Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kok Disapa Engkong?

16 Agustus 2021   19:55 Diperbarui: 16 Agustus 2021   20:00 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapaan Engkong untuk orang Betawi | Foto : Kompas.com

Siapa yang gak tahu Engkong Felix Tani di jagad raya Kompasiana. 

Beliau yang belakangan sedang rajin mengisi rubrik humor dengan wejangan terselubung. Tulisan terakhirnya, tesss, langsung menusuk hati dan pikiran saya sebagai seorang kompasianer, yakni menulis jangan comot media sana-sini, tapi dibedah lagi lebih dalam dengan data dan fakta. 

Setidaknya itulah bahan intropeksi saya, mengingat teman-teman saya (diluar Kompasiana) pun seringkali menyamakan Kompasiana dengan Kompas, yakni media yang selalu menyajikan berita teraktual dan sangat berkualitas. 

Oke, diluar dari teks Kompasiana dan Engkong Felix. 

Engkong, sapaan yang sangat familiar di hati dan telinga saya. Bagaimana tidak, saya memanggil kakek saya dari pihak Ibu, Engkong. 

Tapi tampilan Engkong Felix dengan Engkong saya sepertinya berbeda jauh, walau beliau berdua sama-sama humoris dan bijaksana, namun Engkong saya itu galak, dan suaranya sangat menggelegar.

Teringat waktu saya dan keluarga mendapatkan kecelakaan mobil di tol, sampai dibawa ke UGD salah satu rumah sakit. Engkong saya yang mendengar kami sekeluarga masuk rumah sakit, langsung datang, dan terdengar teriakannya, "mana cucu gua?!". 

Suara beliau sangat jelas ditelinga. Saya sangka tadinya beliau sudah dekat dengan kamar pasien, tunggu punya tunggu, ternyata Engkong saya sendiri sebenarnya masih berada di parkiran. 

Dulu saya sempat mengira, ada kemungkinan Engkong saya, saat muda, tidak sengaja menelan toa, karena suara yang beliau hasilkan tidak pernah dalam intonasi yang rendah.

Untuk panggilan Engkong, sebenarnya saya sempat merasa malu, karena sangat berbeda dengan teman-teman yang banyak memanggil kakeknya, Akong, Kungkung, dan Opa. 

Namun saat menonton sinetron si Doel Anak Sekolahan pada tahun 90-an, dan ada Engkong Ali yang sama nyablak-nya dengan Engkong saya, saya tidak lagi malu memanggil kakek saya, Engkong. Panggilan beken, pada masa itu, selain Nyak, Babe.

Sempat saya bertanya pada Ibu, "kita ini Chinese atau orang Betawi, Ma?", mengingat Ibu dan adik-adiknya memanggil Kakek-Nenek saya, Nyak Babe.

"China-Betawi", jawab Ibu saya. Dan beliau pun mulai menjelaskan silsilah keluarga kami. Kakek buyut asli orang Tionghoa, dan Nenek buyut asli orang Betawi. 

Nah, dari sana saya barulah lebih dalam mempelajari kata "Engkong". Ternyata Engkong itu merupakan sapaan hangat untuk Kakek dalam bahasa Betawi. 

Kata Engkong sendiri merupakan penyerapan dari bahasa Mandarin, yang kemudian disesuaikan oleh suku Betawi.

Jauh sebelum orang Eropa datang ke Nusantara, banyak orang Tionghoa yang bermigrasi ke Nusantara untuk berdagang, pertukaran pelajar, pelarian politik, menghindari musibah atau bencana alam dan sebagainya. 

Tidak datang dengan berbondong-bondong, tapi sedikit demi sedikit, hingga menjadi bukit dalam rentan waktu yang cukup lama.

Paling banyak yang bermigrasi sampai ke Batavia adalah orang Fujian yang memakai bahasa Hokkian modern.

Kakek buyut saya sendiri menyebrangi negara Tiongkok sampai ke Batavia, lantaran keluarganya mengalami kemiskinan yang amat sangat di negerinya. 

Merantau, adalah salah satu cara untuk mempertahankan hidup. Kalau tidak salah saat itu sedang ada pergolakan politik di Tiongkok.

Agar bisa terus bisa bertahan hidup, banyak orang Tionghoa yang berbaur dengan penduduk asli Indonesia, salah satu caranya dengan menikahi wanita penduduk setempat.

Anak-anak hasil perkawinan campur ini, sering kita sebut sebagai peranakan Tionghoa, kalau di Malaysia disebut sebagai Babah Nyonya. 

Saya memasukkan kedua sebutan ini, dikarenakan dulu, sebelum orang Belanda-Inggris menginjakkan kaki di Nusantara, Malaysia dan Indonesia itu satu wilayah, tentunya dengan kerajaan yang berkuasa pada masing-masing wilayah. Kemudian, wilayah Malaysia-Indonesia dipecah menjadi dua, sebagai tanda Malaysia milik Inggris, sedangkan Indonesia milik Belanda.

Kembali ke kata "Engkong", yang merupakan serapan dari bahasa Mandarin, Tionghoa.

Bahasa Mandarin sendiri menyebut kakek dari pihak Ibu, adalah Gong gong (baca : Kung Kung) 

Orang Hokkian biasa menyebutnya Akong. Sedangkan orang Khek atau dikenal juga dengan orang Hakka, menyebut kakek dari pihak Ibu sebagai Kung kung, seperti bahasa Mandarin. 

Oleh karena itu, etnis Betawi memanggil kakek dengan sebutan Engkong.

Kalau sekarang ini tentunya sebutan Engkong sudah lebih general, tidak mesti harus dari Betawi ataupun peranakan China-Betawi. Hmm.. tapi saya bertanya-tanya juga sih Engkong Felix itu dari Betawi bukan ya?

Referensi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun