Baca juga : Mempertanyakan Sikap Gerakan Feminisme di Indonesia
Kesalahan berpikir ini malah kian hari menjadi pergeseran makna dari feminis itu sendiri. Dari pengalaman saya pribadi, saya kerap menemui beberapa kenalan yang mengatakan kalau feminis sama dengan perempuan di atas segalanya, perempuan selalu benar, perempuan harus diberikan hak khusus dibandingkan laki-laki, dan lain sebagainya. Pandangan-pandangan tersebut memiliki satu persamaan, yakni : adanya paham kalau satu kaum/gender/dll yang lebih ditinggi dibandingkan yang lainnya.
Sebagai manusia, membela hak untuk hidupnya tentu sangatlah perlu. Pembelaan terhadap hak yang sudah sepatutnya dimiliki merupakan sesuatu yang dianjurkan, bahkan diharuskan. Mungkin untuk pembahasan hak asasi bisa saya coba paparkan ditulisan selanjutnya, pada kesempatan ini yang hendak saya coba untuk garis bawahi adalah "apa yang membedakan feminis dan feminazi?"
Terminologi feminazi sendiri sudah dapat dicari di Google, secara singkat dapat disebut sebagai "feminis radikal". Saya lebih setuju untuk menyebut mereka sebagai "feminis ekstrimis", term radikal masih dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang mendasar, tapi bukan berarti ekstrem hingga menuju fanatis, dan tentu yang lebih parahnya lagi adalah mengarah ke pembendungan menerima pendapat lain.
Tentu tidak hanya thread di Twitter "Bekal untuk Suami" yang belakangan ini tengah banyak dibicarakan. Saya pribadi cukup sakit kepala melihat reply pada utas tersebut. Walau saya tetap menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, saya juga berpendapat bahwa banyak sekali feminazi yang berkomentar, dan komentar-komentarnya juga cukup menguras tenaga untuk dibaca.Â
Seperti salah satu user yang juga berkomentar "seorang perempuan seharusnya dibayar untuk mengemas bekal suaminya", dan kemudian komentar itu berlanjut ke pembahasan upah buruh perempuan, yang bagi saya pribadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan utas tersebut.
Saya tidak memiliki kewenangan untuk menyalahkan, semua orang bebas untuk berpendapat. Akan tetapi ditiap pendapat yang diutarakan seharusnya terdapat bobot yang bisa dipertanggung jawabkan, apalagi sudah membahas perihal term ideologi. Lalu pengetahuan dan pemahaman juga harus dibuka seluas mungkin, dimulai dari menerima informasi satu arah, seperti belajar secara individu, membaca buku dan lain sebagainya, sampai dengan tukar informasi dan pendapat bersama orang-orang lain.
Pandangan khalayak terhadap feminis jadi bergeser jauh dikarenakan pendapat-pendapat tak berdasar yang dipaparkan oleh para feminazi, dan paling banyak diplatform online. Pelecehan seksual saja dapat dilakukan secara online, apalagi sebuah tindakan mengetuk jari tanpa sebenar-benarnya memahami. Ditambah, literasi yang juga jauh dari kata mumpuni.
Kesimpulannya sederhana, feminis bukan berarti feminazi. Banyak nilai-nilai esensial yang hilang dari apa yang seharusnya diperjuangkan oleh feminis, salah satunya dan yang paling penting adalah kesetaraan. Bagaimana menurut Anda? Saya sangat suka bertukar pikiran, walau dimasa sebelum pandemi biasanya dibarengi dengan minum kopi. Silakan beri komentar, saran serta kritik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI