ABSTRAK
Konsep Akad ‘Ariyah dalam hukum Islam dan membandingkannya dengan hibah serta ketentuan hukum perdata mengenai pinjam-meminjam barang. Akad ‘Ariyah merupakan perjanjian pinjam-meminjam barang tanpa imbalan, di mana peminjam hanya mengambil manfaat dari barang tersebut tanpa mengambil hak kepemilikan atas zatnya. Dalam akad ini, pemberi pinjaman berhak mencabut perjanjian kapan saja, dan peminjam berkewajiban mengembalikan barang dalam kondisi yang sama seperti saat dipinjam, kecuali terjadi kerusakan yang tidak disebabkan oleh kelalaian peminjam. Tulisan ini juga membahas kewajiban peminjam terkait pemeliharaan barang, keutamaan transparansi dalam kondisi barang, serta aplikasi akad ‘Ariyah dalam interaksi sosial sehari-hari, yang mencakup pinjaman barang antar tetangga dan teman. Konsep ini menekankan pentingnya amanah, kepercayaan, dan saling tolong-menolong dalam masyarakat.
Kata Kunci: Akad ‘Ariyah, Hibah, Pinjam Meminjam Barang, Tanggung Jawab, Amanah, Tolong-menolong, Hukum Islam, dan Interaksi Sosial
Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam ariyah hanya untuk diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil keduanya, baik dari dzatnya maupun dari manfaatnya. Dalam ketentuan kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut :
“ Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. "
Dalam hukum Islam, Akad 'Ariyah adalah akad pinjaman barang tanpa imbalan yang diambil dari prinsip saling tolong-menolong. Namun, pemberi pinjaman ('mu'ir') memiliki hak untuk mencabut akad tersebut kapan saja, selama barang yang dipinjam belum habis masa penggunaannya. Jika barang itu belum dikembalikan, maka peminjam ('musta'ir') berkewajiban untuk segera mengembalikan barang tersebut tanpa adanya pertentangan. Akan tetapi, jika peminjam masih membutuhkan waktu untuk menyelesaikan penggunaan yang mendesak, biasanya ada ruang diskusi untuk memperpanjang waktu pengembalian barang secara baik-baik, sesuai adab Islam.
# Hak Peminjam dalam Situasi Ini :
1. Peminjam wajib mengembalikan barang tersebut secepatnya setelah akad dicabut.
2. Jika barang rusak selama dipinjam dalam penggunaan yang sesuai, peminjam tidak bertanggung jawab untuk mengganti rugi, karena akad 'Ariyah' tidak mencakup tanggung jawab terhadap kerusakan selama penggunaan yang wajar.
3. Namun, jika peminjam menyalahgunakan barang tersebut atau terjadi kerusakan karena kelalaian, peminjam wajib mengganti rugi.
CONTOH KASUS :
Emran meminjam motor dari temannya, Rizky , tanpa ada biaya sewa, hanya untuk dipakai selama dua hari. Namun, di hari pertama, Rizky meminta Emran untuk mengembalikan motor karena Rizky butuh motornya untuk suatu keperluan mendadak. Dalam hal ini, Emran harus segera mengembalikan motor tersebut. Jika motor rusak dalam penggunaan wajar, Emran tidak wajib mengganti rugi, tapi jika rusak karena kecerobohannya (misalnya terlibat kecelakaan karena mengendarai dengan ceroboh), Emran harus mengganti rugi.
Perbedaan utama antara ‘Ariyah yang dilakukan secara lisan dan secara tertulis terletak pada cara pengikatannya, namun tidak memengaruhi keabsahannya dari segi hukum syariah.
1. Ariyah secara lisan :
Sah dilakukan selama ada kesepakatan antara kedua belah pihak (pemberi pinjaman dan peminjam) mengenai barang yang dipinjam, masa peminjaman, dan tanggung jawab pengembalian barang. Dalam praktik sehari-hari, ‘Ariyah secara lisan sering terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat karena dianggap cukup dengan kepercayaan.
2. Ariyah secara tertulis :
Meskipun secara hukum tidak wajib, menuliskan perjanjian ‘Ariyah dapat memberikan kepastian hukum, terutama dalam kasus di mana nilai barang yang dipinjam cukup besar atau ada kekhawatiran tentang masalah di kemudian hari. Penulisan ini bisa berupa kontrak atau kesepakatan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Secara syariah, baik ‘Ariyah yang dilakukan secara lisan maupun tertulis sama-sama sah selama kedua belah pihak sudah mencapai kesepakatan. Namun, penulisan bisa membantu menghindari sengketa di kemudian hari. Hal ini sejalan dengan perintah dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 282 yang menganjurkan menuliskan utang atau perjanjian sebagai bentuk kehati-hatian dalam bertransaksi.
CONTOH KASUS :
1. Rizky meminjamkan sepeda kepada Emran dengan mengatakan secara lisan, "Silakan pakai sepeda ini selama seminggu, nanti kembalikan."
2. Rizky dan Emran membuat perjanjian tertulis bahwa Emran meminjamkan laptop kepada Rizky selama satu bulan dengan kondisi harus dikembalikan dalam keadaan baik.
Kajian tentang tannggung jawab peminjam karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dikengkapi dengan kajian kewajiban peminjam untuk mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang yang bersifat kontraktual (diperjanjikan dalam
akad), yaitu bagaimana apabila pemberi pinjaman sepakat bahwa peminjam wajib mengganti atau membayar harga karena
rusak atau hilang barang pinjaman
1. Transparansi dan Kejelasan Barang yang Dipinjamkan :
Pihak yang meminjamkan (mu’īr) harus menjelaskan secara jelas kualitas dan kondisi barang yang dipinjamkan kepada peminjam (musta’īr). Hal ini bisa mencakup penjelasan mengenai apakah barang tersebut baru atau sudah pernah digunakan, apakah ada kerusakan, atau cacat yang perlu diketahui oleh peminjam. Misalnya, jika seseorang meminjamkan alat pertanian, pemilik harus memberi tahu jika ada bagian yang rusak atau perlu perawatan khusus.
2. Tanggung Jawab Pemeliharaan :
Peminjam memiliki kewajiban menjaga barang yang dipinjam agar tetap dalam kondisi baik dan digunakan sesuai dengan tujuan yang disepakati. Jika barang tersebut mengalami kerusakan di luar tanggung jawab yang wajar, peminjam bisa diwajibkan untuk mengganti atau memperbaikinya, kecuali jika kerusakan tersebut diakibatkan oleh penggunaan normal atau force majeure (keadaan di luar kendali).
3. Kesepakatan Tertulis (Jika Perlu) :
Untuk menghindari perselisihan, terutama jika barang yang dipinjam bernilai tinggi, kedua belah pihak bisa membuat kesepakatan tertulis yang menjelaskan kondisi barang, jangka waktu peminjaman, serta tanggung jawab peminjam terhadap barang tersebut.
CONTOH KASUS :
Misalnya, Emran meminjamkan sepeda motor kepada Rizky untuk digunakan selama satu minggu. Sebelum peminjaman, Emran harus menjelaskan kepada Rizky bahwa kondisi rem motor tersebut agak longgar dan perlu berhati-hati saat mengendarainya. Jika selama peminjaman, Rizky merusakkan motor karena kelalaian (misalnya jatuh karena mengemudi dengan ceroboh), Rizky wajib memperbaiki motor tersebut. Namun, jika motor rusak karena faktor luar seperti bencana alam, maka Rizky tidak wajib mengganti.
Apabila seseorang tidak mengembalikan barang peminjaman-nya atau menunda waktu pengembaliannya, maka itu
berarti berbuat khianat (tidak amanah), dan berbuat maksiat kepada pihak yang menolongnya. Perbuatan semacam ini jelas
bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu
sudah mendhalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa peminjam telah melanggar amanah dan melakukan suatu
yang dilarang agama. Sebab perbuatan yang semacam itu, bertentangan dengan ajaran Allah swt. yang mewajibkan seseorang untuk menunaikan amanah dan dilarang berbuat khianat.
Dalam akad ‘Ariyah (pinjam meminjam barang), jika seseorang tidak mengembalikan barang yang dipinjam sesuai waktu yang disepakati, Islam mengatur agar barang tersebut tetap dikembalikan dengan kondisi yang sama seperti saat dipinjam. Jika barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang, maka pihak yang meminjam wajib menggantinya atau memberikan kompensasi yang setara. Hal ini sesuai dengan prinsip tanggung jawab dalam Islam, di mana menjaga amanah dan menepati janji adalah hal yang sangat ditekankan.
Ketika terjadi keterlambatan pengembalian, peminjam juga harus berkomunikasi dengan pemilik barang untuk meminta tambahan waktu atau memberikan solusi yang saling menguntungkan. Islam tidak memperbolehkan pihak peminjam menunda tanpa alasan yang jelas, karena hal tersebut termasuk dalam kategori zalim (melanggar hak orang lain).
CONTOH KASUS :
Emran meminjam motor dari Rizky untuk digunakan selama 3 hari, tetapi Ali terlambat mengembalikan motor hingga 5 hari. Dalam hal ini, Emran wajib mengembalikan motor dalam kondisi baik dan meminta maaf kepada Rizky atas keterlambatan tersebut. Jika motor mengalami kerusakan selama masa pinjaman, Emran harus menanggung biaya perbaikan atau mengganti motor tersebut.
Konsep Akad ‘Ariyah dalam Islam merupakan akad peminjaman barang di mana pemilik barang memberikan hak kepada orang lain untuk memanfaatkan barang tersebut tanpa imbalan (gratis), tetapi kepemilikannya tetap ada pada peminjam. Ini sangat berkaitan dengan semangat tolong-menolong dan memperkuat hubungan sosial antar masyarakat.
# Aplikasi dalam Interaksi Sosial Sehari-hari :
1. Peminjaman barang yang sering diperlukan tetangga atau teman :
Misalnya, Jika seseorang meminjamkan mesin pemotong rumput, alat masak, atau sepeda kepada tetangganya. Hal ini meningkatkan kepercayaan karena barang dipinjam dengan itikad baik untuk dikembalikan dalam keadaan baik setelah digunakan.
2. Membantu sesama dengan barang yang kita miliki tapi jarang digunakan :
Misalnya, Jika seseorang memiliki mobil lebih dari satu dan tetangganya membutuhkan kendaraan untuk sementara, konsep ‘Ariyah bisa diterapkan. Pemilik mobil dapat meminjamkannya tanpa perlu mengambil imbalan, dengan tujuan membantu.
3. Peminjaman buku atau sumber belajar :
Misalnya, Mahasiswa sering meminjamkan buku atau materi pelajaran kepada teman-temannya tanpa biaya. Ini membantu teman yang mungkin kesulitan membeli buku, dan meningkatkan rasa solidaritas.
4. Meminjamkan peralatan dapur saat acara bersama :
Misalnya, Dalam acara-acara keluarga atau tetangga, seperti perayaan atau kenduri, orang sering meminjamkan peralatan dapur atau barang-barang lainnya. Ini juga memperkuat persahabatan dan memperkuat kepercayaan antar warga.
# Manfaat Sosial :
1. Kepercayaan meningkat :
Ketika seseorang meminjamkan barang tanpa memungut biaya, mereka menunjukkan bahwa mereka mempercayai orang lain untuk merawat barang tersebut dan mengembalikannya dalam kondisi baik.
2. Membangun hubungan yang lebih kuat :
Akad ‘Ariyah mendorong orang untuk berbagi tanpa pamrih, yang pada akhirnya mempererat ikatan sosial di komunitas.
3. Mengurangi beban ekonomi :
Dalam banyak kasus, seseorang mungkin tidak memiliki cukup uang untuk membeli barang tertentu. Dengan adanya peminjaman melalui akad ‘Ariyah, orang lain dapat memanfaatkan barang tanpa harus membeli.
Konsep ini mengajarkan bahwa dengan tolong-menolong dan saling mempercayai, masyarakat dapat membangun hubungan yang lebih baik dan harmonis.
CONTOH KASUS : Â
Misalnya, seorang tetangga meminjamkan sepeda kepada tetangganya yang belum mampu membeli sendiri, agar tetangga tersebut bisa pergi bekerja atau sekolah. Peminjam merasa tertolong tanpa harus berhutang, dan pemilik sepeda mendapatkan kepuasan batin karena membantu orang lain. Setelah digunakan, sepeda dikembalikan dalam keadaan baik kepada pemiliknya.
KESIMPULAN Â
Akad ‘Ariyah dalam Islam adalah akad peminjaman barang di mana pemilik barang (mu'ir) memberikan hak kepada peminjam (musta'ir) untuk menggunakan barang tersebut tanpa imbalan, namun kepemilikan barang tetap berada pada pemiliknya. Peminjam bertanggung jawab mengembalikan barang dalam keadaan baik, kecuali ada kerusakan yang terjadi akibat penggunaan normal atau di luar kontrol manusia (force majeure). Jika ada penyalahgunaan atau kerusakan akibat kelalaian, peminjam wajib mengganti atau memperbaiki barang tersebut.
Perbedaan antara ‘Ariyah dan hibah adalah pada objek yang dipinjam. Dalam ‘Ariyah, hanya manfaat dari barang yang boleh digunakan, sementara dalam hibah, baik barang maupun manfaatnya dapat diambil. Dalam Hukum Perdata Indonesia, pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754, yang mirip dengan konsep ‘Ariyah, namun lebih formal dan bersifat kontraktual.
Dalam penerapan sehari-hari, akad ‘Ariyah memperkuat hubungan sosial dan kepercayaan di masyarakat. Peminjaman barang seperti alat, kendaraan, atau buku, tanpa biaya, merupakan wujud solidaritas dan tolong-menolong, yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Islam juga menekankan pentingnya menjaga amanah dan segera mengembalikan barang yang dipinjam tepat waktu untuk menghindari tindakan zalim terhadap orang lain.
Kesepakatan dalam akad ‘Ariyah bisa dilakukan secara lisan atau tertulis. Secara syariah, kedua bentuk sah, namun perjanjian tertulis dianjurkan untuk menghindari konflik di masa depan, terutama untuk barang bernilai tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Haron, A. (2019). Prinsip Dasar Akad dalam Islam. Jakarta: Penerbit Islamika Press.
Ibn Rushd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.
Ibn Abbas, Zaid Ibn Ali, Atha’ Ahmad Ishaq, & al-Syafi’i berpendapat bahwa peminjam wajib bertanggung jawab secara mutlak (wajib mengganti barang yang dipinjam apabila barang tersebut rusak).
Jaih Mubarok & Hasanuddin. Fikih Mu’amalah Maliyah Akad Tabarru’. Bandung: Simbiosa Rekatama, 2017, h. 31.
Jilani, Muhammad. "The Concept of ‘Ariyah in Islamic Law." International Journal of Islamic Studies, vol. 12, no. 2, 2020, pp. 123-136.
Kementerian Agama RI. al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Dharma Art, 2007, h. 106.
Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani. Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid Al-Akhbar, Vol. V. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1347 H., h. 252.
Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlani. Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram min Jam Adillat al-Ahkam, h. 69.
Muhtadin, M. (2022). "Tinjauan Fiqh terhadap Akad ‘Ariyah: Analisis Komprehensif." Jurnal Hukum Ekonomi Islam, 15(1), 45-58.
Shaharuddin, A. Fiqh Muamalat: Sistem Ekonomi dan Keuangan Islam. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press, 2012.
Sholeh, Mahmud Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.
Sri Soedewi Masychoen Sofwan. Hukum Perdata: Hukum Kebendaan. Yogyakarta: Liberty Yogya, 1924, h. 48.
Taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini. Kifayat al-Akhyar fi Hill Ghayat al-Ikhtishar, Vol I. Semarang: Taha Putra, t.th, h. 291.
Trisadin Prasastianah Usanti. Prinsip Kehati-hatian pada Transaksi Perbankan. Surabaya: Airlangga Universitas Press, 2013, h. 1.
Wahbah al-Zuhaili. al-Fiqh fi Islami wa Adillatuh. Muhammad Ibn Ali Muhammad al-Syaukani, Nail Al-Authar Syarh Muntaqa min Ahadits Sayyid al-Akhbar. Mesir: Musththafa al-Babi al-Halabi, 1347 H., al-Sayyid Sabiq, Fqh al-Sunnah, Vol. III. Beirut: Dar al-Fikr, 1983, h. 234.
Zainuddin, M. (2021). "Implementasi Akad ‘Ariyah dalam Interaksi Sosial Masyarakat Islam Kontemporer." Jurnal Hukum Islam dan Sosial, 15(2), 98-110.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H