Ditulis diantara tahun 1790 dan 1794, pada masa tersebut laki-laki dan juga perempuan yang menulis isu-isu sosial politik dilihat tidak hanya nantinya ide-ide mereka akan dijadikan suatu nilai yang dijalankan oleh masyarakat, tetapi dari karya-karya tersebut akan tercipta konsikuensi bersifat politis dan sosial yang harus ditanggung.
Ia menentang segala bentuk kekuatan patriarki, dimulai dari seorang ayah terhadap anak, raja terhadap negara, atau bentuk tirani yang sedikit ia saksikan di Eton. Wollstonecraft, meski tidak secara langsung menyatakan sebuah pandangan bernamakan feminis, ia adalah perempuan pertama yang membawa isu hak perempuan pada tahun 1790-an di debat-debat umum tentang hak-hak masyarakat.
Baca juga : Feminisme dan Budaya Patriarki di Indonesia
Diskriminasi perempuan sudah lebih dahulu ada sebelum itu, eksklusi perempuan dari instansi pendidikan sudah berlangsung. Sehingga akhirnya tercipta pernyataan bahwa perempuan diharuskan memiliki pendidikan terlebih dahulu sebelum dihakimi sebagai being seksual semata.
Hal serupa tidak hanya terbatas pada anggapan perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki hak. Pernah terjadi suatu peristiwa yang cukup terkenal bernama "Persidangan Penyihir Salem". Dan angka eksekusi perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.Â
Perempuan kala itu diharuskan mengikuti kaidah yang berlaku, dan peraturan itu sendiri diciptakan oleh para pemuka yang mayoritasnya laki-laki. Sehingga, dugaan tak berdasar ketika perempuan-perempuan ini dituduh sebagai penyihir karena melenceng dari kaidah tersebut, merupakan sebuah bentuk penunjukkan kekuasaan.
Mari kita tarik jauh ke era sekarang, tahun 2020, di mana tidak ada lagi dugaan rendahan layaknya penyihir apabila semua itu tak dapat dibuktikan. Namun, harus disadari, bahwa kasus kekerasan khususnya terhadap perempuan terus meningkat, bahkan di-era yang belum normal seperti sekarang ini. Pembatasan pertemuan tatap muka tidak menjamin tindakan semacam ini juga ikut terbatas. Kasus-kasus KDRT, pelecehan berbasis online, dan lain sebagainya.Â
Kekecewaan terbesar bagi saya pribadi adalah penarikan pembahasan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dari sidang yang dilakukan oleh para wakil rakyat. Ditambah, kecewanya lagi, salah satu orang yang saya ikuti di instagram, yang menjabat sebagai salah satu ketua himpunan tingkat universitas, juga turut bersyukur pembahasan itu ditarik.
Perlu diingat dan dipahami kalau tindakan pelecehan seksual dapat terjadi pada siapapun, tidak terbatas gender, penampilan, bahkan media atau bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Seorang laki-laki dapat mengalaminya, contoh, stigma perempuan selalu benar, kerap terjadi pemukulan yang dilakukan pasangan perempuan, dan hal ini terjadi di depan umum, dan laki-laki yang mengalami pemukulan tersebut dianggap sangatlah lumrah.
Tidak ada yang tidak apa-apa soal tindak kekerasan. Bahkan seorang artis top seperti Johny Depp juga bisa kena tindakan tersebut.
Bagi saya, feminis merupakan kesetaraan untuk semua manusia. Bagaimanapun bentuknya, warna kulitnya, orientasi seksualnya, di-mata feminis semua manusia yang sama-sama memiliki hak untuk menjadi dirinya. Akan tetapi, kenapa sampai ada orang-orang yang mengaku feminis sejati, tetapi yang dia perjuangkan adalah kaum perempuan untuk menjadi di atas kaum-kaum lainnya?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!