Pihak yang meminjamkan (mu’īr) harus menjelaskan secara jelas kualitas dan kondisi barang yang dipinjamkan kepada peminjam (musta’īr). Hal ini bisa mencakup penjelasan mengenai apakah barang tersebut baru atau sudah pernah digunakan, apakah ada kerusakan, atau cacat yang perlu diketahui oleh peminjam. Misalnya, jika seseorang meminjamkan alat pertanian, pemilik harus memberi tahu jika ada bagian yang rusak atau perlu perawatan khusus.
2. Tanggung Jawab Pemeliharaan :
Peminjam memiliki kewajiban menjaga barang yang dipinjam agar tetap dalam kondisi baik dan digunakan sesuai dengan tujuan yang disepakati. Jika barang tersebut mengalami kerusakan di luar tanggung jawab yang wajar, peminjam bisa diwajibkan untuk mengganti atau memperbaikinya, kecuali jika kerusakan tersebut diakibatkan oleh penggunaan normal atau force majeure (keadaan di luar kendali).
3. Kesepakatan Tertulis (Jika Perlu) :
Untuk menghindari perselisihan, terutama jika barang yang dipinjam bernilai tinggi, kedua belah pihak bisa membuat kesepakatan tertulis yang menjelaskan kondisi barang, jangka waktu peminjaman, serta tanggung jawab peminjam terhadap barang tersebut.
CONTOH KASUS :
Misalnya, Emran meminjamkan sepeda motor kepada Rizky untuk digunakan selama satu minggu. Sebelum peminjaman, Emran harus menjelaskan kepada Rizky bahwa kondisi rem motor tersebut agak longgar dan perlu berhati-hati saat mengendarainya. Jika selama peminjaman, Rizky merusakkan motor karena kelalaian (misalnya jatuh karena mengemudi dengan ceroboh), Rizky wajib memperbaiki motor tersebut. Namun, jika motor rusak karena faktor luar seperti bencana alam, maka Rizky tidak wajib mengganti.
Apabila seseorang tidak mengembalikan barang peminjaman-nya atau menunda waktu pengembaliannya, maka itu
berarti berbuat khianat (tidak amanah), dan berbuat maksiat kepada pihak yang menolongnya. Perbuatan semacam ini jelas
bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu
sudah mendhalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa peminjam telah melanggar amanah dan melakukan suatu
yang dilarang agama. Sebab perbuatan yang semacam itu, bertentangan dengan ajaran Allah swt. yang mewajibkan seseorang untuk menunaikan amanah dan dilarang berbuat khianat.
Dalam akad ‘Ariyah (pinjam meminjam barang), jika seseorang tidak mengembalikan barang yang dipinjam sesuai waktu yang disepakati, Islam mengatur agar barang tersebut tetap dikembalikan dengan kondisi yang sama seperti saat dipinjam. Jika barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang, maka pihak yang meminjam wajib menggantinya atau memberikan kompensasi yang setara. Hal ini sesuai dengan prinsip tanggung jawab dalam Islam, di mana menjaga amanah dan menepati janji adalah hal yang sangat ditekankan.
Ketika terjadi keterlambatan pengembalian, peminjam juga harus berkomunikasi dengan pemilik barang untuk meminta tambahan waktu atau memberikan solusi yang saling menguntungkan. Islam tidak memperbolehkan pihak peminjam menunda tanpa alasan yang jelas, karena hal tersebut termasuk dalam kategori zalim (melanggar hak orang lain).
CONTOH KASUS :
Emran meminjam motor dari Rizky untuk digunakan selama 3 hari, tetapi Ali terlambat mengembalikan motor hingga 5 hari. Dalam hal ini, Emran wajib mengembalikan motor dalam kondisi baik dan meminta maaf kepada Rizky atas keterlambatan tersebut. Jika motor mengalami kerusakan selama masa pinjaman, Emran harus menanggung biaya perbaikan atau mengganti motor tersebut.
Konsep Akad ‘Ariyah dalam Islam merupakan akad peminjaman barang di mana pemilik barang memberikan hak kepada orang lain untuk memanfaatkan barang tersebut tanpa imbalan (gratis), tetapi kepemilikannya tetap ada pada peminjam. Ini sangat berkaitan dengan semangat tolong-menolong dan memperkuat hubungan sosial antar masyarakat.