The Sky is Falling memang bukanlah buku anak-anak, tapi saya membacanya waktu duduk di kelas VI SD. Bisa dibilang bacaan saya dewasa sebelum waktunya.Â
Ibu saya memperbolehkan membacanya karena saya terpergok membaca novel Malaikat Keadilan yang juga ditulis oleh Sidney Sheldon secara diam-diam.Â
Buku anak-anak yang dibelikan oleh Ibu, hampir-hampir tidak pernah saya sentuh, sementara novel Sidney Sheldon membuat saya begitu manteng membacanya.
Untuk menggali minat membaca saya, akhirnya ibu mengizinkannya, dengan syarat novel-novel yang saya baca harus sudah dibaca oleh ibu terlebih dahulu. Dan selesai saya membacanya, saya mesti menceritakan ulang pada ibu.Â
Kalau ada yang tidak dimengerti, harus ditanyakan pada ibu. Saya terima syaratnya asalkan bisa membaca novelnya, karena menurut saya, novel karya Sidney Sheldon lebih seru dibaca ketimbang buku anak-anak yang sudah dibelikan.Â
Novel The Sky is Falling mengisahkan tentang intrik politik dan dunia jurnalistik. Saya sangat terpukau dengan Dana Evans, tokoh utama dalam novel ini. Cantik, cerdas, gigih dalam mendapatkan karier yang diinginkannya, dan seorang reporter yang mampu memikat pembaca melalui liputan berita dan artikel yang ditulisnya.Â
Saat itu saya ingin sekali menjadi Dana Evans dalam dunia nyata. Meliput berita peperangan, sekaligus menulis berita yang bisa menggugah pikiran dan perasaan pembaca dalam bidang kemanusiaan.Â
Dunia Dalam Berita yang merupakan program berita di TVRI yang tayang pada pukul 19.00 WIB dan 21.00 WIB, menjadi tontonan yang tadinya hanya sekedar kewajiban.Â
Yap, saya dan adik harus menonton berita sedari kecil. Mengerti ataupun tidak mengerti bahasa yang disampaikan oleh pembawa acara berita, kami tetap harus menyimaknya.Â
Semenjak membaca novel tersebut, seluruh berita saya simak, nama negara dan kepala negara yang diliput oleh Dunia Dalam Berita, semuanya bisa saya hafalkan.Â
Ketika Dunia Dalam Berita sudah tidak lagi menjadi tayangan wajib, saya pun jadi rajin membaca koran Suara Pembaruan dan Kompas. Program TV seperti Seputar Indonesia dan Liputan 6 juga seringkali saya tonton, hingga ingat semua nama pembawa acara beritanya.Â
Banyak bahasa berita yang sebenarnya kurang saya pahami saat itu, tapi ibu saya tidak pernah segan untuk menjelaskan dan tidak menyensor apa pun yang saya tanyakan.Â
Beliau selalu menjelaskannya dengan bahasa anak-anak hingga saya bisa memahami apa yang sudah saya baca dan dengar. Hmm... sangat tidak mudah bagi orang tua untuk bisa menyederhanakan bahasa yang rumit menjadi bahasa yang bisa dipahami anak-anak saat itu.
Keinginan untuk menjadi jurnalis peperangan tentunya sangat menggebu dulu. Bidang Ilmu Komunikasi pun saya pilih sebagai jurusan kuliah, namun sayang sekali, kondisi tidak memungkinkan saya untuk merealisasikan cita-cita saya yang terpendam.Â
Walau begitu, dunia jurnalistik masihlah saya simak hingga kini. Menulis di Kompasiana dan belajar menulis merupakan salah satu cara saya merealisasikan keinginan saya menjadi seorang jurnalis yang sempat terkubur. Kualitas tulisan saya tentunya belum memenuhi kriteria jurnalistik, tapi setidaknya cita-cita saya tercapai seperempatnya.Â
Dari perjalanan cita-cita saya yang tidak tergapai, saya belajar dari Ibu saya untuk tidak menyensor apa yang mesti dibaca oleh anak-anak.Â
Sebagai orang tua, ibu saya lebih memilih mempersiapkan dirinya untuk bisa menjelaskan dengan baik supaya kami, anak-anaknya, bisa memahami apa yang kami baca dan dengar.Â
Cerita pembunuhan dalam serial komik Detektif Conan dan Agatha Christie, serta kekurang-ajaran anak dan sikap, maaf, porno dalam komik Crayon Sinchan pun tidak pernah dilarang oleh ibu saya untuk dibaca.Â
Padahal teman-teman saya saat itu dilarang untuk membacanya karena dianggap akan bertindak melenceng dari usia yang seharusnya.Â
Ibu seringkali meminta saya dan adik untuk menceritakan ulang apa yang kami baca dan apa pesan moral yang kami dapatkan. Bimbingan selalu kami dapatkan ketika membaca buku "terlarang" yang tidak sesuai dengan usia.Â
Setelah saya dewasa, ibu baru mengaku bahwa dirinya selalu lebih dulu membaca apapun yang akan kami baca.Â
Setelah itu, beliau akan memikirkan cara menjelaskannya kepada kami, andai tidak menemukan bahasa yang tepat, beliau akan berdiskusi pada ayah atau orang yang dianggap memahami bahasa anak. Baru setelah itu, buku bacaan akan diberikan kepada kami untuk dibaca.
Andaikata buku bacaan tersebut terlalu dewasa untuk usia kami, dan Ibu tidak menemukan bahasa yang tepat untuk menjelaskannya, beliau hanya akan memberikan sinopsis ceritanya. Dan kami baru diizinkan membacanya kalau usia kami sudah dianggap pantas untuk membacanya.
Tidak selamanya buku yang dianggap tidak sesuai usia anak-anak berakibat buruk, asalkan orang tua selalu siap membimbing anak-anaknya agar imajinasi mereka tidak terlalu melenceng dan malah meniru adegan yang tidak pantas dalam buku.Â
Dengan bimbingan dan persiapan diri dari orang tua, daya imajinasi anak lebih berkembangan, membangkitkan rasa penasaran mereka ke arah yang positif, dan bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Dari buku The Sky is Falling dan bimbingan Ibu, saya ingin menerapkan pada anak-anak saya kelak. Agar mereka bisa mengeksplor daya imajinasi dan wawasan mereka tentang dunia, serta memahami bagaimana mereka bersikap ketika menjalani hidup.Â
Sedini mungkin, saya belajar dan membaca lebih banyak, dan berlatih untuk menyederhanakan bahasa dewasa ke bahasa anak-anak, supaya anak-anak saya nantinya bisa memahami apa yang tertulis dalam buku yang dibacanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI