Mohon tunggu...
Namila Jihan
Namila Jihan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki hobi menulis, mendengarkan musik, travelling

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Diskriminasi Penderita TBC: Faktor Tersembunyi di Balik Lonjakan Kasus Positif

24 Desember 2024   23:25 Diperbarui: 24 Desember 2024   23:25 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Anak Menyendiri Karena Merasa Tersingkirkan (Sumber: Key Ministry)

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan kesehatan global, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit menular. Menurut laporan Global Tuberculosis Report 2021 oleh World Health Organization (WHO), Indonesia berada di peringkat kedua dunia dalam jumlah kasus TBC. Data dari National Tuberculosis Control Program (NTP) 2021 memperkirakan terdapat 824.000 kasus TB di Indonesia, dengan angka kematian mencapai 15.186 jiwa. Namun, hanya sekitar 443.235 kasus yang terdeteksi dan diobati, menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam penanganan penyakit ini. Angka ini menjadi bukti bahwa upaya pengendalian penyakit ini masih menghadapi berbagai hambatan, termasuk stigma dan diskriminasi terhadap penderita TBC.

Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bekerja sama dengan Liverpool School of Tropical Medicine, UK, mengungkap bahwa stigma terhadap penderita TB meningkatkan risiko depresi dan menurunkan kualitas hidup mereka. Studi ini menemukan bahwa lebih dari setengah responden mengalami stigma sedang, terutama terkait dengan perasaan bersalah karena penyakit yang mereka derita. Selain itu, 42% partisipan menunjukkan gejala depresi yang signifikan berkaitan dengan stigma yang dialami.

Stigma dan diskriminasi tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental penderita TB tetapi juga berdampak pada upaya eliminasi TB secara keseluruhan. Hambatan sosial ini menyebabkan keterlambatan diagnosis, ketidakpatuhan dalam pengobatan, dan bahkan penghentian pengobatan sebelum waktunya. Akibatnya, penyebaran TB di masyarakat semakin tidak terkendali, dan upaya untuk mencapai target eliminasi TB pada tahun 2030 menjadi terhambat.

Diskriminasi terhadap penderita TBC adalah salah satu faktor tersembunyi yang berkontribusi pada lonjakan kasus positif. Stigma sosial yang melekat pada penyakit ini sering kali menyebabkan penderita enggan mencari pengobatan atau bahkan menyembunyikan kondisi mereka. Selain berdampak pada kualitas hidup individu, diskriminasi ini juga memengaruhi efektivitas program pengendalian TBC secara keseluruhan. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana diskriminasi terhadap penderita TBC menjadi salah satu penyebab utama lonjakan kasus positif dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya.

Diskriminasi dan Stigma

Diskriminasi terhadap penderita TBC sering kali berasal dari stigma sosial yang melekat pada penyakit ini. Banyak masyarakat yang masih mengaitkan TBC dengan kemiskinan, perilaku tidak sehat, atau kurangnya kebersihan. Persepsi ini menciptakan pandangan negatif terhadap penderita TBC, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan sosial dan psikologis mereka (Datiko et al., 2020).

Selain itu, stigma juga muncul dari kurangnya pemahaman tentang cara penularan TBC. Banyak orang yang salah mengira bahwa semua penderita TBC menular, padahal dengan pengobatan yang tepat, risiko penularan dapat diminimalkan. Ketakutan yang tidak berdasar ini membuat penderita sering kali dijauhi oleh keluarga, teman, bahkan tenaga medis.

Diskriminasi tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat tetapi juga di lingkungan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien melaporkan perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan, seperti kurangnya empati atau penggunaan bahasa yang merendahkan. Hal ini dapat mengurangi motivasi pasien untuk melanjutkan pengobatan, yang berdampak negatif pada upaya penyembuhan dan pencegahan penularan lebih lanjut (Creswell et al., 2019).

Dampak Diskriminasi terhadap Lonjakan Kasus Positif

Diskriminasi memiliki dampak yang luas terhadap epidemiologi TBC. Salah satu dampak utamanya adalah keterlambatan diagnosis. Ketakutan terhadap stigma sering kali membuat individu enggan memeriksakan diri meskipun sudah mengalami gejala TBC. Akibatnya, banyak kasus TBC tidak terdeteksi hingga berada pada tahap yang lebih parah, yang tidak hanya memperburuk kondisi pasien tetapi juga meningkatkan risiko penularan di komunitas (Tola et al., 2021).

Selain itu, diskriminasi juga memengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan. Pengobatan TBC membutuhkan waktu yang panjang, dengan regimen obat yang harus diikuti selama minimal enam bulan. Namun, stigma sosial sering kali membuat pasien merasa malu atau takut untuk mengambil obat secara teratur, terutama jika mereka harus melakukannya di fasilitas kesehatan. Ketidakpatuhan ini dapat menyebabkan pengembangan resistensi obat, seperti multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB), yang lebih sulit dan mahal untuk diobati (Lestari et al., 2020).

Dampak diskriminasi juga terlihat dalam aspek psikososial. Banyak penderita TBC yang mengalami isolasi sosial dan tekanan psikologis akibat stigma. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental mereka tetapi juga kemampuan mereka untuk mencari pengobatan dan dukungan. Sebagai hasilnya, diskriminasi berkontribusi pada siklus penularan TBC yang terus berlanjut.

Faktor-Faktor yang Mendorong Diskriminasi

Diskriminasi terhadap penderita TBC tidak muncul begitu saja. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini antara lain:

1. Kurangnya Edukasi Masyarakat

Banyak masyarakat yang masih belum memahami penyebab, gejala, dan cara penularan TBC. Minimnya informasi ini menciptakan kesalahpahaman yang memperkuat stigma terhadap penderita.

2. Norma Sosial yang Negatif

Dalam beberapa budaya, penyakit sering kali dianggap sebagai bentuk kelemahan atau aib. Hal ini membuat penderita TBC merasa malu untuk mengungkapkan kondisi mereka atau mencari bantuan.

3. Kurangnya Dukungan Sistem Kesehatan

Sistem kesehatan yang tidak inklusif dan ramah terhadap penderita TBC juga berperan dalam menciptakan diskriminasi. Misalnya, kurangnya pelatihan bagi tenaga medis tentang cara menangani stigma dapat memperburuk situasi.

4. Media yang Tidak Sensitif

Media sering kali menggambarkan TBC secara negatif, yang dapat memperkuat stigma di masyarakat. Narasi yang tidak akurat atau berlebihan tentang penyakit ini hanya akan memperburuk diskriminasi terhadap penderita.

Langkah-Langkah untuk Mengatasi Diskriminasi

Mengatasi diskriminasi terhadap penderita TBC memerlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai pihak. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

1. Edukasi Masyarakat

Edukasi adalah kunci untuk mengurangi stigma terhadap TBC. Kampanye yang memberikan informasi yang akurat tentang penyakit ini harus dilakukan secara luas, baik melalui media massa, media sosial, maupun kegiatan berbasis komunitas. Edukasi juga harus menekankan bahwa TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan dan bahwa pengobatan adalah hak setiap individu.

2. Pelatihan bagi Tenaga Medis

Tenaga medis perlu diberikan pelatihan tentang cara menangani stigma dan diskriminasi. Mereka harus memahami pentingnya memberikan pelayanan yang ramah dan inklusif bagi semua pasien, tanpa memandang status kesehatan mereka.

3. Penguatan Dukungan Psikososial

Dukungan psikososial bagi penderita TBC sangat penting untuk membantu mereka menghadapi stigma. Kelompok dukungan atau program konseling dapat menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan kepatuhan terhadap pengobatan.

4. Kebijakan yang Mendukung

Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang melindungi hak-hak penderita TBC dan mencegah diskriminasi. Misalnya, undang-undang yang melarang diskriminasi di tempat kerja atau di fasilitas kesehatan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi penderita.

5. Peran Media dalam Mengubah Narasi

Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, media harus bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi yang akurat dan positif tentang TBC. Menyoroti kisah-kisah inspiratif dari penyintas TBC dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat.

Penutup

Diskriminasi terhadap penderita TBC adalah masalah yang sering kali diabaikan tetapi memiliki dampak yang signifikan terhadap pengendalian penyakit ini. Stigma dan diskriminasi tidak hanya merugikan individu tetapi juga memperburuk situasi epidemiologi TBC secara keseluruhan. Oleh karena itu, mengatasi diskriminasi harus menjadi bagian integral dari strategi pengendalian TBC.

Dengan pendekatan yang komprehensif, melibatkan edukasi, dukungan psikososial, pelatihan tenaga medis, kebijakan yang mendukung, dan peran media, kita dapat menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penderita TBC. Upaya ini tidak hanya akan membantu mengurangi stigma tetapi juga mempercepat eliminasi TBC sebagai ancaman kesehatan global. Semua pihak harus bekerja sama untuk memastikan bahwa diskriminasi tidak lagi menjadi hambatan dalam mencapai kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Sumber

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2024). Studi FKUI: Stigma Terhadap Orang dengan Tuberkulosis Dapat Tingkatkan Risiko Depresi dan Turunkan Kualitas Hidup. Diakses dari https://fk.ui.ac.id/berita/studi-fkui-stigma-terhadap-orang-dengan-tuberkulosis-dapat-tingkatkan-risiko-depresi-dan-turunkan-kualitas-hidup.html

Indonesia AIDS Coalition. (2022). Stigma dan Diskriminasi Masih Menjadi Hambatan dalam Mengeliminasi TB di Indonesia. Diakses dari https://iac.or.id/id/stigma-dan-diskriminasi-masih-menjadi-hambatan-dalam-mengeliminasi-tb-di-indonesia/

World Health Organization. (2021). Global Tuberculosis Report 2021. Geneva: WHO Press. https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021

Tola, H. H., Shojaeizadeh, D., Garmaroudi, G., Tol, A., Yekaninejad, M. S., & Ejeta, L. T. (2021). Psychological and behavioral impacts of stigma on patients with TB. BMC Public Health, 21(1), 679. https://doi.org/10.1186/s12889-021-10706-5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun