Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Google Mengingatkan Saya untuk Berterima Kasih Juga pada Petani

13 April 2020   09:35 Diperbarui: 14 April 2020   04:38 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini saya membuka laptop dan melihat Google. Ilustrasi Google Doodles-nya sangat menarik, akhirnya saya klik untuk mengetahui penjelasannya. 

Ternyata maknanya adalah Google berterima kasih pada pihak-pihak yang membantu masyararakat di masa pandemi COVID-19 ini, salah satunya adalah petani yang mereka ucapkan banyak terima kasih. 

Karena petani lah yang memberikan supply pada kita agar masih bisa makan setiap harinya. Hal yang kurang saya sadari bahwa petani secara tidak langsung memberikan kontribusi besar agar kebutuhan primer kita masih terpenuhi. 

Hal ini mengingatkan saya terhadap sejarah dan pengalaman saya mengenai kualitas produk pertanian kita.

Saat masa Kerajaan Majapahit sedang mengalami kejayaan, Nusantara, yang kini dinamakan Indonesia dikenal sebagai negara Agraris. Begitu pula saat masa pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam, bidang agraria kembali digalakkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. 

Kadang kalau sedang travelling keluar kota, biasanya ibu saya lebih senang mengajak kami sekeluarga ke pedesaan. 

Di sana pastinya kami memakan nasi, dan ibu selalu bilang kalau dirinya sangat suka beras dari kampung, rasanya lezat dan wangi banget, apalagi kalau ditanak pakai kayu bakar, benar-benar rasanya beda sekali kalau menanak dari rice cooker ataupun kompor. 

Dulu kecil juga, ibu masih punya kompor minyak. Kompor tersebut sama sekali tidak mau dibuang oleh ibu, padahal sudah ada kompor untuk membuat nasi kerak. 

Kata ibu rasanya beda sekali antara nasi kerak yang dibuat di kompor dengan kompor minyak. Karena masih kecil, saya tidak bisa membedakannya, yang penting makan dan rasanya enak. Hehe.

Saat remaja, kebiasaan makan nasi kerak masih dilakukan, namun sudah pakai kompor, karena kompor minyaknya sudah dijual akibat krisis keuangan. 

Saya baru bisa membedakannya ketika ibu membawakan nasi kerak buatan temannya, temannya memasak pakai kayu bakar. Hati saya sempat berkata, "jadul amet masih pakai kayu bakar.", eh, tapi ternyata rasanya memang beda kalau dimasak dengan kompor. 

Usia 18 tahun kira-kira, saya bersekolah di Taiwan, di sana dikenal dengan nasinya yang pulen dan wangi. Suka sih, dan ketika kembali ke Indonesia, saya dibawakan oleh teman ibu lagi nasi kerak yang ditanak dengan kayu bakar.

Hohoho, kalau saya pribadi sih, langsung merasa nasi kampung halaman saya jauh lebih nikmat. Mungkin lidah saya sudah dibiasakan rasa nasi-nya  produk Indonesia.

Sejak itu saya hanya tertarik beras dari dalam negeri saja, harganya lebih murah, dan rasanya, untuk saya pribadi, lebih nikmat. 

***

Saat ingin menjalani diet untuk melangsingkan tubuh, maka saya harus makan sayur. Saya pun berbelanja ke pasar, dan tujuannya membeli brokoli. 

Pedagangnya memberikan saya opsi, "mau brokoli lokal atau impor?", saya betanya enak yang mana, dan dijawab oleh sang pedagang kalau orang lebih banyak membeli yang impor, tapi dirinya lebih suka yang lokal. Saya pun membeli keduanya, dan dimasak terpisah.

Brokoli impor lebih besar bentuknya, jadi kuantitas sayurnya akan terlihat lebih banyak, ketimbang brokoli lokal yang ukurannya lebih kecil. Nah, yang heran rasanya itu beda. Di brokoli lokal lebih ada rasa manisnya dibandingkan yang impor. Sempat berpikir, "apa karena takaran bumbunya beda ya?"

Penasaran, saya kembali membeli kedua jenis brokoli di pasar, dan menumis brokolinya pun saya pakai dengan takaran bumbu yang sama persis semua. 

Eh, ternyata masih beda juga, brokoli lokal memang lebih ada rasa manisnya. Sejak itu saya lebih senang membeli brokoli lokal karena cita rasa lidah saya lebih cocok. 

***

Keluarga saya penggemar durian. Saya tidak terlalu suka sebenarnya, cuman kalau ada yaa paling makan satu. Di supermarket biasanya ada durian montong Thailand, dan keluarga saya sering membeli itu. Tapi mereka seringkali berkata, kalau ada durian lokal lebih nikmat lagi rasanya.

Karena saya tidak terlalu suka durian, saya pikir rasa durian bakal sama saja.

Sampai suatu hari, ibu memesan durian khusus dari Kalimantan, yang dipetik langsung dari kebun. Ketika paketnya datang, ibu langsung membukanya dan mengajak kami makan bersama. Eh, enak banget! Rasanya manis dan pahitnya seimbang. Saya pun lahap sekali memakan durian tersebut.

Beberapa minggu kemudian, ada tetangga yang membawakan durian dari Padang. Astagaa, enak nian durian itu beneran! Tetangga saya memilih duriannya yang tidak terlalu pahit, jadi rasa manis dan pahitnya masih seimbang.

Saya pun menjadi penggemar durian, tapi khusus durian lokal yang rasanya manis pahitnya seimbang. Kalau orang Medan, katanya lebih suka yang durian yang rasanya pahit kan ya?

***

Waktu sedang nonton salah satu channel, saya menonton proses pertanian padi, buah dan sayur-mayur yang dilakukan di Indonesia. Sembari menonton, terkadang pasangan saya menceritakan pengalaman masa kecilnya ketika bertani. 

Lama prosesnya dan ribet, terkadang sudah susah-susah dan lama menunggu masa panen, malah dihargai sangat murah oleh pembelinya. Tapi karena butuh uang, biasanya petani di kampungnya dulu menerimanya saja, demi bisa makan sehari-hari.

Kalau menunggu hasil panen, petani akan kesulitan mendapatkan uang, biasanya para petani ini menawarkan dulu pada orang untuk membelinya agar bisa menge-tag bahan pangan yang sedang ditanamnya, jadi saat panen, pembeli bisa langsung mengambil hasil panen tersebut. Pembelinya sendiri ada yang untuk dikonsumsi sendiri, dan ada juga yang dijual kembali.

Yang kasihan, ada juga petani yang terpaksa utang demi kebutuhan hidup sehari-hari sambil menunggu hasil panen. Jadi kehidupannya seperti gali lubang, tutup lubang. 

Oleh karena itu, jarang sekali ada anak muda yang mau bertani di kampung halaman pasangan saya, mereka memilih untuk merantau ke perkotaan yang bisa menawarkan gaji yang tetap dan kehidupan yang layak.

Dari cerita tersebut, saya teringat pada ocehan almarhum kakek ketika makanan saya tidak habis, "lu jangan buang-buang makanan, lu gak tau apa petani tuh meres keringet supaya bisa hasilin nasi yang bisa lu makan sekarang!".

***

Dari Google Doodles tersebut mengingatkan saya untuk berterima kasih juga pada petani-petani yang berkontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pangan kami yang hidup di perkotaan, dan tidak memiliki lahan untuk memenuhi kebutuhan primer sendiri. 

Saya tidak bermaksud bilang produk impor itu buruk rasanya, karena ketika di negeri orang pun, saya menikmati juga cita rasa makanan mereka. Namun kalau disuruh memilih, maka produk lokal lebih sesuai dengan cita rasa lidah saya, yang sudah dibiasakan sedari kecil. 

Melalui artikel ini, saya mengucapkan banyak terima kasih pada petani Indonesia. Semoga pertanian kita semakin maju :)

Salam sehat. 

Referensi

Li, Abner. 12 April 2020. Google Doodle series will thank coronavirus helpers over the next two weeks [Updated]. Diakses dari 9to5google.com tanggal 13 April 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun