Kamu mengatakan akan menerimanya.
Kamu bohong. Kentara sekali dari kalimatmu yang bergetar. Kamu belum bisa menerimanya. Tidak sekarang. Mungkin nanti.
Kamu menghela napas lagi. Mengaduk-aduk cappuccino-mu lagi lalu mengetuk-ngetuknya ke cangkir.
“Ayo. Kita pergi.” Kataku.
“Ke mana?” tanyamu bingung.
“Ikut saja.”
*****
Aku suka kamu tertawa. Kita ke mall terdekat dan aku mengajakmu ke arena permainan. Permainan yang aku sarankan untuk dicoba adalah sebuah alat yang kita bisa meninjunya sekuat mungkin, lalu ada skornya muncul.
Kamu meninju sekuat-kuatnya dan lalu mengeluh sakit. Hampir saja aku lupa dan reflek memegang tanganmu. Untung aku masih teringat untuk tidak melakukannya.
Aku menyarankan untuk ganti ke permainan lain saja, tapi kamu menolaknya. Setidaknya dua kali bermain itu sampai kamu mengeluh, sudah tidak sanggup lagi.
“Puas…” katamu tersenyum lebar.
Aku paham sekali makna kata dan senyum lebar itu. Aku ikut tersenyum.
Kita lalu beradu melempar bola basket. Aku sebenarnya bisa mengalahkanmu dengan mudah. Tapi untuk kali ini aku akan membiarkanmu menang. Kamu tersenyum kegirangan dan terus mengolokku. Aku tertawa kecil saja sambil menggaruk kepala.
Ketika mencoba balap mobil dan motor, aku juga mengalah. Tidak cukup jauh tentu saja agar tidak terlalu kentara. Aku beberapa kali membalapmu dan kemudian melambatkannya atau sengaja menabrakkannya agar kamu bisa mendahuluiku. Lagi. Kamu menertawaiku.