"Eh, gendut!"
   "Mukanya jelek banget gak, sih? Hahaha ...."
   "Iya, pacar lo, kan?"
   "Amit-amit, cuy."
   Gadis dengan rambut lurus tergerai itu hanya mampu terdiam. Menahan malu, takut sekaligus tangis ditengah desakkan murid berseragam merah putih yang berlalu-lalang. Ia menunduk dalam, tak kuasa bahkan untuk menatap kerumunan yang memerhatikan perundungan memalukkan itu kepadanya.Â
   Batin gadis itu teriris. Mengapa manusia itu jahat sekali? Sejelek itukah dia? Tetapi, mengapa harus mengejeknya di tengah keramaian? Itu memalukkan sekali, astaga ....
   Senyuman tiga orang anak laki-laki dengan kulit sawo matang itu nampak tak ada dosa. Mereka bahkan tak merasa bersalah sekalipun sudah membully gadis itu di depan orang banyak.  Mereka, malah merasa hebat karena mampu menindas orang. Haduh, tukang jualan yang sudah dewasa pun tak peduli dengan penindasan itu. Bagaimana anak-anak tak begitu coba? Yang dewasa saja tak peduli.
   Perlahan, tawa para laki-laki itu mulai mengendur ditelinganya. Si gadis mempercepat jalannya, berharap tak ada lagi yang mengatainya ini dan itu. Sungguh, tak ada yang suka ditindas seperti tadi. Walau hanya ucapan, walau mereka anggap itu candaan, luka hati bukanlah hal sepele. Itu membekas, membekas hingga mati nanti.Â
   "Udah idiot, jelek juga. Gak suka banget gua sama lo."
   Gadis itu menoleh, mendapati teman sekelasnya itu menatapnya sinis lalu pergi begitu saja. Lagi, lagi dan Lagi. Luka hatinya bahkan tak bisa lagi ditulis dengan sejuta kata sekalipun. Sakit sekali, sampai-sampai rasanya ingin mati. Hm, kalau memutus nadi, kira-kira berhasil tidak, ya?
   Gadis yang sedang berkecamuk dengan pilirannya itu hanya mampu tersenyum palsu saat sahabatnya datang. Menyapanya hangat disertai sebuah uluran tangan.