Mohon tunggu...
Najwah Ap
Najwah Ap Mohon Tunggu... Penulis - Mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Pelajar penyuka sastra dan bahasa asing.

Penyuka musik barat, kpopers dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Diriku di Masa Lalu

18 Januari 2020   14:31 Diperbarui: 18 Januari 2020   14:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Pria dengan kemeja kotak-kotak itu menggenggam jemarinya erat. Terkadang, ada kala dimana orang dewasa merasa begitu kecewa, marah dan tak punya semangat. Itulah yang dirasakannya sekarang. Hampa.

     Berulang kali pria itu berpikir untuk naik ke atas jembatan disampingnya, lalu terjun bebas dan kemudian ia bisa melepas semua bebannya. Ia tak ada tempat mengadu. Bahkan, ia pun tak memiliki Tuhan. Sebenarnya, pria itu memiliki tuhan yang selalu mengawasinya, hanya saja ia telah berkhianat. Tiga tahun lalu, ia justru secara terang-terangan mengaku bahwa ia tak percaya akan adanya tuhan. 

     Duk!

      Pria itu mengangkat dagunya sedikit, melihat benda apa yang terjatuh. Ia mengernyit pelan, sebuah botol kaca bening terjatuh dengan surat di dalamnya. Pria itu melirik ke sekitaran. Tak ada seorang pun, hanya ia disana. 

     Dengan cepat, pria itu mengambil si botol dan membuka penutup kayunya. Ia lantas mengambil sebuah surat di dalamnya, membukanya dengan perlahan. 

     18 Januari 2026

     Kening pria itu kembali mengernyit bingung. "Salah tulis, mungkin?"

     Untuk diriku umur 21 tahun. 

      Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Umurnya pun 21 tahun, apa mungkin itu surat untuknya? Ia terkekeh geli. Jika dipikir-pikir, mana mungkin ada surat dari masa depan? Ia akan bertahan hidup sampai nanti pun belum tentu. 

     Aku tahu, disaat kamu membaca ini, kamu pasti sedang merasa tertekan. 

     Semilir angin berembus menerpa wajah putih pucatnya, dedaunan nampak berserakan di sekitar tubuh kurus si empu. Nampak sekali jika alam ingin menenangkan salah satu makhluk hidupnya yang tengah bersedih. 

     Tetapi, aku mohon, jangan mengakhiri hidupmu sendiri. Kita, aku di masa lalu memiliki masa depan yang indah. Patah hati dan kehilangan saat usia 21 tahun bukanlah apa-apa dibanding kehilangan nyawa dan harga diri kita sendiri. 

     Mungkin, aku di masa lalu belum melihat indahnya masa depan ini. Itulah mengapa aku mengirim surat ini untuk diriku sendiri di masa lalu. 

     Masa depan kita sangatlah indah, ada jua seorang gadis dengan tatapan wajah dingin namun hangat yang kan selalu menemani. Jadi, jangan akhiri hidup ini , ya?

     Aku tahu, ada banyak rasa sakit di dalam diri yang ingin diobati dan dihilangkan. Namun, kita tidak tahu kan dimana letaknya sehingga kita memutuskan untuk mengakhiri semuanya? Sehingga, kita berpikir bahwa rasa sakit itu jua bisa berakhir. 

     Tetapi, percayalah, melewati semua rasa sakit itu akan jauh lebih indah dibanding menghindarinya. Sekalipun jika kita mati, apa kita akan bahagia?

     Sekali lagi, untuk diriku di masa lalu, jalani hidupmu dengan penuh keberanian. Dunia memang keras, namun kerasnya dunia takkan pernah bisa mengalahkan tekad kita. Percayalah, akan ada hari indah di kehidupan ini.

     Terima kasih, karena telah membaca surat ini. Terima kasih jua karena masih hidup meski rasa sakit mendera.

   salam

   Dari dirimu di masa depan

     Setelahnya, angin mulai mereda dan dedaunan mulai nampak tenang. Ia masih terdiam, rasanya sangat tidak masuk akal jika surat itu dari masa depan. Tetapi, mengapa hatinya menghangat? Dirinya juga merasa lebih tenang. 

     "Kau mau bunuh diri atau apa? Jika mau bunuh diri, lebih baik kau loncat dibanding duduk di pinggiran jembatan. Ck, ayo bangun!" 

     Pria itu mendongak ke arah sumber suara. Di depannya, ada seorang gadis yang mengulurkan tangannya tak ikhlas. Wajahnya nampak dingin dan tak peduli, ia bahkan mengenakan pakaian yang sama sekali tak feminin. 

     Si empu pun membalas uluran tangannya, berdiri seraya memegangi surat tadi. Gadis itu lalu menariknya agar berjalan bersamaan, yah meskipun gadis itu jalan di depan.

      "Omong-omong, terima kasih, lho," celetuk gadis itu seraya tersenyum. 

      "Untuk apa?"

     "Karena masih bernapas di muka Bumi ini," ujar gadis itu lalu tertawa yang membuat wajahnya nampak manis dan hangat. 

     "Karena aku tahu, kamu mau bunuh diri, kan?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun