"Bila kita ingin melihat karakter seseorang, maka berilah ia kekuasaan,"- Abraham Licoln -
Jangankan kekuasaan, terkadang saat seseorang merasa lebih baik dari orang lain, sikap arogansi pasti sudah muncul ke permukaan karakter orang tersebut.
Pernahkah Anda melihat seorang atasan  yang memarahi bawahannya didepan banyak orang karena ketidakbecusan bawahannya dalam mengerjakan pekerjaan?
Pernahkah Anda melihat influencer yang memposting pertanyaan followersnya melalui dm Instagram? Seperti, "Kak, kalau olahraga sambil pakai korset itu benar bisa meluruhkan lemak tidak sih?", pertanyaan tersebut merupakan bukti bahwa followernya mau mengupgrade pengetahuannya, agar tidak termakan mitos ataupun bujukan marketing, yang terkadang membuat orang terlena. Kemudian, influencer tersebut menjawab dengan emoticon tertawa ngakak "mana bisa, yang ada membuat sesak nafas". Jawaban tersebut mungkin betul, tapi ada indikasi arogansi pada postingan tersebut, dimana pertanyaan followernya itu seperti pertanyaan orang bodoh. Padahal di YouTube Channelnya, influencer tersebut selalu bilang dm saja bila ada yang mau ditanyakan.
Pernahkah juga melihat seorang anak yang sudah lulus sarjana membentak orangtuanya yang tidak bergelar sarjana? Padahal anaknya bisa lulus sarjana, karena hasil keringat orang tuanya yang tidak bergelar sarjana.
Atau ada juga seorang Professor yang sering muncul di stasiun TV, gemar mengatakan orang lain dungu ataupun bodoh, apabila tidak bisa menyatakan pendapat sesuai dengan kaidah teori literatur?
Manusia mudah sekali diakses oleh sifat arogansi ketika melihat bahwa disekelilingnya itu berada dibawah levelnya, termasuk saya sendiri sering terjebak dalam sikap arogansi ketika keadaan lingkungan saya sangat mendukung saya bersikap seperti itu.
Ketika sikap arogansi muncul dalam diri kita baik sengaja ataupun tidak sengaja, kita menjadi mudah menghakimi orang lain, dan pada akhirnya membentuk kepribadian kita menjadi orang yang menutup diri pada pengetahuan baru karena menganggap diri sudah baik, mudah mencela orang lain, tidak bisa mengintropeksi diri sendiri, bahkan menjadi pribadi yang sangat egois. Yang lebih parah ketika kita menjadi orang yang kurang berempati terhadap orang lain, dan mudah tergelincir ke bawah akibat kearogansian pada diri kita.
Bagus kalau kita selalu berada diatas angin, kalau tiba-tiba suatu hari jatuh terpuruk dibawah orang yang kita rendahkan, bagaimana? Hal ini tentu akan memalukan sekali bagi kita, dan tidak menutup kemungkinan orang yang pernah kita rendahkan atau orang lainnya akan melakukan perbuatan yang sama seperti saat kita merendahkan orang lain sebelumnya.
Rasa arogansi mudah mengakses dalam diri kita, biasanya dikarenakan kurangnya wawasan terhadap pengalaman. Teori pada akademisi dengan praktik di lapangan sering kali berbeda. Contohnya, teori Anies Basdewan dalam mengatasi banjir di Jakarta. Beliau sepertinya sangat paham mengenai seluk-beluk Jakarta dan apa yang harus dilakukan Jakarta menurut idealisme teori tatanan kota. Namun ketika praktik di lapangan, rentang waktu banjir pada sejumlah daerah, lama surutnya, bahkan genangannya juga tinggi. Pada saat musim hujan waktu lalu, bentuk Jakarta sudah seperti kolam.Â
Teori yang kita pelajari dalam sekolah ataupun kuliah adalah keadaan yang dibuat seteratur mungkin atau kondisinya ideal. Berbeda ketika di lapangan, banyak faktor psikologi, geografis, dan sosiologi yang terkandung di dalamnya Teori yang kita pelajari hanyalah sebagai pengetahuan dan arahan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan saat praktek adalah pintar-pintarnya kita mengatasi semua faktor yang ada.
Penyebab rasa arogansi berikutnya adalah terlalu banyak pujian pada diri kita oleh orang sekitar. Sebagai manusia, tentu kita sangat senang pada pujian. Namun jangan menjadikan pujian itu sebagai pedoman bahwa kita sudah baik, karena ketika kita keluar dari lingkungan sekitar kita, bisa jadi kita belum ada seujung kukunya dengan orang yang berada di luar lingkungan kita. Apalagi dunia itu sangat luas sekali, dan terdiri dari ratusan milyar orang, dengan pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungannya.
Ini saya rasakan ketika saya bersekolah tingkat SMP di Tangerang, saya adalah salah satu lulusan SD Unggulan di Jakarta. Karena SMP tersebut bukanlah sekolah  unggulan, tentu tingkat pelajaran dan pengetahuannya berbeda. Saya termasuk anak yang pintar tanpa harus belajar, karena semua pengetahuan yang diajarkan di SMP, sudah saya dapat sewaktu SD. Saya selalu mendapatkan pujian dan perlakuan khusus dari guru dan teman-teman. Harga diri saya hancur, ketika saya bersekolah di Taiwan, saya bertemu dengan banyak orang yang pintar dari berbagai sekolah unggulan. Dari yang sudah masuk ranking 5 besar tanpa belajar, langsung turun ke ranking 500-an. Disitulah rasa arogansi saya hancur lebur seperti debu yang tidak terlihat lagi.
Terlalu kurang pujian, juga bisa menyebabkan kita menjadi orang yang arogan, karena kita akan secara tidak sadar senang membicarakan keunggulan diri sendiri agar diakui eksistensinya oleh orang lain. Padahal bisa jadi, di mata orang lain, kita biasa saja, karena terlalu sering mengunggulkan diri sendiri, hal ini tertanam pada mindset bahwa kita sudah melakukan hal yang the best, dan keinginan untuk mengasah diri lebih baik menjadi rendah.
Ini saya perhatikan dari beberapa dosen dan teman orang tua saya, yang bisa dikatakan biasa saja prestasinya. Karena tidak ada pujian sama sekali, mereka sering mengungguli diri sendiri, bahkan tidak segan untuk membandingkan diri dengan orang lain, agar terlihat dirinya lebih baik dari orang lain. Contohnya seperti perkataan dosen di suatu kelas, "Saya ini sangat sistematis ketika mengajar, tidak seperti Pak Johnson (namanya saya samarkan) yang terlalu general bahasannya ketika mengajar". Pada kenyataannya, saya dan teman-teman mahasiswa lainnya saat itu, lebih mengerti apa yang Pak Johnson ajarkan dari pada dosen saya yang menyebut dirinya sistematis dalam mengajar.Â
Kurang luasnya pergaulan juga mempengaruhi kearogansian kita. Apabila kita hanya berteman lingkup itu-itu saja, maka wawasan dan pengalaman kita tidak akan pernah berkembang, kita akan selalu seperti katak dalam tempurung. Walaupun teman kita jumlahnya banyak, tetapi lingkup itu lagi dan itu lagi, dan memiliki cara berpikir yang kurang lebih sama seperti lingkungan yang biasa kita hadapi, maka tetap saja perkembangan wawasan dan pengalaman kita hanya akan berputar di area itu juga.
Ketika itu, saya memiliki sangat banyak teman di Tangerang, tapi lingkupnya, ya itu-itu saja, dengan tingkat pendidikan yang sama, level lingkungan yang sama. Sangat berbeda, ketika saya bersekolah di Taiwan dan masuk dunia kampus di Jakarta, teman saya jauh lebih sedikit, tapi sangat beragam karakter, tingkat wawasan dan level lingkungannya. Sulit bagi kami bersikap arogan, karena semuanya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki satu sama lain.
Kemudian, stucknya pengetahuan kita akan ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia, menjadi salah satu alasan kita bersikap arogan. Kita hanya tahu secuil dari pengetahuan orang lain, untuk menutupi kekurangannya, secara tidak sadar kita akan bersikap arogan terhadap orang lain. Rasa tidak mau belajar lebih lagi, juga menjadi faktor dari stucknya pengetahuan kita.
Apalagi semakin kesini, minat membaca semakin berkurang jumlahnya. Isi bacaan adalah jendela dunia, karena isinya banyak sekali hal yang bisa kita petik hikmahnya ataupun pelajari. Dalam sebuah penelitian juga disebutkan, ketika seseorang gemar membaca, maka kreativitas dan nalar pun jauh lebih berkembang.
Saya sempat membandingkan panjangnya artikel di New York Times dengan artikel di media online Indonesia. Panjang artikel di New York Times, jauh lebih panjang. Biasanya artikel yang disajikan pada website disesuaikan dengan minat pembaca, agar website tersebut terus dicari orang untuk dibaca. Nah, dengan perbandingan panjangnya artikel, artikel pada website Indonesia cenderung lebih pendek, agar lebih mudah dibaca. Bahkan saya pernah mencari artikel cara agar artikel mudah menarik pembaca, salah satu caranya adalah artikel dibuat singkat, ringkas dan padat saja. Dengan minat membaca yang kurang mengindikasikan bahwa minat untuk mendapatkan pengetahuan lebih ataupun belajar lagi juga kurang. Ini bisa memudahkan kita untuk bersikap arogan.
Selain itu, adanya figur yang mencontohkan sikap arogansi di depan kita, dan hal tersebut terekam dan tertanam dalam diri kita, sehingga bisa jadi kita menilai bahwa sikap arogansi itu adalah sikap yang benar dan bagus.Â
Dulu ada atasan saya yang senang memarahi karyawan didepan kami semua, apabila melakukan kesalahan, sekecil apapun. Karena melihat hal tersebut, saya dan beberapa teman lainnya jadi sangat berhati-hati mengerjakan jobdesk agar tidak kena semprot di depan orang banyak.  Ketika atasan saya dikeluarkan oleh pimpinan karena terlalu kejam terhadap karyawan, saya baru tahu riwayat mantan atasan saya itu. Beliau bekerja di suatu bank besar di Indonesia, yang dimana atasan beliau terkenal gemar memarahi karyawannya bila dianggap tidak becus bekerja.Â
Dengan adanya penyebab-penyebab itulah kearogansian, sangat mudah mengakses diri kita, karena kita gampang berpuas diri, apalagi ditambah lingkungan sekitar yang sangat mendukung sikap tersebut muncul.
Bila sikap arogansi kita sudah mengakses diri kita, sebaiknya menenangkan diri terlebih dahulu, kemudian tanamkanlah pikiran bahwa roda nasib selalu berputar, kita tidak pernah bisa selalu diatas, pengetahuan dan karakter manusia selalu berkembang, dan kita harus lebih mawas diri agar tidak cepat tergelincir karena cepatnya perkembangan di dunia ini.
Jangan biarkan kearogansian mudah mengakses diri kita.
Salam Hangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H