Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Majunya Teknologi Tanpa Pemahaman, Malah Memanipulasi Karakter dan Menghambat Potensi Diri

25 Juli 2021   13:29 Diperbarui: 27 Juli 2021   11:20 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi standar kecantikan wanita menerima kulit kecokelatan seperti yang disukai orang bule | Foto: Armin Rimoldi via Pexels.com

Mulailah terjadi standarisasi bahwa menguasai bahasa asing berarti pintar dan maju, sedangkan orang yang hanya memahami bahasa daerah ataupun Melayu (bahasa yang ada pada masa itu) dianggap rendah.

Kemerdekaan Indonesia diraih dan penggunaan Bahasa Indonesia semakin digalakkan agar kita bisa bersatu padu dan tidak lagi mudah diadu-domba oleh negeri asing. Namun sayangnya penguasaan bahasa Indonesia ini masihlah belum merata, ditambah lagi pendidikan kita hingga kini masihlah timpang.

Zaman globalisasi, ditambah teknologi yang canggih seperti membuka mata dan pikiran kita semakin luas. Informasi yang didapat semakin banyak, bahkan membuat kita lebih mudah belajar bahasa asing. 

Sekolah-sekolah bertaraf internasional pun bertebaran di mana-mana, namun sekali lagi, sayangnya belum merata ke seluruh Indonesia, terutama dalam segi kualitas.

Perlu kita sadari bahwa Indonesia merupakan negara yang masih berkembang. Kita memiliki ragam bahasa yang berbeda-beda, dengan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Alangkah sayangnya apabila Bahasa Indonesia malah ditinggalkan, karena dianggap tidak pintar dan maju kalau menguasai bahasa tersebut.

Yang merasa sudah masuk dalam kata standar kecerdasan dengan menguasai bahasa asing, malah terus meroket dengan teknologinya, tanpa menyadari bahwa ada orang Indonesia didaerah lain yang bisa jadi belum memahami bahasa asing. 

Misalkan saja seperti pemilihan istilah social distancing pada awal Covid-19 masuk ke Indonesia. Memang secara internasional istilah tersebut bisa dipahami, bagi orang yang memahami bahasa asing pastinya mengerti istilah tersebut. 

Namun, bagi orang yang belum menerima pendidikan Bahasa Inggris atau mungkin baru mulai mempelajarinya, bukankah mereka bingung, "apa itu social distancing?". 

Kemudian beredarlah foto dan video banyak orang yang tidak menjaga jarak sama sekali di sosial media. Penilaian, kecaman, dan penghakiman dari warganet yang melihat, tanpa memahami terlebih dahulu apakah mereka memahami kebijakan pemerintah atau tidak, terus dilontarkan, misalnya dengan menulis komentar, "Oh, Gosh! Kenapa mereka don't want to matuhi kebijakan government sih, dasar warga +62", akhirnya terjadilah kesenjangan pemahaman bahasa.

Yang dihakimi merasa tidak salah karena tidak memahami, yang menghakimi merasa aneh terhadap perilaku orang yang tidak menaati peraturan.

Bila penggunaan dan pemahaman bahasa terus mengalami kesenjangan, tidak menutup kemungkinan antar orang Indonesia akan saling tidak mengerti satu sama lain. Bahkan anggapan pintar dan bodoh akan semakin kentara, memperlebar jurang simpati dan empati antar orang Indonesia secara sosial dan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun