Mohon tunggu...
najwa alfia
najwa alfia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pamulang

Hobi Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prinsip Pemanfaatan Barang Milik Umum dan Kepemilikan Harta dalam Fikih Muamalah: Tinjauan atas Haqq Al-Tasharruf, Syirkah dan Pengelolaan Harta Haram

29 September 2024   18:12 Diperbarui: 29 September 2024   18:29 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


ABSTRAK


Dalam fikih muamalah, pemanfaatan barang milik umum atau mabi’ mubah diatur berdasarkan prinsip kepemilikan bersama, di mana hak atas barang-barang tersebut dimiliki oleh seluruh umat secara adil dan tidak boleh dimonopoli. Pemanfaatan barang milik umum, seperti jalan, laut, dan hutan, harus dilakukan dengan adil, tidak merusak, dan tidak merugikan hak orang lain. Dalam hukum Islam, konsep haqq al-tasharruf memberikan hak kepada seseorang untuk mengelola barang milik orang lain tanpa hak kepemilikan penuh, seperti dalam akad wakalah (perwakilan), ijarah (sewa), dan syirkah (kemitraan). Akad-akad ini harus dilakukan dengan persetujuan semua pihak yang berhak. Islam juga melarang keras perolehan harta secara haram, seperti melalui pencurian atau riba, dan mewajibkan pengembalian harta haram kepada pemilik asli atau digunakan untuk amal. Syirkah, sebagai bentuk kerjasama dalam ekonomi Islam, mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pembagian risiko dan keuntungan yang adil. Prinsip dasar yang mendasari segala bentuk transaksi dalam Islam adalah penghormatan terhadap hak milik dan kerelaan dalam setiap akad atau transaksi.

Kata Kunci : Fikih muamalah, Haqq al-tasharruf, Syirkah, Barang milik umum, Hak milik, Harta haram, Dan Kepemilikan bersama

Dalam fikih muamalah, pemanfaatan barang milik umum atau mabi’ mubah mengacu pada barang-barang yang tidak dimiliki oleh individu atau kelompok, tetapi dimiliki bersama oleh umat. Pemanfaatannya harus memenuhi prinsip-prinsip yang tidak hanya memperhatikan hak individu, tetapi juga hak masyarakat secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa poin penting terkait dengan pemanfaatan barang milik umum berdasarkan penjelasannya :

1. Kepemilikan Bersama :

Barang-barang milik umum, seperti jalan raya, sungai, laut, atau hutan, adalah milik bersama dan harus dimanfaatkan secara adil dan bijaksana. Dalam penggunaannya, setiap orang harus memastikan bahwa pemanfaatan tersebut tidak mengganggu atau merusak kegunaannya untuk orang lain.

2. Hak Setiap Orang :

Hak atas barang milik umum bersifat universal, artinya semua orang memiliki hak yang sama untuk memanfaatkannya, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Namun, pemanfaatan tersebut tetap diatur dengan norma-norma syariat yang mencegah penyalahgunaan dan kerusakan terhadap barang tersebut.

3. Larangan Ihtikar (Monopoli) :

Monopoli terhadap barang milik umum dilarang keras dalam Islam. Tidak boleh ada individu atau kelompok yang berusaha mengambil alih atau mengendalikan pemanfaatan barang milik umum untuk kepentingan pribadi. Misalnya, tidak boleh mengklaim kepemilikan atas sumber daya yang harusnya dinikmati oleh semua, seperti air, jalan, atau sumber alam lainnya.

4. Manfaat Tanpa Merugikan Orang Lain :

Dalam menggunakan barang milik umum, seseorang tidak boleh menyebabkan kerugian atau mengurangi manfaat bagi orang lain. Pemanfaatan yang merugikan, seperti memblokir jalan atau mengotori sumber air, melanggar prinsip-prinsip dalam fikih muamalah dan dapat merugikan kepentingan umum.

Contoh Penerapan :

Sebuah contoh sederhana dari penerapan prinsip-prinsip ini adalah penggunaan jalan raya. Semua orang berhak menggunakannya, tetapi penggunaannya harus dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu lalu lintas, seperti parkir sembarangan atau membuat bangunan di atas jalan yang akan menghalangi akses orang lain.

Dasar Teoretis Haqq al-Tasharruf

Dalam hukum Islam, konsep kepemilikan dibagi menjadi beberapa kategori, di antaranya kepemilikan penuh (milk al-tam) dan hak-hak lain seperti haqq al-intifa' (hak manfaat) serta haqq al-tasharruf (hak untuk mengelola atau bertindak). Kepemilikan penuh memberikan hak penuh kepada pemilik untuk menggunakan, mengelola, dan mengalihkan barang atau harta, sementara haqq al-tasharruf memberikan hak untuk bertindak atau mengelola harta orang lain tanpa hak untuk mengalihkan kepemilikan tersebut.

Contoh Dalam Fikih Muamalah :

1. Wakalah (Perwakilan) :

Wakalah adalah sebuah akad yang mengizinkan satu pihak (wakil) untuk bertindak atas nama pihak lain (muwakkil). Dalam konteks ini, wakil mendapatkan haqq al-tasharruf untuk mengelola atau melakukan tindakan tertentu, seperti menjual atau membeli barang, atas nama muwakkil, meskipun wakil tidak memiliki harta tersebut. Misalnya, seorang wakil dapat menjual properti milik orang lain berdasarkan kuasa yang diberikan melalui akad wakalah.

2. Ijarah (Sewa) :


Ijarah adalah akad penyewaan yang memberikan hak kepada penyewa (musta'jir) untuk memanfaatkan barang yang disewa. Dalam hal ini, penyewa tidak memiliki barang tersebut secara penuh, tetapi memiliki haqq al-tasharruf untuk menggunakannya selama periode sewa sesuai dengan kesepakatan. Misalnya, seseorang yang menyewa mobil memiliki hak untuk menggunakannya, meskipun kepemilikan mobil tetap pada pemilik aslinya.

3. Syirkah (Kemitraan)


Dalam akad syirkah, beberapa pihak bermitra dalam usaha atau kepemilikan aset bersama. Masing-masing mitra memiliki haqq al-tasharruf untuk mengelola aset perusahaan atau investasi tersebut, meskipun mereka tidak memiliki kepemilikan penuh atas aset tersebut secara individu. Hak ini mencakup pengelolaan dan pengambilan keputusan mengenai aset bersama untuk keuntungan bersama.

Dalam Islam, penghormatan terhadap hak milik adalah prinsip fundamental yang tidak boleh dilanggar. Setiap akad atau transaksi dalam Islam harus dilakukan dengan persetujuan dan kerelaan dari semua pihak yang berhak. Berikut adalah poin-poin penting yang mendasari pelarangan menyewakan barang tanpa izin pemilik :

1. Penghormatan terhadap Hak Milik :

 

Hak milik seseorang diakui dan dilindungi dalam Islam. Menyewakan barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya tergolong ghasb, yaitu pengambilalihan atau pemanfaatan hak orang lain secara zalim dan tanpa izin. Hadis yang disebutkan dari riwayat Bukhari dan Muslim dengan tegas memperingatkan konsekuensi berat di hari kiamat bagi orang yang mengambil atau memanfaatkan hak orang lain secara tidak sah, bahkan meskipun hanya sedikit.

2. Keabsahan Akad (Ijārah) : 

Dalam akad ijarah atau sewa-menyewa, keridhaan atau persetujuan pemilik adalah syarat utama. Tanpa izin pemilik, akad tersebut tidak sah, karena transaksi tidak memenuhi syarat-syarat dasar, seperti kerelaan dari pemilik barang. Akad yang dilakukan tanpa memenuhi syarat ini dianggap fasid (batal).

3. Hak Pemilik Tidak Dihilangkan : 

Hak milik tidak otomatis berpindah atau hilang hanya karena barang tersebut digunakan oleh pihak ketiga tanpa izin. Pemilik tetap berhak atas barang tersebut dan bisa menuntut pengembalian serta kompensasi atas segala kerusakan atau kerugian yang terjadi selama barang disewakan tanpa izinnya. Orang yang menyewakan tanpa izin dianggap melanggar hukum dan dapat diminta pertanggungjawaban, baik secara moral maupun hukum.

Contoh Kasus : Jika seseorang meminjam mobil dari temannya dan tanpa izin menyewakannya kepada pihak ketiga, hal-hal berikut berlaku:

  • Akad tidak sah karena dilakukan tanpa izin dari pemilik mobil.
  • Pemilik mobil berhak menuntut pengembalian mobil tersebut dan kompensasi atas kerusakan atau penurunan nilai mobil.
  • Penyewa (yang tanpa izin) dianggap bersalah secara agama dan mungkin dikenakan sanksi sesuai hukum syariat atau hukum yang berlaku di masyarakat.

Syirkah adalah bentuk kerjasama dalam Islam di mana dua atau lebih pihak bergabung untuk menjalankan usaha bersama. Dalam syirkah, setiap pihak berhak mendapatkan bagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan dan bertanggung jawab atas kerugian sesuai kontribusi modal masing-masing. Sinonim dari syirkah adalah "ikhtilat," yang berarti percampuran, karena dalam kerjasama ini, para pihak mencampurkan harta atau modal mereka untuk dijadikan sebagai dasar usaha.

Ekonomi Islam mendukung syirkah karena dapat memecahkan masalah ketidakmampuan seseorang dalam mengelola modal atau kurangnya modal untuk memulai usaha. Syirkah memberikan solusi agar pelaku usaha dapat bekerja sama dan membagi risiko secara adil, dengan syarat setiap pihak memberikan kontribusi baik dalam bentuk modal, tenaga, atau keahlian. Ini membantu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membagi sumber daya secara efisien.

Prinsip Utama Syirkah :

1. Adil dan Transparan: Semua pihak harus memahami dan menyetujui perjanjian sejak awal secara jelas.

2. Pembagian Berdasarkan Kontribusi: Keuntungan dibagi sesuai dengan kontribusi modal, tenaga, atau keahlian yang disepakati bersama.

3. Tanggung Jawab Bersama: Meskipun tanggung jawab dibagi, tidak semua kerugian harus ditanggung secara merata. Misalnya, dalam syirkah mudarabah, kerugian modal hanya ditanggung oleh pemodal, kecuali jika ada kelalaian dari pengelola.

Contoh Syirkah :

Syirkah Mudarabah: Salah satu bentuk syirkah di mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lainnya mengelola usaha. Contohnya, Emran memberikan modal 100 juta kepada Rizky untuk menjalankan bisnis makanan. Mereka sepakat bahwa keuntungan dibagi 70% untuk Rizky dan 30% untuk Emran. Namun, jika usaha tersebut rugi, Emran sebagai pemodal menanggung kerugian modal, sementara Rizky hanya kehilangan tenaga dan waktu tanpa mendapatkan keuntungan.

nu.or.id
nu.or.id

Harta memang memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan duniawi maupun sebagai ujian yang diberikan Allah Swt. Dalam Islam, harta dipandang sebagai amanah yang harus dikelola dan diperoleh dengan cara yang halal dan sesuai dengan syariah. Penjelasan mengenai harta haram dalam Islam, seperti yang disebutkan, sangat penting untuk dipahami oleh umat Muslim agar tidak terjebak dalam praktik yang dilarang oleh agama.

Harta Haram dalam Fikih Muamalah

 

Dalam konteks fikih muamalah, harta yang diperoleh melalui cara yang tidak sah, seperti pencurian, riba, atau transaksi haram lainnya, tidak diakui oleh syariah. Islam menekankan bahwa kepemilikan atas harta haruslah melalui cara yang sah dan halal. Jika seseorang memperoleh harta secara haram, maka ada kewajiban untuk menyelesaikan masalah kepemilikan tersebut dengan beberapa prinsip yaitu :

  • Pengembalian kepada pemilik asli: Jika harta diperoleh melalui pencurian atau penipuan, harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.
  • Pengeluaran untuk amal: Jika pemilik asli tidak diketahui atau tidak bisa ditemukan, maka harta tersebut harus dikeluarkan untuk amal dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
  • Taubat: Orang yang terlibat dalam perolehan harta haram harus bertaubat kepada Allah dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya.


1. Harta yang Diperoleh dari Pencurian

Pencurian adalah perbuatan haram dalam Islam, dan harta yang dicuri tidak dianggap sebagai milik sah dari si pencuri. Dalam konteks fikih:

  • Harta yang dicuri wajib dikembalikan kepada pemilik aslinya.
  • Jika tidak diketahui pemilik aslinya, maka harta tersebut harus diserahkan kepada baitul mal (kas negara) atau digunakan untuk amal kebaikan.
  • Contoh: Jika seseorang mencuri uang dari toko, maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pemilik toko. Jika si pencuri tidak tahu kepada siapa uang itu dikembalikan (misalnya karena toko sudah tutup dan pemilik tidak diketahui), maka uang itu bisa diserahkan ke lembaga amal atau baitul mal.

2. Harta yang Diperoleh dari Riba

Riba merupakan praktik haram di mana seseorang memperoleh keuntungan dari tambahan yang tidak sah dalam transaksi pinjam-meminjam uang. Harta yang diperoleh dari riba juga tidak dianggap sebagai milik sah menurut syariah.

  • Orang yang mendapat harta dari riba wajib melepaskan harta tersebut, baik dengan cara mengembalikannya kepada pihak yang memberikannya atau dengan cara mengeluarkannya untuk kebaikan sosial (seperti disumbangkan kepada fakir miskin).
  • Contoh: Jika seseorang mendapat keuntungan dari bunga pinjaman, keuntungan tersebut tidak boleh digunakan untuk keperluan pribadi, tetapi harus dikeluarkan dan tidak boleh diambil manfaatnya. Misalnya, keuntungan dari riba itu dapat disalurkan ke lembaga sosial tanpa niat untuk memperoleh pahala karena itu adalah harta yang haram.

1. Pemanfaatan Barang Milik Umum (Mabi' Mubah) : Dalam Islam, barang-barang milik umum seperti jalan raya, sungai, atau sumber daya alam lainnya adalah hak bersama yang harus dikelola dengan bijaksana. Pemanfaatannya harus adil dan tidak merugikan orang lain, serta dilarang adanya monopoli atas barang milik umum.

2. Kepemilikan dan Haqq al-Tasharruf : Hukum Islam mengenal berbagai kategori kepemilikan seperti milk al-tam (kepemilikan penuh) dan haqq al-tasharruf (hak untuk mengelola). Orang yang memiliki haqq al-tasharruf berhak mengelola atau memanfaatkan suatu barang, namun tidak memiliki hak penuh atas kepemilikannya, seperti dalam akad wakalah, ijarah, dan syirkah.

3. Pentingnya Persetujuan dalam Transaksi : Menyewakan barang milik orang lain tanpa izin adalah tindakan yang melanggar hukum Islam, karena melibatkan pelanggaran hak milik dan dianggap sebagai ghasb (pengambilalihan hak orang lain secara zalim).

4. Syirkah dan Keadilan dalam Pembagian Keuntungan : Syirkah adalah kerjasama yang memungkinkan pembagian keuntungan dan tanggung jawab sesuai dengan kesepakatan. Prinsip adil, transparan, dan sesuai kontribusi menjadi dasar dalam kerjasama ini.

5. Harta Haram : Harta yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal, seperti pencurian dan riba, tidak diakui sebagai milik sah dalam Islam. Harta tersebut harus dikembalikan kepada pemilik asli, atau jika tidak mungkin, disalurkan kepada amal kebaikan.

KESIMPULAN 


  • Pemanfaatan Barang Milik Umum (Mabi' Mubah):Dalam Islam, barang-barang milik umum seperti jalan raya, sungai, atau sumber daya alam lainnya adalah hak bersama yang harus dikelola dengan bijaksana. Pemanfaatannya harus adil dan tidak merugikan orang lain, serta dilarang adanya monopoli atas barang milik umum.

  • Kepemilikan dan Haqq al-Tasharruf:Hukum Islam mengenal berbagai kategori kepemilikan seperti milk al-tam (kepemilikan penuh) dan haqq al-tasharruf (hak untuk mengelola). Orang yang memiliki haqq al-tasharruf berhak mengelola atau memanfaatkan suatu barang, namun tidak memiliki hak penuh atas kepemilikannya, seperti dalam akad wakalah, ijarah, dan syirkah.

  • Pentingnya Persetujuan dalam Transaksi:Menyewakan barang milik orang lain tanpa izin adalah tindakan yang melanggar hukum Islam, karena melibatkan pelanggaran hak milik dan dianggap sebagai ghasb (pengambilalihan hak orang lain secara zalim).

  • Syirkah dan Keadilan dalam Pembagian Keuntungan:Syirkah adalah kerjasama yang memungkinkan pembagian keuntungan dan tanggung jawab sesuai dengan kesepakatan. Prinsip adil, transparan, dan sesuai kontribusi menjadi dasar dalam kerjasama ini.

  • Harta Haram:Harta yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak halal, seperti pencurian dan riba, tidak diakui sebagai milik sah dalam Islam. Harta tersebut harus dikembalikan kepada pemilik asli, atau jika tidak mungkin, disalurkan kepada amal kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA 


Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahibi al-arba’ah, III: 74

Abu Bakar Bin Muhammad Syatha, Hasyiyat I’anatu alThalibin, III: 84

Al-Jaziry, Abdurrahman. (2003). Kitab al-Fiqh 'ala al-Madhahib al-Arba'ah (Terjemahan). Jakarta: Darul Falah.

Amir Syarifuddin. (2004). Garis-Garis Besar Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Asy-Syarbini, Khatib. Mughni Al-Muhtaj. Terjemahan oleh Muhammad Abdul Ghoffar E. Jakarta: Darul Haq, 2010.

Departemen Agama RI, Seuntai Mutiara yang Maha Luhur,(Bandung: Jumanatul Ali Art, 2005), hlm.

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Hasan, A. (1996). Pedoman Shalat dan Fiqih Lengkap. Surabaya: Pustaka Islam.

Hasbi Ash Shiddieqy. (1997). Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/5843

https://nu.or.id/syariah/penjelasan-tentang-asas-manfaat-barang-dalam-jual-beli-KWa0O

https://www.google.com/imgres?imgurl=https://storage.nu.or.id/storage/post/16_9/mid/harta-kekayaan-rumah-freepik-2_1661043805.webp&tbnid=rh8CB8SZvivXqM&vet=1&imgrefurl=https://islam.nu.or.id/syariah/landasan-dasar-kepemilikan-harta-dalam-islam-XJTdi&docid=9qeMqmFi_tbkuM&w=860&h=484&itg=1&hl=in-ID&source=sh/x/im/m1/4&kgs=220eab7d4d275a5c&shem=abme,trie

Kementerian Agama RI. (2010). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an.

Mughniyah, Muhammad Jawad. (2003). Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Jakarta: Lentera.

Muhammad, Amin Suma. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Fiqh Muamalah). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

QS. Al-Kahfi: 46. Dalam M. Dhuha Abdul Jabbar dan N. Burhanudin, Ensiklopedia Makna Al-Qur’an Syarah Alfadzul Qur’an, hlm.

Salman, Abdul Qadir. (1999). Hukum-hukum Fiqih Jilid II: Fiqih Muamalah (Terjemahan). Jakarta: Darul Haq.

Sutedi, Adrian (2011). Hukum Bisnis Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Syaid Sabiq, Fiqih Sunah Jilid XIII (Bandung: Al Ma’rifah, 1993), 174.

Umer Chapa, Islam Dan Tantangan Ekonomi (Islamisasi Ekonomi Kontenporer) (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 267.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Wahbah Al-Zuhaili. Fiqih Islam wa Adillatuhu: Fiqih Muamalah. Terjemahan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani. Jakarta: Gema Insani, 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun