Mohon tunggu...
NA KeishaA
NA KeishaA Mohon Tunggu... Musisi - Old soul

Pengagum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminis atau Feminazi? Sedikit tentang Perbedaannya

7 Juli 2020   18:35 Diperbarui: 27 Mei 2021   14:46 13973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbedaan Feminis atau Feminazi? (unsplash/jacob nizierski)

Feminists be like :

"Can a guy do what all girls can? NO"

"Can a girl do what all guys can? YES"

Ini merupakan salah satu komentar yang mendapatkan like lebih dari 500, saya melansir komentar ini dari salah satu video YouTube creator yang belakangan jadi sering saya tonton karena masih dalam upaya memperbanyak kegiatan setelah pembatasan sosial dilonggarkan, dan belum adanya pekerjaan. 

Komentar dengan nuansa seperti ini tentu saja tidak hanya ada di satu-dua sosial media, paradigma ini sudah menyebar luas, bahkan lebih luas dibandingkan dengan semangat sesungguhnya yang hendak dibawa oleh feminis.

Tulisan ini penuh dengan pandangan subjektif, sudah melalui proses pembelajaran di kampus, diskusi non-formal, dan diolah dalam perspektif pribadi, bahkan nantinya bisa saja berubah karena informasi dan pengetahuan akan selalu datang dan dipersepsi berbeda tiap-tiap harinya. 

Baca juga : FemiNazi: Habis Patriarki, Terbitlah Matriarki

Tulisan ini juga tidak berupaya menjelaskan sejarah feminis secara mendalam, bagaimana terciptanya Women's March atau arti dari Women's March itu sendiri. Tulisan ini hanya bentuk upaya kecil saya untuk menjelaskan sedikit, apa yang sebetulnya membedakan feminis dengan feminazi.

Komentar diawal merupakan pandangan kebanyakan orang tentang "feminis", namun sebetulnya apa yang disebut sebagai "feminis"? Apakah sebatas sebuah gerakan, ucapan, atau semacamnya yang menyatakan bahwa perempuan 'lebih tinggi' dibandingkan laki-laki? 

Yang menyatakan kalau terdapat satu kaum (bisa gender) yang lebih rendah dibandingkan satu dengan yang lainnya? Bukan. Semangat Feminis tidak pernah terbatas hanya pada emansipasi satu sisi semata.

Mary Wollstonecraft, melalui bukunya 'A Vindication of the Rights of Men. A Vindication of the Rights of Woman', menyuguhkan kesadaran tentang gerakan feminis, gerakan perempuan. Karya yang ada di-volume ini merupakan semacam kompilasi kontroversi yang terjadi pada masa Revolusi Prancis. 

Ditulis diantara tahun 1790 dan 1794, pada masa tersebut laki-laki dan juga perempuan yang menulis isu-isu sosial politik dilihat tidak hanya nantinya ide-ide mereka akan dijadikan suatu nilai yang dijalankan oleh masyarakat, tetapi dari karya-karya tersebut akan tercipta konsikuensi bersifat politis dan sosial yang harus ditanggung.

Ia menentang segala bentuk kekuatan patriarki, dimulai dari seorang ayah terhadap anak, raja terhadap negara, atau bentuk tirani yang sedikit ia saksikan di Eton. Wollstonecraft, meski tidak secara langsung menyatakan sebuah pandangan bernamakan feminis, ia adalah perempuan pertama yang membawa isu hak perempuan pada tahun 1790-an di debat-debat umum tentang hak-hak masyarakat.

Baca juga : Feminisme dan Budaya Patriarki di Indonesia

Diskriminasi perempuan sudah lebih dahulu ada sebelum itu, eksklusi perempuan dari instansi pendidikan sudah berlangsung. Sehingga akhirnya tercipta pernyataan bahwa perempuan diharuskan memiliki pendidikan terlebih dahulu sebelum dihakimi sebagai being seksual semata.

Hal serupa tidak hanya terbatas pada anggapan perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki hak. Pernah terjadi suatu peristiwa yang cukup terkenal bernama "Persidangan Penyihir Salem". Dan angka eksekusi perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. 

Perempuan kala itu diharuskan mengikuti kaidah yang berlaku, dan peraturan itu sendiri diciptakan oleh para pemuka yang mayoritasnya laki-laki. Sehingga, dugaan tak berdasar ketika perempuan-perempuan ini dituduh sebagai penyihir karena melenceng dari kaidah tersebut, merupakan sebuah bentuk penunjukkan kekuasaan.

Mari kita tarik jauh ke era sekarang, tahun 2020, di mana tidak ada lagi dugaan rendahan layaknya penyihir apabila semua itu tak dapat dibuktikan. Namun, harus disadari, bahwa kasus kekerasan khususnya terhadap perempuan terus meningkat, bahkan di-era yang belum normal seperti sekarang ini. Pembatasan pertemuan tatap muka tidak menjamin tindakan semacam ini juga ikut terbatas. Kasus-kasus KDRT, pelecehan berbasis online, dan lain sebagainya. 

Kekecewaan terbesar bagi saya pribadi adalah penarikan pembahasan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dari sidang yang dilakukan oleh para wakil rakyat. Ditambah, kecewanya lagi, salah satu orang yang saya ikuti di instagram, yang menjabat sebagai salah satu ketua himpunan tingkat universitas, juga turut bersyukur pembahasan itu ditarik.

Perlu diingat dan dipahami kalau tindakan pelecehan seksual dapat terjadi pada siapapun, tidak terbatas gender, penampilan, bahkan media atau bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Seorang laki-laki dapat mengalaminya, contoh, stigma perempuan selalu benar, kerap terjadi pemukulan yang dilakukan pasangan perempuan, dan hal ini terjadi di depan umum, dan laki-laki yang mengalami pemukulan tersebut dianggap sangatlah lumrah.

Tidak ada yang tidak apa-apa soal tindak kekerasan. Bahkan seorang artis top seperti Johny Depp juga bisa kena tindakan tersebut.

Bagi saya, feminis merupakan kesetaraan untuk semua manusia. Bagaimanapun bentuknya, warna kulitnya, orientasi seksualnya, di-mata feminis semua manusia yang sama-sama memiliki hak untuk menjadi dirinya. Akan tetapi, kenapa sampai ada orang-orang yang mengaku feminis sejati, tetapi yang dia perjuangkan adalah kaum perempuan untuk menjadi di atas kaum-kaum lainnya?

Baca juga : Mempertanyakan Sikap Gerakan Feminisme di Indonesia

Kesalahan berpikir ini malah kian hari menjadi pergeseran makna dari feminis itu sendiri. Dari pengalaman saya pribadi, saya kerap menemui beberapa kenalan yang mengatakan kalau feminis sama dengan perempuan di atas segalanya, perempuan selalu benar, perempuan harus diberikan hak khusus dibandingkan laki-laki, dan lain sebagainya. Pandangan-pandangan tersebut memiliki satu persamaan, yakni : adanya paham kalau satu kaum/gender/dll yang lebih ditinggi dibandingkan yang lainnya.

Sebagai manusia, membela hak untuk hidupnya tentu sangatlah perlu. Pembelaan terhadap hak yang sudah sepatutnya dimiliki merupakan sesuatu yang dianjurkan, bahkan diharuskan. Mungkin untuk pembahasan hak asasi bisa saya coba paparkan ditulisan selanjutnya, pada kesempatan ini yang hendak saya coba untuk garis bawahi adalah "apa yang membedakan feminis dan feminazi?"

Terminologi feminazi sendiri sudah dapat dicari di Google, secara singkat dapat disebut sebagai "feminis radikal". Saya lebih setuju untuk menyebut mereka sebagai "feminis ekstrimis", term radikal masih dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang mendasar, tapi bukan berarti ekstrem hingga menuju fanatis, dan tentu yang lebih parahnya lagi adalah mengarah ke pembendungan menerima pendapat lain.

Tentu tidak hanya thread di Twitter "Bekal untuk Suami" yang belakangan ini tengah banyak dibicarakan. Saya pribadi cukup sakit kepala melihat reply pada utas tersebut. Walau saya tetap menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, saya juga berpendapat bahwa banyak sekali feminazi yang berkomentar, dan komentar-komentarnya juga cukup menguras tenaga untuk dibaca. 

Seperti salah satu user yang juga berkomentar "seorang perempuan seharusnya dibayar untuk mengemas bekal suaminya", dan kemudian komentar itu berlanjut ke pembahasan upah buruh perempuan, yang bagi saya pribadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan utas tersebut.

Saya tidak memiliki kewenangan untuk menyalahkan, semua orang bebas untuk berpendapat. Akan tetapi ditiap pendapat yang diutarakan seharusnya terdapat bobot yang bisa dipertanggung jawabkan, apalagi sudah membahas perihal term ideologi. Lalu pengetahuan dan pemahaman juga harus dibuka seluas mungkin, dimulai dari menerima informasi satu arah, seperti belajar secara individu, membaca buku dan lain sebagainya, sampai dengan tukar informasi dan pendapat bersama orang-orang lain.

Pandangan khalayak terhadap feminis jadi bergeser jauh dikarenakan pendapat-pendapat tak berdasar yang dipaparkan oleh para feminazi, dan paling banyak diplatform online. Pelecehan seksual saja dapat dilakukan secara online, apalagi sebuah tindakan mengetuk jari tanpa sebenar-benarnya memahami. Ditambah, literasi yang juga jauh dari kata mumpuni.

Kesimpulannya sederhana, feminis bukan berarti feminazi. Banyak nilai-nilai esensial yang hilang dari apa yang seharusnya diperjuangkan oleh feminis, salah satunya dan yang paling penting adalah kesetaraan. Bagaimana menurut Anda? Saya sangat suka bertukar pikiran, walau dimasa sebelum pandemi biasanya dibarengi dengan minum kopi. Silakan beri komentar, saran serta kritik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun