Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Muda Itu Masa Berjuang

31 Oktober 2022   13:32 Diperbarui: 31 Oktober 2022   13:37 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membidik sang gadis saat dalam perjalanan pulang | Dokumentasi pribadi

Gadis muda belia tersenyum manis ketika saya memarkirkan motor didepan tendanya.

Awalnya saya ingin memilih dulu tenda lain yang menawarkan pemandangan pegunungan yang paling menarik, namun pilihan saya akhirnya malah jatuh pada tenda si gadis tersebut berjualan.

"Silahkan, teh, ada kopi, roti bakar, sosis, pisang goreng, indomie...", tawar sang gadis sembari tersenyum ramah.

Saya hanya membalas senyum ramahnya, sambil melihat-lihat posisi tempat duduk yang enak untuk menikmati hidangan kopi, sekaligus pemandangan.

Seakan tahu apa yang saya inginkan, gadis tersebut langsung menimpali dengan alunan nada khas orang Sunda, "masuk ke dalam aja, teh, posisi duduknya bisa langsung melihat pemandangan".

Tawaran tersebut langsung menarik perhatian saya untuk menatap matanya. Tebakan saya, usianya masih dibawah dua puluhan, namun saya sangat menghargai semangatnya berjualan.

Salut pada kegigihannya, saya pun duduk santai di dalam tendanya, sembari memesan kopi susu hangat dan pisang bakar yang ditaburi cokelat meses dan parutan keju.

Kopi susu hangat yang dipesan sebagai peneman kala menikmati pemandangan alam | Dokumentasi pribadi
Kopi susu hangat yang dipesan sebagai peneman kala menikmati pemandangan alam | Dokumentasi pribadi

Kopi dan cemilan dihidangkan, saya pun siap mengabadikan momen dalam bidikan foto, sekaligus menikmati hangatnya hidangan dikala udara begitu sejuk semberiwing.

Sesekali saya mendengar gadis muda tersebut menawarkan jualannya pada beberapa calon pembeli.

Ada yang lewat begitu saja, dan ada juga yang tergoda oleh tawaran manis sang gadis untuk menikmati hidangan di tendanya.

Pisang bakar yang saya santap saat ditenda | Dokumentasi pribadi
Pisang bakar yang saya santap saat ditenda | Dokumentasi pribadi

Suara cetekan kompor seakan tidak berhenti. Bau makanan sosis panggang, roti bakar, pisang bakar, indomie, tercium silih berganti.

Saya perhatikan dari antara semua tenda, yang paling ramai adalah tenda gadis belia ini.

Tidak heran sebenarnya, melihat semangat sang gadis untuk menarik para calon pembeli mampir ke tendanya.

Penasaran, saya pun mengajak ngobrol sang gadis saat sedang membayar.

Ipah, namanya.

Usianya tidak jauh dari dugaan saya, ia baru lulus SMA.

Cita-citanya ingin menjadi perawat, namun saat ini ia belum bisa melanjutkan pendidikannya karena terkendala biaya.

"Kerja dulu, teh, kumpulin uang,", jawab Ipah sambil tersenyum ramah.

Gerobak si Ipah berjualan | Dokumentasi Pribadi
Gerobak si Ipah berjualan | Dokumentasi Pribadi

Rumahnya tidak jauh dari tempatnya bekerja. Sistem kerjanya pun juga shift-shift-an, beruntung biasanya ia mendapatkan shift pagi.

Pertemuan saya dan Ipah memberikan suatu pecutan bagi saya, untuk terus bersemangat, dan meminimalkan keluhan tentang hidup.

Semangatnya mengingatkan saya pada anak-anak muda yang dulunya menjadi mahasiswa salah satu universitas swasta.

Mereka bukanlah anak-anak muda yang kata orang punya privilege.

Agar bisa kuliah, mereka harus bekerja terlebih dahulu. Ada yang bekerja sebagai admin, office boy, dan pekerjaan lainnya yang seringkali dianggap sebelah mata oleh banyak orang.

Hari Jumat sore dan Sabtu, kalau mengikuti standar sosial media, harusnya mereka beristirahat di rumah.

Tapi itu tidak dilakukannya, mereka malah dengan antusias mengikuti kelas perkuliahan, memperhatikan benar apa yang disampaikan dosen, walau terkadang terkantuk-kantuk.

Mereka tidak mengenal dengan yang namanya kehidupan seimbang atau istilah kerennya, life balance. Tapi mereka lebih mengenal sistem menikmati liku hidup.

Tidak jarang sistem kampus membuat mereka kelabakan, yang nantinya harus mengumpulkan tugas ke kampus pusat lah, dan itu berarti mereka harus mengeruk kantong lebih dalam.

Atau bisa juga, tiba-tiba ada dosen yang membatalkan kelas, padahal mereka datang ke kampus dengan ongkos yang bisa dibilang pas-pasan.

Namun saya belum pernah mendengar mereka mengeluh. Justru saya lebih sering mendengar impian mereka, agar nantinya setelah mendapatkan ijazah, mereka bisa membantu perekonomian keluarganya jauh lebih baik.

Saya benar-benar terharu mendengarnya. Juga, merasa kalah, karena diusia mereka, saya malah mengeluhkan nasib merasa terjebak dalam situasi.

Kalau kata orang anak muda sekarang lembek, mungkin ada beberapa, yang bahkan lebih banyak mengeluhkan hidupnya yang sebenarnya jauh lebih baik, dibandingkan teman-teman sebayanya yang hidupnya "dipermainkan" oleh sistem kekuasaan.

Tapi banyak juga, terutama anak muda yang sering diistilahkan pinggiran, malah memiliki tekad seperti baja, dan jauh dari kata lembek. Asalkan mereka diberi kesempatan.

Melihat semangat dan tekad mereka, saya rasa tidak heran kalau nantinya mereka bisa menjadi orang yang minimal mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, berharap sukses.

Maklum sekarang eranya yang punya koneksi lebih bisa mendapatkan kesempatan, ketimbang orang yang benar-benar memiliki kemampuan.

Tapi saya masih percaya kalau usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Jadi mumpung masih muda, mari berjuang, agar masa pensiun nanti tidak banyak penyesalan karena lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngeluh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun