Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudahnya Akses Kearogansian Masuk dalam Diri Kita

17 Juni 2019   13:08 Diperbarui: 17 Juni 2019   23:55 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Arogansi | Sumber : Kisahhikmah.com

Rasa arogansi mudah mengakses dalam diri kita, biasanya dikarenakan kurangnya wawasan terhadap pengalaman. Teori pada akademisi dengan praktik di lapangan sering kali berbeda. Contohnya, teori Anies Basdewan dalam mengatasi banjir di Jakarta. Beliau sepertinya sangat paham mengenai seluk-beluk Jakarta dan apa yang harus dilakukan Jakarta menurut idealisme teori tatanan kota. Namun ketika praktik di lapangan, rentang waktu banjir pada sejumlah daerah, lama surutnya, bahkan genangannya juga tinggi. Pada saat musim hujan waktu lalu, bentuk Jakarta sudah seperti kolam. 

Teori yang kita pelajari dalam sekolah ataupun kuliah adalah keadaan yang dibuat seteratur mungkin atau kondisinya ideal. Berbeda ketika di lapangan, banyak faktor psikologi, geografis, dan sosiologi yang terkandung di dalamnya Teori yang kita pelajari hanyalah sebagai pengetahuan dan arahan mengenai apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan saat praktek adalah pintar-pintarnya kita mengatasi semua faktor yang ada.

Penyebab rasa arogansi berikutnya adalah terlalu banyak pujian pada diri kita oleh orang sekitar. Sebagai manusia, tentu kita sangat senang pada pujian. Namun jangan menjadikan pujian itu sebagai pedoman bahwa kita sudah baik, karena ketika kita keluar dari lingkungan sekitar kita, bisa jadi kita belum ada seujung kukunya dengan orang yang berada di luar lingkungan kita. Apalagi dunia itu sangat luas sekali, dan terdiri dari ratusan milyar orang, dengan pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungannya.

Ini saya rasakan ketika saya bersekolah tingkat SMP di Tangerang, saya adalah salah satu lulusan SD Unggulan di Jakarta. Karena SMP tersebut bukanlah sekolah  unggulan, tentu tingkat pelajaran dan pengetahuannya berbeda. Saya termasuk anak yang pintar tanpa harus belajar, karena semua pengetahuan yang diajarkan di SMP, sudah saya dapat sewaktu SD. Saya selalu mendapatkan pujian dan perlakuan khusus dari guru dan teman-teman. Harga diri saya hancur, ketika saya bersekolah di Taiwan, saya bertemu dengan banyak orang yang pintar dari berbagai sekolah unggulan. Dari yang sudah masuk ranking 5 besar tanpa belajar, langsung turun ke ranking 500-an. Disitulah rasa arogansi saya hancur lebur seperti debu yang tidak terlihat lagi.

Terlalu kurang pujian, juga bisa menyebabkan kita menjadi orang yang arogan, karena kita akan secara tidak sadar senang membicarakan keunggulan diri sendiri agar diakui eksistensinya oleh orang lain. Padahal bisa jadi, di mata orang lain, kita biasa saja, karena terlalu sering mengunggulkan diri sendiri, hal ini tertanam pada mindset bahwa kita sudah melakukan hal yang the best, dan keinginan untuk mengasah diri lebih baik menjadi rendah.

Ini saya perhatikan dari beberapa dosen dan teman orang tua saya, yang bisa dikatakan biasa saja prestasinya. Karena tidak ada pujian sama sekali, mereka sering mengungguli diri sendiri, bahkan tidak segan untuk membandingkan diri dengan orang lain, agar terlihat dirinya lebih baik dari orang lain. Contohnya seperti perkataan dosen di suatu kelas, "Saya ini sangat sistematis ketika mengajar, tidak seperti Pak Johnson (namanya saya samarkan) yang terlalu general bahasannya ketika mengajar". Pada kenyataannya, saya dan teman-teman mahasiswa lainnya saat itu, lebih mengerti apa yang Pak Johnson ajarkan dari pada dosen saya yang menyebut dirinya sistematis dalam mengajar. 

Kurang luasnya pergaulan juga mempengaruhi kearogansian kita. Apabila kita hanya berteman lingkup itu-itu saja, maka wawasan dan pengalaman kita tidak akan pernah berkembang, kita akan selalu seperti katak dalam tempurung. Walaupun teman kita jumlahnya banyak, tetapi lingkup itu lagi dan itu lagi, dan memiliki cara berpikir yang kurang lebih sama seperti lingkungan yang biasa kita hadapi, maka tetap saja perkembangan wawasan dan pengalaman kita hanya akan berputar di area itu juga.

Ketika itu, saya memiliki sangat banyak teman di Tangerang, tapi lingkupnya, ya itu-itu saja, dengan tingkat pendidikan yang sama, level lingkungan yang sama. Sangat berbeda, ketika saya bersekolah di Taiwan dan masuk dunia kampus di Jakarta, teman saya jauh lebih sedikit, tapi sangat beragam karakter, tingkat wawasan dan level lingkungannya. Sulit bagi kami bersikap arogan, karena semuanya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki satu sama lain.

Kemudian, stucknya pengetahuan kita akan ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia, menjadi salah satu alasan kita bersikap arogan. Kita hanya tahu secuil dari pengetahuan orang lain, untuk menutupi kekurangannya, secara tidak sadar kita akan bersikap arogan terhadap orang lain. Rasa tidak mau belajar lebih lagi, juga menjadi faktor dari stucknya pengetahuan kita.

Apalagi semakin kesini, minat membaca semakin berkurang jumlahnya. Isi bacaan adalah jendela dunia, karena isinya banyak sekali hal yang bisa kita petik hikmahnya ataupun pelajari. Dalam sebuah penelitian juga disebutkan, ketika seseorang gemar membaca, maka kreativitas dan nalar pun jauh lebih berkembang.

Saya sempat membandingkan panjangnya artikel di New York Times dengan artikel di media online Indonesia. Panjang artikel di New York Times, jauh lebih panjang. Biasanya artikel yang disajikan pada website disesuaikan dengan minat pembaca, agar website tersebut terus dicari orang untuk dibaca. Nah, dengan perbandingan panjangnya artikel, artikel pada website Indonesia cenderung lebih pendek, agar lebih mudah dibaca. Bahkan saya pernah mencari artikel cara agar artikel mudah menarik pembaca, salah satu caranya adalah artikel dibuat singkat, ringkas dan padat saja. Dengan minat membaca yang kurang mengindikasikan bahwa minat untuk mendapatkan pengetahuan lebih ataupun belajar lagi juga kurang. Ini bisa memudahkan kita untuk bersikap arogan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun