Namun saat menonton sinetron si Doel Anak Sekolahan pada tahun 90-an, dan ada Engkong Ali yang sama nyablak-nya dengan Engkong saya, saya tidak lagi malu memanggil kakek saya, Engkong. Panggilan beken, pada masa itu, selain Nyak, Babe.
Sempat saya bertanya pada Ibu, "kita ini Chinese atau orang Betawi, Ma?", mengingat Ibu dan adik-adiknya memanggil Kakek-Nenek saya, Nyak Babe.
"China-Betawi", jawab Ibu saya. Dan beliau pun mulai menjelaskan silsilah keluarga kami. Kakek buyut asli orang Tionghoa, dan Nenek buyut asli orang Betawi.Â
Nah, dari sana saya barulah lebih dalam mempelajari kata "Engkong". Ternyata Engkong itu merupakan sapaan hangat untuk Kakek dalam bahasa Betawi.Â
Kata Engkong sendiri merupakan penyerapan dari bahasa Mandarin, yang kemudian disesuaikan oleh suku Betawi.
Jauh sebelum orang Eropa datang ke Nusantara, banyak orang Tionghoa yang bermigrasi ke Nusantara untuk berdagang, pertukaran pelajar, pelarian politik, menghindari musibah atau bencana alam dan sebagainya.Â
Tidak datang dengan berbondong-bondong, tapi sedikit demi sedikit, hingga menjadi bukit dalam rentan waktu yang cukup lama.
Paling banyak yang bermigrasi sampai ke Batavia adalah orang Fujian yang memakai bahasa Hokkian modern.
Kakek buyut saya sendiri menyebrangi negara Tiongkok sampai ke Batavia, lantaran keluarganya mengalami kemiskinan yang amat sangat di negerinya.Â
Merantau, adalah salah satu cara untuk mempertahankan hidup. Kalau tidak salah saat itu sedang ada pergolakan politik di Tiongkok.
Agar bisa terus bisa bertahan hidup, banyak orang Tionghoa yang berbaur dengan penduduk asli Indonesia, salah satu caranya dengan menikahi wanita penduduk setempat.