Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kemiskinan Menyedihkan, Mental Miskin Lebih Menyedihkan

25 Oktober 2019   15:30 Diperbarui: 25 Oktober 2019   21:11 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Alphase.co

Tapi di hari itu, beliau malah menghampiri saya dan mengatakan, "Kamu ke sini buat apa kalau kerjaannya cuman nyontek, kasihan papa mama kamu bekerja sekolahin kamu, kalau kamu seperti ini terus nanti kamu mau jadi apa?", kurang lebih seperti itu. 

Tidak enak hati, saya meminta maaf pada beliau. Dan guru tersebut menawarkan ulangan lagi, tapi nilainya maksimal hanya bisa 6. Saya pun menyetujuinya, dibandingkan tidak mendapatkan nilai. 

Saya diberi kesempatan belajar, kemudian ulangan lagi. Saat mengumpulkan kertas, beliau bilang pada saya kalau beliau menyediakan waktu kursus dan berharap saya mau datang.

Teman lain ternyata juga mau ikut, dan akhirnya setiap pulang sekolah, kami akan kursus sampai pukul 21.00.

Dan tentu saja semuanya saya jalani penuh dengan keluhan, termasuk mengatai guru tersebut. Guru tersebut sepertinya tahu saya sebal, setiap hari beliau akan selalu mengincar saya untuk menjawab pertanyaan, belum lagi membandingkan nilai saya dengan siswa-siswa berprestasi depan kelas. Ahh.. bukan main bencinya saya pada guru tersebut.

Akhirnya saya pun mengasihani diri saya sendiri, dan berpikir saya bodoh. Hampir semua siswa disana mengatakan, "Gila, Na, Pak Ou benci banget sama lu.", saya pun terpengaruh. 

Nah, ini mental miskin saya berikutnya, terlalu mudah cepat terpengaruh tanpa melihat satu hal dari berbagai sudut pandang dengan mempertanyakan apa dan kenapa dari sudut pandang lawan, berpikir negatif tentang hal yang terlihat "jahat",serta banyak mengasihani diri sendiri.

Bukan berusaha, saya malah tambah malas belajar. Sampai suatu hari, satu teman saya langsung memarahi saya, "Eh, Na, masa lu dimarahin kayak gitu doang, langsung memble sih! Usaha lah, jangan nyerah duluan. Gue rasa Pak Ou pengen nilai lu bagus dah, makanya sering maki-maki lu."

Hal itu tidak mempan, saya tetap malas belajar dan mengasihani diri sendiri, tapi saya sudah tidak menyontek lagi, karena beberapa kali saya ketahuan dengan guru yang berbeda, dan saya dipermalukan depan kelas.

Sampai suatu hari, teman-teman dekat saya sepakat untuk tidak ada yang mau menemani saya bermain, kecuali saya belajar dulu. Sebal juga saya, tapi mau tidak mau, karena tidak ada teman yang mau saya ajak ngobrol ataupun bermain. Mungkin mereka miris sekali melihat nilai saya selalu buruk, tapi tidak pernah mau belajar. 

Bukan saya tidak mau belajar, tapi saya tidak terbiasa berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus. Belum apa-apa saya merasa kalah duluan, sebelum berjuang, hanya bisa mengagumi teman-teman yang mendapatkan nilai yang bagus. Disinilah mental miskin saya berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun