Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Google Mengingatkan Saya untuk Berterima Kasih Juga pada Petani

13 April 2020   09:35 Diperbarui: 14 April 2020   04:38 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena saya tidak terlalu suka durian, saya pikir rasa durian bakal sama saja.

Sampai suatu hari, ibu memesan durian khusus dari Kalimantan, yang dipetik langsung dari kebun. Ketika paketnya datang, ibu langsung membukanya dan mengajak kami makan bersama. Eh, enak banget! Rasanya manis dan pahitnya seimbang. Saya pun lahap sekali memakan durian tersebut.

Beberapa minggu kemudian, ada tetangga yang membawakan durian dari Padang. Astagaa, enak nian durian itu beneran! Tetangga saya memilih duriannya yang tidak terlalu pahit, jadi rasa manis dan pahitnya masih seimbang.

Saya pun menjadi penggemar durian, tapi khusus durian lokal yang rasanya manis pahitnya seimbang. Kalau orang Medan, katanya lebih suka yang durian yang rasanya pahit kan ya?

***

Waktu sedang nonton salah satu channel, saya menonton proses pertanian padi, buah dan sayur-mayur yang dilakukan di Indonesia. Sembari menonton, terkadang pasangan saya menceritakan pengalaman masa kecilnya ketika bertani. 

Lama prosesnya dan ribet, terkadang sudah susah-susah dan lama menunggu masa panen, malah dihargai sangat murah oleh pembelinya. Tapi karena butuh uang, biasanya petani di kampungnya dulu menerimanya saja, demi bisa makan sehari-hari.

Kalau menunggu hasil panen, petani akan kesulitan mendapatkan uang, biasanya para petani ini menawarkan dulu pada orang untuk membelinya agar bisa menge-tag bahan pangan yang sedang ditanamnya, jadi saat panen, pembeli bisa langsung mengambil hasil panen tersebut. Pembelinya sendiri ada yang untuk dikonsumsi sendiri, dan ada juga yang dijual kembali.

Yang kasihan, ada juga petani yang terpaksa utang demi kebutuhan hidup sehari-hari sambil menunggu hasil panen. Jadi kehidupannya seperti gali lubang, tutup lubang. 

Oleh karena itu, jarang sekali ada anak muda yang mau bertani di kampung halaman pasangan saya, mereka memilih untuk merantau ke perkotaan yang bisa menawarkan gaji yang tetap dan kehidupan yang layak.

Dari cerita tersebut, saya teringat pada ocehan almarhum kakek ketika makanan saya tidak habis, "lu jangan buang-buang makanan, lu gak tau apa petani tuh meres keringet supaya bisa hasilin nasi yang bisa lu makan sekarang!".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun