Mohon tunggu...
Najwah Ap
Najwah Ap Mohon Tunggu... Penulis - Mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Pelajar penyuka sastra dan bahasa asing.

Penyuka musik barat, kpopers dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembalasan | Bagian 1

11 Maret 2020   20:02 Diperbarui: 11 Maret 2020   20:09 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     "Eh, gendut!"

     "Mukanya jelek banget gak, sih? Hahaha ...."

     "Iya, pacar lo, kan?"

     "Amit-amit, cuy."

     Gadis dengan rambut lurus tergerai itu hanya mampu terdiam. Menahan malu, takut sekaligus tangis ditengah desakkan murid berseragam merah putih yang berlalu-lalang. Ia menunduk dalam, tak kuasa bahkan untuk menatap kerumunan yang memerhatikan perundungan memalukkan itu kepadanya. 

     Batin gadis itu teriris. Mengapa manusia itu jahat sekali? Sejelek itukah dia? Tetapi, mengapa harus mengejeknya di tengah keramaian? Itu memalukkan sekali, astaga ....

     Senyuman tiga orang anak laki-laki dengan kulit sawo matang itu nampak tak ada dosa. Mereka bahkan tak merasa bersalah sekalipun sudah membully gadis itu di depan orang banyak.  Mereka, malah merasa hebat karena mampu menindas orang. Haduh, tukang jualan yang sudah dewasa pun tak peduli dengan penindasan itu. Bagaimana anak-anak tak begitu coba? Yang dewasa saja tak peduli.

     Perlahan, tawa para laki-laki itu mulai mengendur ditelinganya. Si gadis mempercepat jalannya, berharap tak ada lagi yang mengatainya ini dan itu. Sungguh, tak ada yang suka ditindas seperti tadi. Walau hanya ucapan, walau mereka anggap itu candaan, luka hati bukanlah hal sepele. Itu membekas, membekas hingga mati nanti. 

     "Udah idiot, jelek juga. Gak suka banget gua sama lo."

     Gadis itu menoleh, mendapati teman sekelasnya itu menatapnya sinis lalu pergi begitu saja. Lagi, lagi dan Lagi. Luka hatinya bahkan tak bisa lagi ditulis dengan sejuta kata sekalipun. Sakit sekali, sampai-sampai rasanya ingin mati. Hm, kalau memutus nadi, kira-kira berhasil tidak, ya?

     Gadis yang sedang berkecamuk dengan pilirannya itu hanya mampu tersenyum palsu saat sahabatnya datang. Menyapanya hangat disertai sebuah uluran tangan.

     "Jajan, yuk!" 

***

     "Rifda?"

     "15, bu!"

     Guru dengan kaca mata minusnya itu mengernyit lalu berdehem pelan. "Dari 50 soal kamu cuman dapet 15, Da? Masya allah," ujar si guru itu yang dibalas cengiran hambar dari si empu.

     "Bodoh."

     Gadis itu terdiam, dia tahu, kok. Dia juga bisa mendengar kalau anak laki-laki si jago matematika itu menghinanya. Ia menghela napas sejenak, mencoba tersenyum meski ada jarum yang kembali menusuk hatinya. 

     Dunia itu terlalu keras untuk ukuran gadis dua belas tahun yang kalau kata teman-temannya "jelek dan gendut" itu. Mungkin, kalian para orang dewasa berpikir bawa perundungan ataupun cemooh itu hannyalah hal biasa dan bahkan mungkin sangat wajar dikalangan anak-anak ingusan. Tetapi, anggapan "biasa" kalianlah yang membuat mereka yang kita sebut "anak ingusan kemarin sore" itu berubah menjadi "manusia yang menganggap semuanya biasa". Awal mula, dimana kenakalan remaja mulai bermunculan. 

     Kalau ingin dijabarkan hal-hal yang dibenci gadis itu dari dunia, ada empat hal. Mau kujabarkan satu-satu? Baiklah. 

1. 3 orang anak laki-laki sawo matang dan si jago matematika itu. 

2. Seluruh teman sekelasnya kecuali dua orang sahabat dan seorang lain yang baik kepadanya. 

3. Cara anak-anak itu menghina sahabatnya, seolah mereka adalah barisan para anak sultan yang bebas menindas dan membela orang yang salah. 

4. Orang dewasa.

     Kalau kalian menyalahkan seorang penjahat cilik karena sikapnya yang sangat kriminal. Para orang dewasa, kumohon bercerminlah. Tak ada bayangan yang akan muncul tanpa benda nyata. Tak ada. Begitupun mereka, mereka itu bagaikan bayanganmu. Tak akan mengikuti gerakmu kecuali kau memang bergerak. 

     Nah, itulah caraku mengungkapkan awal kriminalitas ini muncul. Dunia dan perspektif lembek terhadap bocah-bocah setan macam mereka itu. 

***

     Gunting tajam dengan ukuran sedang di tangan kanan gadis itu nampak kaku di tengah jalan. Si empu berhenti, takutnya muncul mendadak. Oh tuhan, mengapa sulit sekali untuk mati saja?

     "Jahat, jahat, jahat!"

     "Kalau aku mati nanti, kutunggu kamu didepan gerbang nereka!"

     "Kubunuh kamu! Kubunuh kamu ...."

     Seruan-seruan tertahan itu membuat dada si gadis naik turun tak karuan. Setelah melempar guntingnya tadi, si gadis itu menangis kencang. Bahkan, disaat terpuruk seperti ini pun, tak ada yang peduli. Tak ada, hanya dia yang menanggung semuanya sendiri. 

     Apa kalian tahu betapa menderitanya seseorang yang depresi sampai-sampai menulis komentar "tak seharusnya kamu membalas sekeji itu" atau "lebay banget, cuman gitu doang" ?

     Rasanya itu, seperti terjatuh dari jurang namun kau malah terguling lagi ke sisi jurang lain yang ternyata lebih dalam. Lalu, tubuh lemahmu itu dibolak-balik bagai adonan siap masak yang hanya butuh sejengkal dua jengkal lagi untuk hancur dan remuk. 

     Rasanya juga, seperti tak dihargai oleh semua orang. Hati yang hampa, pikiran yang penuh derita, pipi sembab penuh tangisan dan ketakutan akan hari esok tanpa sebab. Pernahkah merasakannya? 

     Jika pernah, aku tahu ada empat kemungkinan yang mungkin akan terjadi setelahnya. 

1. Mati bodoh dengan gantung diri ataupun menggunting nadimu.

2. Takdirmu jadi orang pemaaf. Entah itu memang karena kau terlalu baik ataupun polos setengah bodoh. mengikhlaskan kejahatan dan membiarkan Tuhan yang membalasnya. 

3. Hidup penuh derita dan berubah menjadi orang gila.

4. Menjadi pembunuh.

     Siapakah kalian disini? Salah satunya pasti selalu masuk ke ruang diskusi bawah sadar kalian, bukan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun