Mohon tunggu...
Namarappuccino Saja
Namarappuccino Saja Mohon Tunggu... -

Just call me Namarappuccino. :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencintaimu Sekali Lagi

2 Januari 2012   03:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:27 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih ingatkah dulu, bagaimana aku selalu memperhatikan detail tentangmu? Seperti sepatu apa yang kamu pakai dalam foto itu, atau tas apa yang kamu kenakan, atau kamu menggunakan bross kecil apa di baju kantormu? Ya, hal-hal seperti itu. Masih ingatkah itu?
Atau aku mengenalimu dari jauh, lalu mengejarmu hanya untuk menyapamu dan berbincang sebentar setelah kemudian mengucapkan, “Selamat tinggal. Sampai bertemu lagi?”

Atau juga pada suatu ketika aku mengirimi lagu dari radio secara sembunyi-sembunyi. Aku menggunakan nama “Hujan” ketika itu. Dan lagu yang sering kukirim adalah “You’ll be Safe Here” dari Rivermaya. Aku tidak peduli kamu mendengar radio atau tidak, aku hanya ingin mengirimimu lagu itu.

Ya. Aku selalu melakukannya. Aku selalu mengingat detail semua tentangmu, sekecil apa pun itu. Dulu. Sekarang pun masih ingat. Dan kalau kamu bertanya kenapa bisa begitu, jawabanku mungkin akan sederhana,


Itu bukan karena ingatanku yang kuat. Itu namanya mencintaimu.


Lalu datang lelaki itu. Ya. Lelaki itu. Lelaki tampan yang tak berhenti kamu ceritakan setiap hari itu. Kamu menceritakannya dengan lancar dan tanpa bosan. Mengagumkan bagaimana kamu mengingat detail tentangnya, persis seperti aku mengingat detail tentangmu.
Jangan lihat tawaku dan mataku ketika kamu selalu melakukan itu, menceritakannya. Mata dan tawaku tidak jujur. Mereka pembohong yang sudah terlatih bertahun-tahun untuk mengelabuimu. Buktinya, sampai sekarang kamu tidak tahu bahwa aku mencintaimu,bukan?
Dan tawa berbahagia ketika kamu bercerita tentangnya itu, aku harusnya mendapat piala Oscar karenanya. Itu mungkin akting terbaikku selama ini. Sayangnya, kamu selalu membaca mata dan tawaku. Kamu tidak pernah membaca hatiku. Jadi, yang kamu lihat adalah yang kamu percayai. Salahku juga, aku tidak pernah punya nyali mengatakan apa pun kepadamu. Aku bodoh? Tidak juga. Sepertinya kita berdua bodoh. Karena seharusnya kamu tahu perasaanku. Setidaknya jangan bercerita tentang lelaki “mengagumkanmu” itu di depanku. Ya, setidaknya. Tapi mungkin kamu memang bodoh. Kamu pintar dalam segala hal tapi sangat bodoh ketika membaca hati seseorang yang di depanmu.

Singkatnya kamu jatuh cinta pada pria ‘mengagumkan’mu. Jatuh cinta secinta-cintanya. Sampai siang malam yang kamu ceritakan adalah dia. Di depanku. Biar kuulang, di depanku. Kamu pasti tidak pernah tahu rasanya bukan? Ya, aku suka tawamu. Ya, aku suka binar matamu ketika berbahagia. Ya, aku suka cerita-ceritamu. Kecuali yang ini. Kecuali saat kamu bercerita tentang lelakimu ini. Aku mulai membenci tawa, binar bahagia matamu, dan cerita-ceritamu. Ya. Membenci ketiganya. Tapi aku akan bertahan melihat dan mendengarnya, untukmu. Hanya untukmu.

Pada momen itulah, aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Berhenti memikirkan tentangmu. Berhenti memperhatikan setiap detail tentangmu. Berhenti melihat akun microbloggingmu. Berhenti mencoba menyapamu ketika melihatmu dari dekat atau jauh. Ya, aku berhenti.

Anehnya, sepertinya semesta sedang mempermainkanku. Kamu bisa tiba-tiba muncul begitu saja di perpustakaan favoritku atau kafe tempatku biasa meminum secangkir kopi dan kue tiramisu untuk menghabiskan waktu memandang orang-orang yang berlalu lalang tergesa-gesa pulang kerja. Lalu kamu akan duduk di sana, berlama-lama. Lagi. Bercerita tentang mengagumkannya lelaki itu. Lelaki itu romantis, lelaki itu dewasa, lelaki itu lucu, lelaki itu pintar menyanyi, lelaki itu…, lelaki itu…, lelaki itu…

Sial. Tidak ada kata lain selain kata ‘lelaki itu’ dalam sebuah nama? HA?!

Tapi aku diam saja. Mendengarmu dengan perhatian sepenuh-penuhnya. Ikut tertawa ketika kamu tertawa. Membalas timpalanmu dengan pertanyaan, “Terus?” atau “Ah, menyenangkan sepertinya.”

Lalu sesuatu menyadarkanku. Di sana. Tepat di sana. Pada saat kamu bercerita dan tertawa, lalu perhatianku penuh kepadamu. Ketika itu aku tidak memedulikan apa yang kamu ceritakan. Aku hanya melihatmu. Melihatmu dengan perhatian yang seperti suara dan pemandangan apa pun tidak bisa mengalihkanku darimu. Perhatian yang kalaupun ada ledakan di belakangku, aku tidak akan menolehnya. Di sana. Aku sadar, aku memang sudah jatuh cinta. Terlalu dalam. Sangat dalam. Dan menyadari aku akan kesulitan untuk jauh darimu karena aku suka tawamu itu. Aku suka ketika bibirmu bergerak-gerak bercerita itu. Aku suka ketika tanganmu mengibaskan rambutmu yang tergerai. Aku suka ketika kamu melirik ke suatu tempat ketika ada suara yang mengganggumu. Aku suka cara kamu mengetik di handphonemu. Aku suka cara kamu meminum dan mengunyah. Hei, aku bahkan suka kecerobohanmu. Ah, ya Tuhan. Aku sudah gila.

Dan ketika kamu memunggungiku, aku selalu membenci pemandangan itu. Rasanya terlalu hening bahkan untuk bahasa sebuah punggung. Seperti dongeng kecil yang sedang bercerita dengan bisik serupa desis, bahwa kamu akan pergi dariku sejauh-jauhnya dan tidak akan kembali lagi. Aku benar-benar membenci itu. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu. Jadi aku harus menerimanya, seperih apa pun itu.

Lalu ditambah kalau sebelumnya kamu sudah mengatakan harus segera pergi karena ada janji dengan lelaki itu.

Apa ini?! Pasar malam nyeri? Kenapa banyak sekali nyeri terjadi dalam satu hari?!
*****
Hari ini aku melihatmu di kafe kecil itu dari balik jendela jauh. Kamu sendirian melamun. Aku ingin menghampirimu tapi kejadian beberapa hari lalu menghentikanku. Ya. Mungkin kamu akan menyiksaku dengan cerita-ceritamu lagi, lalu dilanjut dengan kamu meninggalkanku sendiri hanya karena sudah berjanji dengan laki-laki itu, kemudian berjalan pergi memunggungiku. Sudah. Berhenti melakukan itu.

Aku sudah nyaris berjalan pergi ketika itu. Meninggalkanmu. Biar nanti kamu bercerita dengan orang lain saja, asal bukan aku.

Lalu seolah dunia berhenti. Tepat ketika aku akan mengalihkan pandanganku, aku melihat dengan jelas sekali di sana. Tidak ada yang terlalu jauh untuk sebuah air mata. Ya. Aku melihatnya. Sesuatu menetes, mengalir ke pipimu. Berkilauan terkena cahaya lampu.

Mendadak aku merasa nyeri. Lebih nyeri daripada ketika kamu selalu bercerita tentang lelakimu.

Aku pun mendekatimu, duduk di depanmu sambil memesan kopi. Sepertinya kamu sudah menghapus air matamu. Tapi, terlambat. Aku sudah melihatnya tadi. Sejelas aku melihat garis telapak tanganku sendiri.

“Hei! Sedang apa kamu di sini?” katamu dengan senyum lebar dan mata berbinar.

Selalu seperti itu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak memperlihatkannya kepada orang lain. Tapi kamu lupa satu hal, ini aku. Bukan orang lain. Jadi kamu tidak perlu menutupinya dariku.

Kita kemudian berbasa-basi sebentar tentang interior ruangan atau menu apa saja yang enak di kafe itu, tetapi tetap tidak bisa mengalihkan pikiranku kepada air matamu tadi. Mengganggu sekali.

“Ada yang mau kamu ceritakan?” tembakku.

Kamu hanya menatapku sambil mengangkat kedua alis. “Cerita apa?”

“Ini aku. Bukan orang lain. Kamu tidak perlu menyembunyikannya.” Aku tersenyum.

Kamu hanya menunduk. Mempermainkan sendok di cangkir cappuccino-mu dengan mengaduknya. Kita sama-sama tahu gulanya sudah teraduk dari tadi. Itu hanya bahasa untuk, “Sebentar, biar aku mempersiapkan kalimat dulu.”

Setengah menit kemudian, kamu menghembuskan nafas panjang dan bercerita dengan suara berat. Aku benci matamu yang sekarang ini. Layu. Tidak ada cahaya di sana seperti biasanya.

Dia, lelaki ‘mengagumkan’mu itu, memutuskanmu. Alasannya sederhana, dia harus mengurusi proyek yang sedang dikerjakannya. Dan dengan kemanjaan dan rengekanmu untuk terus menemanimu dia merasa kesulitan.

Bodoh!” kataku dalam hati. Tertuju kepada lelaki itu.

Kamu sudah mencoba mempertahankannya dengan mengatakan akan mengerti dan untuk sementara tidak akan mengganggunya dulu. Tapi sama saja. Keputusannya sudah bulat. Dia harus memutuskanmu.

Bodoh!” sekali lagi batinku.

Setetes lagi air matamu turun. Sekali lagi jantungku seperti dipukul. Aku tidak berani memegang tanganmu seingin apa pun itu untuk menenangkanmu. Aku juga tidak berani menghapus  air matamu dengan tanganku atau tisu. Seperti itulah aku mencintaimu. Aku selalu takut setiap gerakan sekecil apa pun dariku, terasa salah. Jadi aku hanya berdiri di samping tempat dudukmu dan menyerahkan tisu. Tersenyum dan mengatakan, "Menangislah sepuasmu. Aku akan menutupimu dari orang lain.”

Aku tetap berdiri di sana sambil pura-pura mengamati menu. Sesekali aku melirik ke pelanggan atau penjaga kafe itu untuk memastikan tidak ada yang melihatmu menangis.

Ini adalah dua menit terlama dalam hidupku. Melihatmu menangis seperti itu, membuat waktu benar-benar berjalan sangat lambat. Terlalu lambat. Ini buruk buat mata dan hatiku.

Untunglah kamu segera berhenti, menghapus semua air matamu dan tersenyum lagi. Aku menatapmu sekilas dan tidak berani menatap matamu lagi beberapa saat setelah itu. Matamu masih berkaca-kaca. Aku akan melihatmu lagi nanti setelah sepasang mata favoritku itu bersih dari air mata.

Kamu mengatakan akan menerimanya.

Kamu bohong. Kentara sekali dari kalimatmu yang bergetar. Kamu belum bisa menerimanya. Tidak sekarang. Mungkin nanti.

Kamu menghela napas lagi. Mengaduk-aduk cappuccino-mu lagi lalu mengetuk-ngetuknya ke cangkir.

“Ayo. Kita pergi.” Kataku.

“Ke mana?” tanyamu bingung.

“Ikut saja.”
*****
Aku suka kamu tertawa. Kita ke mall terdekat dan aku mengajakmu ke arena permainan. Permainan yang aku sarankan untuk dicoba adalah sebuah alat yang kita bisa meninjunya sekuat mungkin, lalu ada skornya muncul.
Kamu meninju sekuat-kuatnya dan lalu mengeluh sakit. Hampir saja aku lupa dan reflek memegang tanganmu. Untung aku masih teringat untuk tidak melakukannya.

Aku menyarankan untuk ganti ke permainan lain saja, tapi kamu menolaknya. Setidaknya dua kali bermain itu sampai kamu mengeluh, sudah tidak sanggup lagi.

“Puas…” katamu tersenyum lebar.

Aku paham sekali makna kata dan senyum lebar itu. Aku ikut tersenyum.

Kita lalu beradu melempar bola basket. Aku sebenarnya bisa mengalahkanmu dengan mudah. Tapi untuk kali ini aku akan membiarkanmu menang. Kamu tersenyum kegirangan dan terus mengolokku. Aku tertawa kecil saja sambil menggaruk kepala.

Ketika mencoba balap mobil dan motor, aku juga mengalah. Tidak cukup jauh tentu saja agar tidak terlalu kentara. Aku beberapa kali membalapmu dan kemudian melambatkannya atau sengaja menabrakkannya agar kamu bisa mendahuluiku. Lagi. Kamu menertawaiku.

Permainan lain selalu sama. Kamu lebih banyak menang daripada aku. Tapi aku puas sekali. Puas melihatmu tertawa seperti itu.

Kita berpindah ke counter khusus es krim. Kamu memesan es krim macam-macam di sana. Tenang saja, aku yang traktir, kataku. Kamu makan sepuasnya dengan beberapa wafer. Tidak lupa, kamu terus mengolokku dan tak berhenti bercerita tentang setiap permainan tadi. Bagaimana kamu mendahuluiku, bagaimana melempar bola basket dengan benar, bagaimana menembakkan pistol dengan tepat, dan semuanya.

Di sana. Tepat di sana. Seperti De Javu. Pada saat kamu bercerita dan tertawa, lalu perhatianku penuh kepadamu. Aku hanya melihatmu dengan perhatian yang seperti suara dan pemandangan apa pun tidak bisa mengalihkanku darimu. Di sana. Aku sadar, aku memang masih mencintaimu. Terlalu dalam. Sangat dalam. Dan menyadari bahwa ternyata aku tidak pernah sedikit pun melupakan tawamu seberat apa pun aku mencobanya ketika itu. Ya. Aku masih suka memperhatikan bibirmu yang berceloteh, masih suka gerakan tanganmu mengibaskan rambutmu, masih suka cara mengetik di handphone, masih suka caramu melirik orang-orang di sekitarmu, masih suka caramu meminum dan mengunyah, dan tentu saja tetap suka dengan kecerobohanmu. Seperti itu. Itu, di bibirmu masih ada es krim.

Sepertinya aku akan tetap mencintaimu.

Ya. Mencintaimu sekali lagi. Seperti dulu. Tetap seperti dulu. Hanya saja kali ini aku akan berusaha berterus terang kepadamu ketika sudah siap nanti. Aku tidak mau ada lelaki ‘mengagumkan’ lagi yang mengambil tawamu dari pandanganku. Aku tidak mau ada lelaki ‘mengagumkan’ lagi yang merebut ceritamu. Ya. Biar aku yang melakukannya. Aku akan betah berlama-lama mendengar ceritamu, betah berlama-lama menemanimu. Tidak akan meninggalkanmu sesibuk apa pun aku. Tentu saja ada waktu aku tidak bisa menemuimu. Tapi aku tetap tidak akan membiarkanmu menangis seperti yang dilakukan lelaki ‘mengagumkan’ itu.

Ya. Ini aku.

Mencintaimu sekali lagi.

_______

Fiksi ini berasal dari namarappuccino

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun