Namun bagi orang yang masih memiliki standar kecantikan yang lama, bukan berarti orang tersebut tidak berwawasan, karena di sana ada latar belakang sejarah dan budaya yang mengiringi standar tersebut.Â
Penjelasan dari literatur tersebut membuka pikiran saya bahwa informasi, pada masa globalisasi ini, yang dengan mudah kita dapatkan dari luar negeri, atau mungkin bisa saja kita berteman dengan orang Barat, atau bisa juga kita pernah tinggal di sana dalam beberapa waktu, kalau tidak kita pahami dulu dengan melihat sejarah dan budayanya pada masing-masing negara, kita akan terjebak untuk mengikuti standar negara lain yang terlihat lebih maju dan kekinian.Â
Padahal bisa jadi standar negara luar, tidak sama dengan budaya dan nilai-nilai negeri kita. Kampanye untuk mencintai diri sendiri, dengan bangga dengan kulit wanita Indonesia yang cenderung kecokelatan, malah seperti memberikan standar baru bahwa yang cantik dan berwawasan itu kalau bangga dengan kulit kecokelatan seperti orang Barat yang berkulit putih.
Tidak menutup kemungkinan nantinya malah untuk mendapatkan kulit kecokelatan, akhirnya para wanita malah ingin membeli produk-produk dari luar negeri, agar memiliki standar kecantikan yang sama dengan negara luar.
Hmm.. bukankah hal tersebut seperti memanipulasi karakter kita dan malah menghambat potensi diri?
Mungkin akan lebih baik kampanye mencintai dan bangga pada diri sendiri bukanlah membandingkan standar kecantikan kita dengan negara lain, namun meningkatkan literasi, pemahamaan diri sendiri, serta membantu para wanita ini untuk melihat potensi alam negeri kita sebagai produk perawatan diri.
Dengan begitu pengetahuan yang kita dapatkan dari teknologi, dipahami terlebih dahulu, disesuaikan dengan karakter dan potensi kita, beserta lingkungan kita, baru kemudian bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bisa menguasai bahasa asing dengan lancar berarti pintar dan maju, sedangkan banyak orang Indonesia dipelosok sana yang tidak mendapatkan materi pelajarannya.
Menguasai bahasa asing dulunya merupakan sesuatu yang lumrah, terutama saat jalur sutera dibuka. Banyak orang asing, seperti India, Arab, dan China, serta orang Eropa yang datang berdagang di Nusantara.
Penguasaan bahasa asing digunakan untuk bisa bertahan hidup, apalagi saat masa penjajahan berlangsung. Terjadi kesenjangan sosial antara penjajah, bangsawan, saudagar dengan rakyat kecil yang hanya bisa nerimo nasib.Â