Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bukan Perceraian Orangtua yang Membuat Anak Terganggu Psikologinya

16 Juli 2020   12:16 Diperbarui: 16 Juli 2020   14:57 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak yang bersedih hati akibat perceraian orang tua | Foto : Shutterstock via kompas.com

Bagi Anda yang berpasangan, dan ragu untuk bercerai karena takut psikologi anak terganggu, percayalah bukan perceraian yang membuat anak tersebut bersedih hati, melainkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan sang anak.

Saya menulis ini karena banyak membaca bahwa perceraian lah yang membuat anak merasa sedih dan ditinggalkan. Padahal faktanya tidak seperti itu juga.

Sebagai hasil dari keluarga broken home dan memiliki beberapa teman yang berasal dari keluarga broken home juga, saya akan berbagi tentang perasaan seorang anak terhadap perceraian orang tua.

***

Perceraian orang tua sebenarnya tidak terlalu berdampak signifikan terhadap saya. Baru setelah banyak pertanyaan tentang perasaan saya setelah orang tua berpisah, atau ada orang yang tahu-tahu bilang, "kasihan ya kamu, kecil-kecil orang tua sudah bercerai", barulah dari sana saya memahami ada yang salah dalam hidup saya yang saat itu baru duduk di sekolah dasar.

Ayah dan ibu saya sama sekali tidak pernah bertengkar didepan kami, anak-anaknya. Bahkan ketika sudah berpisah pun, mereka tidak pernah menjelekkan satu sama lain, hidup kami berjalan normal semuanya, kecuali ayah dan ibu sudah tidak serumah lagi. Saya dan adik bisa menghubungi orang tua kami kapanpun kami mau.

Kami sama sekali tidak merasa ayah dan ibu kami berpisah, baru setelah ada omongan dari keluarga masing-masing tentang sikap ayah yang buruk ataupun ibu yang buruk, barulah di sana kami merasa ada masalah di keluarga kami. 

Belum lagi terkadang lingkungan sekitar, terutama ibu-ibu, suka bertanya tentang perasaan kami. Mungkin mereka bermaksud baik supaya kami bisa mengeluarkan kesedihan kami, namun yang terjadi adalah kami yang dari awalnya merasa baik-baik saja, jadi tidak baik-baik saja karena merasa ada yang tidak beres dengan keluarga kami.

Saya sendiri tidak banyak bertanya pada ayah ataupun ibu, saya hanya memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi saja dikeluarga kami.

Tapi ya itu salahnya, saya sama sekali tidak bertanya ataupun mempertegas keadaan, akhirnya saya bermuram durja sendiri menelan informasi yang diberikan orang lain tanpa mengecek faktanya bagaimana.

Perasaan benci terhadap ayah pun tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur dan informasi yang saya dapatkan dari orang-orang sekitar.

Sampai akhirnya saya mengusir ayah ketika ingin bertemu dengan saya. Ibu pun menegur saya dengan keras untuk tidak kurang ajar terhadap ayah. Saya merasa saat itu ibu terlalu banyak menutupi kebenaran.

Sampai suatu hari ada seorang teman ibu yang datang dan mengajak saya mengobrol. Beliau minta saya duduk, dan menceritakan bahwa saya tidak boleh menilai dari satu sisi saja, tidak ada asap kalau tidak ada api.

Beliau pun menceritakan duduk perkara permasalahan keluarga kami sebagai orang netral, sama sekali tidak menjelek-jelekkan ayah ataupun ibu.

Dari sana saya baru memahami, ya urusan perceraian itu urusan ayah dan ibu, toh yang penting mereka sebenarnya masih sayang sama kami.

Kedua orangtua saya pun tidak pernah yang namanya menjelekkan satu sama lain. Bahkan ayah pernah berpesan pada saya untuk menjaga ibu. Butuh proses berbulan-bulan supaya saya bisa menghilangkan rasa benci terhadap ayah.

Menyadari hal itu, saya pun ingin meminta maaf pada ayah, tapi terlambat, dihari saya ingin mengunjunginya, keluarga dari pihak ayah menelepon kalau ayah sudah meninggal karena serangan jantung.

Dari sana saya seringkali berandai-andai, andai waktu bisa diputar lagi, andai saya dulu tidak mudah terpengaruh pada perkataan orang lain, andai saya memberanikan diri bertanya pada ayah atau ibu, andai saya dulu bisa paham maksud ayah, dan banyak pengandaian lainnya yang tidak mungkin bisa menghidupkan ayah saya lagi.

***

Berbeda lagi dengan kisah yang diceritakan oleh seorang teman. 

Kedua orangtuanya masih utuh, dan mereka sering berpergian bersama. Awalnya ada perasaan iri yang muncul karena teman saya memiliki orang tua yang tinggal seatap.

Namun ada yang aneh, sikap teman saya terhadap pacarnya dulu sangat berlebihan, seperti takut kehilangan. Padahal teman saya itu cantik dan pintar, banyak sekali pria yang mengantri untuk mendapatkannya. Namun ia malah lebih memilih bunuh diri dibandingkan harus kehilangan pacarnya. Hal yang aneh bukan? 

Keluarga lengkap, dan sepertinya bahagia, tapi kok seperti tidak punya rasa percaya diri, hingga menggantungkan hidupnya pada orang lain?

Ngobrol punya ngobrol, ternyata ia merasa tidak diperhatikan oleh keluarganya. Kedua orangtuanya sibuk bertengkar kalau sudah di rumah. Kalau sudah bertengkar, anak-anak pun harus ngibrit pergi ke kamar masing-masing.

Andai jalan bareng pun sebenarnya batin teman saya merasa tersiksa karena orang tuanya sibuk dengan dunianya masing-masing, ayah sibuk dengan pekerjaannya melalui telepon (dulu belum ada smartphone), ibunya sibuk dengan adiknya yang paling kecil.

Entah mengapa disana saya merasa lebih beruntung, saya tidak perlu menyaksikan ayah dan ibu bertengkar, dan tidak perlu pura-pura semua keadaan baik-baik saja, karena saya merasa semuanya baik-baik saja kalau tidak ada orang yang mengasihani, kebanyakan bertanya ataupun memberikan informasi yang tidak perlu.

***

Maksud saya disini, bukan menganjurkan Anda sebagai orang tua, kalau ingin bercerai ya bercerai saja. Akan tetapi memberikan gambaran bahwa bukan perceraian yang membuat anak itu bersedih hati atau terganggu psikologinya, akan tetapi apa yang dirasakan, dilihat dan didengar oleh sang anak yang membuat dirinya bersedih.

Pemicu kesedihan sang anak sebenarnya berakar pada orang tua yang bertengkar didepan anak, orang tua yang saling menjelekkan satu sama lain, misal "mama kamu tuh ...", atau "papa kamu tuh...", bahkan bisa juga orang tua yang melampiaskan kemarahan dan kesedihannya terhadap si anak, misal memukulnya kalau sang anak banyak bertanya, menangis didepan si anak, dan sebagainya.

Jadi percuma saja kalau Anda mempertahankan rumah tangga, tapi tidak bisa mengendalikan emosi didepan sang buah hati.

Belum lagi, adanya anggota keluarga besar, sahabat ataupun orang sekitar yang bermaksud hati melindungi perasaan sang anak, tapi dengan caranya sendiri, seperti menjelekkan salah satu orang tuanya, bertanya tentang perasaan si anak, mengatakan anak kasihan, dan berandai-andai kalau sang orang tua kembali bersatu. Maksud baik tersebut, pada akhirnya malah mengarahkan anak masuk pada lubang kesedihan.

Beruntung saya dikelilingi orang-orang dewasa yang bijaksana, mereka membuat saya lepas dari kubang kebencian, menyalahkan diri sendiri, situasi dan orang tua.

Orang-orang dewasa ini adalah dua teman ibu saya dan teman saya yang terpaut jauh usianya dengan saya. 

Satu teman ibu menjelaskan duduk perkara karena saya dianggap sudah bisa memahami situasi. Teman ibu lainnya memberikan kehangatan pada saya, yakni menanyakan keseharian saya, kegiatan yang saya suka apa saja, dan hal-hal yang berkenaan dengan diri saya lainnya, tanpa menghakimi ataupun menjelekkan kedua orang tua saya. Beliau pun selalu menyemangati saya untuk terus menimba ilmu dengan benar, supaya bisa membantu orang tua.

Teman saya mengajari saya hal yang berbeda, yakni sebelum saya menilai segala hal, saya harus membayangkan diri berada pada posisi orang ataupun situasi yang akan saya nilai. Saya diajarkan untuk tidak mudah menghakimi dan bersikap objektif ketika ada orang yang menjelek-jelekkan orang lainnya.

Jadi, akan ada baiknya, Anda, orang tua lebih bisa mengontrol emosi didepan anak, dan sebisa mungkin tidak melibatkan keluarga besar ketika terjadi pertengkaran, karena bisa jadi anggota keluarga ikut andil dalam mengaduk-aduk emosi sang anak. 

Dekatkanlah diri dengan anak, sehingga mereka paham dengan kasih sayang Anda, jadi ketika ada tetangga ataupun teman yang bermaksud baik, tapi malah memberikan pengaruh yang kurang baik pada pikiran dan perasaan anak, sang anak tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu yang beredar. Mereka akan tetap merasa hubungan kedua orangtuanya baik-baik saja.

Percayakan emosi hati Anda dengan orang yang sudah berpengalaman pada situasi Anda, bijaksana dan solutif, karena mereka bisa membantu Anda dalam mengurai dan menghadapi permasalahan.

Orang yang lebih tua, teman dekat ataupun tokoh yang kita sukai belum tentu bisa membantu kita karena belum tentu mereka bisa memahami situasi yang sedang Anda hadapi, malah takutnya membuat masalah lebih runyam lagi. 

Menjalani kehidupan pernikahan memang tidak selalu mudah, namun tidak ada salahnya untuk terus belajar dari buku, artikel ataupun orang yang hubungan pernikahannya awet, dengan begitu Anda dan pasangan terus bertumbuh bersama dalam menjaga dan merawat sang buah hati.

Salam :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun