Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Pemerintah Lebih Sibuk Menyalahkan Masyarakat Dibanding Mengayomi

25 September 2019   13:28 Diperbarui: 26 September 2019   04:31 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banner bertuliskan Protes mahasiswa terpasang di Depan pagar Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019). Mereka menolak pengesahan RKUHP. (KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)

RUU kontroversial mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa artis pun ikut bersuara menentang adanya RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Aksi mahasiswa kemarin, menurut saya adalah aksi perwakilan masyarakat yang tidak menyetujui adanya pengesahan RKUHP dan sederet RUU yang isinya seperti menutup demokrasi di Indonesia. 

Namun, sangat disayangkan pemerintah tidak menyikapi langkah yang diambil mahasiswa dengan baik, malah menyalahkan pihak lain dengan mengatakan bahwa aksi mahasiswa telah ditunggangi oleh kepentingan politik yang berseberangan. 

Hal ini disebutkan oleh Menkumham, Yasonna Laoly, yang menyatakan bahwa pihaknya mendengar ada yang berupaya menunggangi aksi demonstrasi para mahasiswa. 

Menko Polhukam, Wiranto, juga mengimbau agar mahasiswa memberikan aspirasinya secara lebih etis, yaitu sesuai dengan mekanisme hukum, di mana mahasiswa seharusnya mengirimkan perwakilan dan berbicara dengan institusi yang memang perlu mendengarkan aspirasi masyarakat. 

Padahal langkah yang diambil mahasiswa sebelumnya sudah sesuai dengan prosedur.

19 September 2019
Dilansir dari Tempo.co, para mahasiswa yang diwakili oleh Salman Ibnu Fuad dari Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, Abdul Haqqu selaku Sekjen Institut Transportasi dan Logistik Universitas Trisakti, Dinno Ardiansyah selaku Presiden Mahasiswa Trisakti, Manik Marganamahendra selaku ketua BEM Universitas Indonesia, Belly Stanio dari BEM UPN Veteran Jakarta, Rayyan Abdullah selaku Ketua Kabinet KM ITB, Jamaludin dari BEM Universitas Galuh, Gusman Maulana selaku ketua Poros Revolusi Mahasiswa Bandung dan Muhammad Rifqi Fauzi selaku BEM Nurtanio. 

Ketika keluar dari gedung DPR RI, mereka membawa tiga lembar kertas tulisan tangan yang ditandatangani tanpa materai, di mana isinya merupakan kesepakatan bahwa aspirasi dari masyarakat Indonesia akan direpresentasikan mahasiswa kepada pimpinan DPR RI dan seluruh anggota dewan.

Poin berikutnya, Sekjen DPR RI akan mengundang dan melibatkan seluruh mahasiswa yang hadir dalam audiensi, berikut dengan dosen atau akademisi, serta masyarakat sipil untuk hadir dan berbicara disetiap perancangan UU yang belum disahkan.

Sekjen DPR RI tersebut menjanjikan untuk membuat pertemuan dalam penolakan revisi UU KPK dan RKUHP dengan DPR pada tanggal 24 September 2019. Sekjen juga akan menyampaikan kepada anggota dewan untuk tidak mengesahkan RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Minerba, dan RKUHP dalam kurun waktu 4 hari ke depan. 

Dengan adanya tiga lembar surat yang sudah ditandatangani, sah bahwa Sekjen DPR RI telah memberikan janjinya agar mahasiswa dapat hadir ditemui oleh Pimpinan DPR RI berikut dengan anggota dewan, ditambah dengan dosen/akademisi dan masyarakat sipil, yang membahas tentang RKUHP dan RUU lainnya yang dianggap kontroversial.

23 September 2019
Para mahasiswa hadir kembali ke gedung DPR, dan awalnya diterima oleh Supratman, perwakilan dari Fraksi Gerindra. Mahasiswa pun menolaknya. Mereka ingin diterima di ruangan yang netral dan bukan perwakilan fraksi.

Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya para mahasiswa diterima di ruangan Baleg, dan diterima oleh satu perwakilan Komisi III DPR, yakni Masinton Pasaribu.

Di ruangan tersebut, Supratman meminta para mahasiswa untuk memberikan tuntutan resmi, baru setelah itu para anggota DPR akan follow up.

Birokrasi, itulah penilaian mahasiswa, berikut dengan saya, salah satu orang  yang mengikuti perkembangannya. Kenapa tidak dari awal, Sekjen DPR RI menyebutkan untuk membuat surat tuntutan resmi terlebih dahulu? Setelah ditemui lagi, barulah diminta surat tuntutan resminya.

Ciri khas pemerintah Indonesia yang gemar bekerja secara bertele-tele dan sangat tidak efektif.

24 September 2019
Para mahasiswa dari berbagai universitas sudah datang dari pagi. Tidak ada satupun anggota DPR yang menemui mereka. Padahal tanggal 24 September 2019, merupakan waktu yang dijanjikan oleh Sekjen DPR RI untuk mengadakan audiensi antara mahasiswa, pimpinan DPR RI, beserta anggota dewan, akademisi, dan masyarakat sipil. 

Para mahasiswa sampai harus meminta pihak kepolisian yang berjaga untuk menyampaikan agar Ketua DPR, Bambang Soesatyo menemui mereka.

Ketika keadaan sudah ricuh, Ketua DPR baru mau menemui mereka pukul 16.46 WIB. Namun katanya, Ketua DPR tidak bisa menemui mereka karena adanya kericuhan dan tembakan gas air mata. 

Kalau saja Ketua DPR, menemui para mahasiswa lebih awal, sebelum membuat mahasiswa panas karena merasa tidak dipedulikan aspirasinya, tentu kericuhan dan tembakan gas air mata tidak akan terjadi. 

Keetisan dalam Mengemukakan Pendapat
Dari kronologi di atas, apakah mahasiswa tidak melakukan prosedur yang seharusnya? Prosedur etis yang bagaimana yang mesti dilakukan? Mengapa tidak dari tanggal 19 September 2019 diberitahu dengan jelas, apa saja yang perlu mereka lakukan supaya aspirasinya didengar?

Saat para mahasiswa datang lagi menemui para anggota dewan yang terhormat, mengapa baru diminta surat tuntutan resminya?

Itupun di tanggal 23 September 2019, padahal tanggal 24 September 2019, para mahasiswa yang juga mewakili aspirasi masyarakat yang keberatan, sudah dijanjikan oleh Sekjen DPR RI bahwa akan ada audiensi dengan Pimpinan DPR RI dan anggota dewan, beserta akademisi dan masyarakat sipil?

Lalu mengapa mahasiswa tidak langsung ditemui oleh Pimpinan DPR RI ketika para mahasiswa ini datang, sebelum kericuhan terjadi? Apabila ada launching buku, tidak bisakah diberi penjelasan oleh salah satu perwakilan, bahwa para mahasiswa akan ditemui di jam sekian?

Dengan tidak adanya komunikasi seperti ini, terlihat sekali para anggota dewan lah yang tidak memiliki keetisan dalam menghargai mahasiswa yang mau mengemukakan aspirasinya.

Jalur yang ditempuh oleh para mahasiswa, saya rasa sudah benar. Apabila belum benar, seharusnya orang-orang yang mahasiswa temui tanggal 19 September 2019 memberikan penjelasan yang lengkap bagaimana sebaiknya prosedur yang mesti dilakukan, bukan setelah ditemui lagi, baru diberi penjelasan. Hal ini tentu membuat orang merasa tidak dihargai.

Coba kalau situasinya dibalik, apakah para pejabat ini mau diperlakukan demikian? Padahal gaji saja masih didapat dari hasil jerih payah masyarakat.

Aksi yang Ditunggangi oleh Pihak Lain
Mungkin Menkumham dan Menko Polhukam bisa kembali membaca berita-berita yang telah beredar, berapa banyak orang yang keberatan dengan RKUHP dan RUU yang pasal-pasalnya cukup membuat keder masyarakat yang mengetahuinya.

Tidak semua aksi demonstrasi ada yang menunggangi. Harap dipilah-pilah dengan seksama, mana aksi yang ditunggangi dan mana aksi murni dari protes masyarakat. 

Apabila aksi demonstrasi seperti kemarin tidak mau terjadi, dan mencegah adanya penunggangan dari agenda politik, seharusnya pemerintah sudah mendengarkan aspirasi masyarakat tanpa perlu banyak birokrasi. Sehingga kekhawatiran adanya penunggangan dari agenda politik bisa terhindarkan.

Hal ini sepertinya menjadi tanda merah bagi pemerintah, bahwa beliau-beliau ini tidak peka terhadap situasi yang ada di masyarakat, dan sangat lamban dalam mengantisipasinya.

Ketika demonstrasi sudah terjadi, dan mahasiswa yang hadir menjadi marah karena kelambanan anggota DPR dalam menyikapi aspirasi mereka, kok ya yang disalahkan malah pihak lain. 

Menkumham yang Malah Menyebut Dian Sastro Terlihat Bodoh
Dian Sastro dalam Instagram Story-nya menyebutkan pasal-pasal dalam RKUHP dan RUU yang bisa menggerus kebebasan warga negara dalam berdemokrasi di Indonesia mengajak followers-nya untuk ikut menandatangani petisi "Semua Bisa Kena" di change.org. Saya termasuk salah satu orang yang ikut menandatanganinya.

Menkumham, Yasonna Laoly, menyebutkan bahwa Dian Sastro tidak membaca dulu UU sebelum berkomentar sehingga terlihat bodoh. 

Dian Sastro pun menanggapi dengan mengajak followers-nya membaca lagi isi RKUHP, sembari memuat status, "Lalu kalo memang ada penjelasan lebih lanjut terkait KUHP tersebut, mohon disosialisasikan ke masyarakat dengan lebih baik beserta rujukannya. Sekian dan terima kasih."

Dan saya setuju dengan Dian Sastro.

Tidak hanya para mahasiswa dan Dian Sastro yang merasa keberatan dengan RKUHP dan RUU dengan pasal-pasal yang ngawur, akan tetapi banyak orang dari berbagai lapisan yang merasa keberatan. Melihat hal seperti itu, seharusnya sebagai Menteri Hukum dan HAM, lebih bijaksana dalam memberikan pernyataan.

Ketika kami, masyarakat, tidak paham dengan pasal-pasal yang tertera, seharusnya disosialisasikan dan diberi penjelasan dengan baik dan benar, bukan mengata-ngatai seenaknya dengan menyebut warga negaranya bodoh. 

Seorang menteri Hukum dan HAM mengatai warga negaranya terlihat bodoh, sama saja melanggar kode etik HAM, karena dari kata tersebut memiliki makna pelecehan dan penghinaan terhadap warga negaranya yang memiliki hak untuk memantau kinerja pemerintah, menurut saya. 

Dan saya rasa masyarakat walau mungkin dianggap rendah dan tidak paham urusan negara, tetap saja memiliki hak untuk  tahu dan mendapatkan penjelasan yang baik dan benar mengenai pasal-pasal yang akan disahkan. Karena tentu pasal-pasal tersebut akan menjadi aturan bagi kehidupan kami sehari-hari. 

Jadilah pemerintah yang mengayomi dan menghargai masyarakat, serta mawas diri untuk intropeksi diri. Masyarakat lebih menghargai itu, daripada sibuk menyalahkan pihak sana-sini, yang akhirnya nanti malah membuat semakin panas suasana, karena dianggap pemerintah tidak mau memahami keinginan masyarakat. 

Referensi :

  1. Kumparannews. 23 September 2019. Yasonna : Dian Sastro Tak Baca UU sebelum Komen, Jadi Terlihat Bodoh. Diakses dari Kumparan.com tanggal 25 September 2019. 
  2. Hakim, Rakhmat Nur. 25 September 2019. Menkumham Yasonna Laoly Tuding Aksi Mahasiswa Ditunggangi. Diakses dari Kompas.com tanggal 25 September 2019
  3. Bramasta, Dandy Bayu. 25 September 2019. Menilik Pernyataan Wiranto, dari Anggapan Demo Tak Relevan hingga Ganggu Ketertiban Umum. Diakses dari Kompas.com tanggal 25 September 2019
  4. Prireza, Adam. 19 September 2019. Demo Mahasiswa di DPR Bawa Pulang 3 Lembar Surat, Isinya?. Diakses dari Tempo.co tanggal 25 September 2019
  5. Prabowo, Haris. 23 September 2019. Mahasiswa Dilarang Masuk DPR karena Ada Acara Peluncuran Buku. Diakses dari Tirto.id tanggal 25 September 2019. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun