Sampai akhirnya saya mengusir ayah ketika ingin bertemu dengan saya. Ibu pun menegur saya dengan keras untuk tidak kurang ajar terhadap ayah. Saya merasa saat itu ibu terlalu banyak menutupi kebenaran.
Sampai suatu hari ada seorang teman ibu yang datang dan mengajak saya mengobrol. Beliau minta saya duduk, dan menceritakan bahwa saya tidak boleh menilai dari satu sisi saja, tidak ada asap kalau tidak ada api.
Beliau pun menceritakan duduk perkara permasalahan keluarga kami sebagai orang netral, sama sekali tidak menjelek-jelekkan ayah ataupun ibu.
Dari sana saya baru memahami, ya urusan perceraian itu urusan ayah dan ibu, toh yang penting mereka sebenarnya masih sayang sama kami.
Kedua orangtua saya pun tidak pernah yang namanya menjelekkan satu sama lain. Bahkan ayah pernah berpesan pada saya untuk menjaga ibu. Butuh proses berbulan-bulan supaya saya bisa menghilangkan rasa benci terhadap ayah.
Menyadari hal itu, saya pun ingin meminta maaf pada ayah, tapi terlambat, dihari saya ingin mengunjunginya, keluarga dari pihak ayah menelepon kalau ayah sudah meninggal karena serangan jantung.
Dari sana saya seringkali berandai-andai, andai waktu bisa diputar lagi, andai saya dulu tidak mudah terpengaruh pada perkataan orang lain, andai saya memberanikan diri bertanya pada ayah atau ibu, andai saya dulu bisa paham maksud ayah, dan banyak pengandaian lainnya yang tidak mungkin bisa menghidupkan ayah saya lagi.
***
Berbeda lagi dengan kisah yang diceritakan oleh seorang teman.Â
Kedua orangtuanya masih utuh, dan mereka sering berpergian bersama. Awalnya ada perasaan iri yang muncul karena teman saya memiliki orang tua yang tinggal seatap.
Namun ada yang aneh, sikap teman saya terhadap pacarnya dulu sangat berlebihan, seperti takut kehilangan. Padahal teman saya itu cantik dan pintar, banyak sekali pria yang mengantri untuk mendapatkannya. Namun ia malah lebih memilih bunuh diri dibandingkan harus kehilangan pacarnya. Hal yang aneh bukan?Â