikan dosen, walau terkadang terkantuk-kantuk.
Mereka tidak mengenal dengan yang namanya kehidupan seimbang atau istilah kerennya, life balance. Tapi mereka lebih mengenal sistem menikmati liku hidup.
Tidak jarang sistem kampus membuat mereka kelabakan, yang nantinya harus mengumpulkan tugas ke kampus pusat lah, dan itu berarti mereka harus mengeruk kantong lebih dalam.
Atau bisa juga, tiba-tiba ada dosen yang membatalkan kelas, padahal mereka datang ke kampus dengan ongkos yang bisa dibilang pas-pasan.
Namun saya belum pernah mendengar mereka mengeluh. Justru saya lebih sering mendengar impian mereka, agar nantinya setelah mendapatkan ijazah, mereka bisa membantu perekonomian keluarganya jauh lebih baik.