Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kemiskinan Menyedihkan, Mental Miskin Lebih Menyedihkan

25 Oktober 2019   15:30 Diperbarui: 25 Oktober 2019   21:11 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Alphase.co

Tulisan ini terinspirasi dari pesan yang salah masuk mungkin, melalui WhatsApp, ada seorang anak yang memberikan voice note, isinya minta uang untuk makan dan beli mainan.

Saya tidak menggubrisnya, namun dihati bertanya-tanya, "Kok anak sekecil itu bisa berpikir seperti itu? Apakah orangtuanya yang mengajarkan untuk meminta?". 

Dan tiba-tiba teringat pada ucapan seorang kenalan di kantor, "Kalau orang kaya tuh enak, mau apa tinggal keluarin uang, kita lah cape-cape hasilnya segini aja", dan ada juga seorang driver taksi yang mengatakan, "Enak ya orang kaya, ga usah mikirin duit lagi."

Hmm... apakah benar orang kaya tidak susah? Apakah orang kaya benar hidupnya enak sekali?

Dulu, saya akan memiliki simpati, bahkan empati dengan orang-orang yang berkata seperti ini. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya bergaul dengan banyak orang dari yang kurang beruntung sampai yang beruntung sekali, rasa empati saya terhadap kemiskinan masihlah ada. 

Akan tetapi, rasa empati saya terhadap orang yang bermental miskin sama sekali sudah tidak ada.

Waktu itu saya pernah berdiskusi dengan almarhum kakek saya tentang pekerjaan. Dulu saya tipe orang yang pesimis memandang hidup, dan segala nasihat kakek selalu saya sanggah dengan banyak alasan. Kakek pun sebal, dan langsung menghardik saya, "Siapa suruh lu jadi orang susah?!".

Lah, siapa yang mau susah?! Itu perkataan dalam hati saya, yang tidak berani saya lontarkan. Bisa-bisa asbak rokok melayang ke muka saya kalau sampai menyahut. Hehe.. 

Lama setelahnya saya baru memahami apa yang beliau maksudkan.

Bukan kemiskinan yang membuat hidup kita susah, namun mental lah yang bisa menentukan kita bisa sukses atau tidak.

Mental miskin yang mau saya bahas disini tidak berhubungan dengan materi, walau ujung-ujungnya bakal kesana, tapi mental yang membuat kita berjuang mendapatkan apa yang kita inginkan.

Teringat waktu zaman SMA dulu, ketika guru memberikan tugas yang bertumpuk, kami akan dengan senang hati memprotes dan berusaha menggagalkan sang guru memberikan tugas. 

Mungkin kalau Anda menjadi guru kami saat itu, Anda bisa bilang, "Ya Tuhan, balik nak ke perut ibumu, biar otaknya benar dikit."

Kalau ada guru yang bersikeras memberikan kami tugas, kami akan mengerjakan tugasnya, tapi satu kelas jawabannya akan hampir sama semua. Hehe.. sumber jawabannya paling dari satu atau dua orang yang paling pintar saja. 

Dulu saya sangat bangga sekali terhadap hal tersebut, saya tidak paham dan sama sekali tidak mau paham pentingnya ilmu pengetahuan. Apalagi dulu saya sudah bekerja paruh waktu, saya menganggap tanpa sekolah pun, saya sudah mendapatkan pekerjaan. 

Jadi saya sama sekali tidak melihat sekolah itu penting bagi masa depan saya nanti.

Ternyata inilah mental miskin yang saya miliki, saya lebih mendahulukan bersenang-senang, dan sama sekali tidak mau susah untuk mencari jawaban untuk tugas, tidak mau membaca, dan lebih senang dibilang gaul dan seru, ketimbang memikirkan  masa depan saya. Dan ini terbawa pada kinerja saya, saya selalu banyak mengeluh, daripada mengerjakan pekerjaan saya dengan baik. 

Akibatnya, dua tahun saya bekerja saat itu, saya sama sekali tidak mendapat kenaikan gaji. Saya merasa atasan hanya memperalat saya, mau tenaga saya saja, tapi sama sekali tidak mau memberikan gaji yang pantas. 

Saya tidak sadar kalau kontribusi saya ke tempat kerja saya bisa dibilang tidak sesuai dengan ekspetasi beliau. Inilah hal yang ternyata, secara tidak saya sadari, membawa saya ke liang kemiskinan.

Lulus SMA, saya bersekolah ke Taiwan.

Tahun pertama, kebiasaan saya tidak terlalu beda jauh dengan SMA, karena ternyata mau sekolah sebagus apapun, kami tetap memiliki rasa sosial yang tinggi. Paling hanya sebagian kecil saja yang tidak mengeluh dalam mengerjakan tugas, dan tidak mau menyontek sama sekali.

Sampai satu hari, seorang guru memergoki saya menyontek. Biasanya kalau ketahuan, kertas ulangan akan langsung dirobek dan tidak bisa ikut ulangan lagi. 

Tapi di hari itu, beliau malah menghampiri saya dan mengatakan, "Kamu ke sini buat apa kalau kerjaannya cuman nyontek, kasihan papa mama kamu bekerja sekolahin kamu, kalau kamu seperti ini terus nanti kamu mau jadi apa?", kurang lebih seperti itu. 

Tidak enak hati, saya meminta maaf pada beliau. Dan guru tersebut menawarkan ulangan lagi, tapi nilainya maksimal hanya bisa 6. Saya pun menyetujuinya, dibandingkan tidak mendapatkan nilai. 

Saya diberi kesempatan belajar, kemudian ulangan lagi. Saat mengumpulkan kertas, beliau bilang pada saya kalau beliau menyediakan waktu kursus dan berharap saya mau datang.

Teman lain ternyata juga mau ikut, dan akhirnya setiap pulang sekolah, kami akan kursus sampai pukul 21.00.

Dan tentu saja semuanya saya jalani penuh dengan keluhan, termasuk mengatai guru tersebut. Guru tersebut sepertinya tahu saya sebal, setiap hari beliau akan selalu mengincar saya untuk menjawab pertanyaan, belum lagi membandingkan nilai saya dengan siswa-siswa berprestasi depan kelas. Ahh.. bukan main bencinya saya pada guru tersebut.

Akhirnya saya pun mengasihani diri saya sendiri, dan berpikir saya bodoh. Hampir semua siswa disana mengatakan, "Gila, Na, Pak Ou benci banget sama lu.", saya pun terpengaruh. 

Nah, ini mental miskin saya berikutnya, terlalu mudah cepat terpengaruh tanpa melihat satu hal dari berbagai sudut pandang dengan mempertanyakan apa dan kenapa dari sudut pandang lawan, berpikir negatif tentang hal yang terlihat "jahat",serta banyak mengasihani diri sendiri.

Bukan berusaha, saya malah tambah malas belajar. Sampai suatu hari, satu teman saya langsung memarahi saya, "Eh, Na, masa lu dimarahin kayak gitu doang, langsung memble sih! Usaha lah, jangan nyerah duluan. Gue rasa Pak Ou pengen nilai lu bagus dah, makanya sering maki-maki lu."

Hal itu tidak mempan, saya tetap malas belajar dan mengasihani diri sendiri, tapi saya sudah tidak menyontek lagi, karena beberapa kali saya ketahuan dengan guru yang berbeda, dan saya dipermalukan depan kelas.

Sampai suatu hari, teman-teman dekat saya sepakat untuk tidak ada yang mau menemani saya bermain, kecuali saya belajar dulu. Sebal juga saya, tapi mau tidak mau, karena tidak ada teman yang mau saya ajak ngobrol ataupun bermain. Mungkin mereka miris sekali melihat nilai saya selalu buruk, tapi tidak pernah mau belajar. 

Bukan saya tidak mau belajar, tapi saya tidak terbiasa berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus. Belum apa-apa saya merasa kalah duluan, sebelum berjuang, hanya bisa mengagumi teman-teman yang mendapatkan nilai yang bagus. Disinilah mental miskin saya berikutnya.

Saya pun akhirnya belajar dengan begitu giat, apalagi waktu itu sempat uang jajan tidak dikirimkan oleh kakek, karena tahu nilai saya buruk semua. Hiks. Uang jajan akan kembali dikirimkan kalau nilai saya bagus. Saya sebenarnya bisa saja hidup tanpa uang tersebut, karena di sekolah itu saya mendapatkan beasiswa, hanya saja ya tidak bisa membeli kebutuhan lain.

Mau tidak mau saya belajar, belajar dan belajar sampai kepala saya sering panas. Hehe.. Lemah kali, kalau kata orang Medan. 

Akhir semester, saya mendapatkan nilai yang bagus. Pak Ou, si guru killer, memuji saya depan kelas. Begitupula dengan Ibu Lin, guru yang menganggap saya sebagai cucunya, dan herannya, teman-teman saya malah yang lebih senang daripada saya, ketika tahu nilai saya bagus.

Tapi dari sana saya berpikir, yang membuat kita seringkali gagal bukanlah keadaan, tapi mental yang miskin membuat hidup kita sangat menyedihkan.

Mudah mengeluh, lebih mengutamakan kesenangan sesaat, mudah mengasihani diri sendiri, tidak mau susah, selalu berprasangka negatif pada orang lain, tapi tidak intropeksi diri apakah diri sendiri sudah benar atau belum. 

Dengan bermental seperti yang saya sebutkan diatas, tidak akan memberikan kemajuan apapun, kita akan terus merenungi kesuksesan orang lain dan menyalahkan keadaan, tanpa mencoba berusaha. Walau kita merasa sudah usaha, kita tidak tahu orang yang kita lihat sukses itu berjuangnya sudah berapa lama dan seberapa berat, atau sudah berapa banyak ditipu orang lain. 

Dan ini tentu akan berhubungan bagi karier kita, ketika kita bekerja sesuai passion, tapi mental kita tetap saja tidak mau berusaha, berjuang sedikit langsung mengeluh, atasan menegur sedikit langsung menganggap atasan jahat, kemudian iri melihat orang yang lebih sukses dari kita, tapi usaha kita untuk mencapai kesuksesan yang orang tersebut dapatkan sama sekali tidak ada. 

Kesuksesan dan rezeki yang banyak tidak akan kelihatan, bahkan bayang-bayang pun rasanya tidak ada, kecuali kalau kita sedang sangat beruntung.

Jadi sepertinya bagi yang merasa masih bermental miskin, harus mengubah pola pikir dengan cara menonton YouTube yang kontennya tidak sekedar prank, atau hanya minum bubble yang banyak, dandan di salon terburuk, dan sebagainya.

Kemudian banyak membaca tentang kesuksesan tokoh-tokoh yang memulai usahanya dari nol hingga berhasil, dan banyak cara lainnya. Agar mental miskin seperti yang pernah saya alami, tidak membawa kita ke kehidupan yang menyedihkan. 

Dengan begitu kalimat, "Enak ya jadi orang kaya". "Orang kaya meh enak keluar duitnya", atau tiba-tiba meminta pada orang lain, "Bu, minta uang dong buat jajan dan beli mainan", itu akan terhapus, digantikan dengan usaha dan kerja keras layaknya orang-orang yang sudah kaya. 

Dari yang saya perhatikan, para orang kaya ini bisa berhasil bukan karena uangnya jatuh dari langit, tapi dari belajar dan berusaha dengan amat sangat keras, terkadang tidak memiliki waktu untuk istirahat.

Mari bermental baja, tolak mental miskin. Kerja! Kerja! Kerja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun